Lapisan tipis apa itu? Aku sama sekali tidak tahu... Karena langkah ini jatuh, sepenuhnya adalah tindakan instingtif mengikuti Guruku.
Itu adalah kekuatan hati yang dahsyat, suatu tindakan kesadaran murni yang mengabaikan semua stres dan lingkungan sekitar... Tapi langkah ini membuatku seketika menjadi 'manusia darah'. Bahkan dalam kondisi konsentrasi pikiran ekstrem dimana hanya tersisa potensi tubuh, aku masih bisa merasakan aliran panas menyapu seluruh tubuh, sensasi darah mengalir seperti panas yang menghilang.
Tangan Guruku masih menempel di punggungku. Mungkin darahku juga mengaliri punggung tangannya. Aku menoleh bingung, hanya reflek ingin memandang Guruku. Kebetulan tatapanku bertemu dengan matanya yang tertuju padaku. Meski tanpa kesadaran diri, namun rasa kesakitan hatinya tetap bisa kurasakan dalam kondisi seperti ini.
Kurasakan langkahnya ragu, terhenti... Dia bahkan bergulat. Saat ini aku tak bisa merenung, tapi sangat paham - keraguannya karena kondisiku. Refleknya ingin menghindarkan aku dari cedera. Mungkin dia merasa ini sudah mencapai batasku.
Kurasakan sesuatu pecah, tapi tak bisa kujelaskan pada Guruku... Karena aku sendiri pun tak paham perubahan apa yang sebenarnya terjadi.
Tak pernah kuduga di dasar jiwaku tersimpan lapisan membran seperti ini. Juga tak pernah kusadari di balik membran itu tersembunyi kekuatan gelisah yang tak tenang.
Selaput itu perlahan mulai retak. Aku tanpa alasan jelas bisa merasakan bahwa selaput ini sebenarnya lebih tegar dari apapun, tapi apa sebenarnya itu sama sekali tak kumengerti... Jika selaput itu bisa pecah, kekuatan di baliknya... Pikiran ini melintas dalam kesadaranku, tapi aku tak bisa berpikir. Aku hanya bisa cemas, karena pecahnya selaput ini sangat lambat, seperti kaca kokoh yang perlahan retak karena es. Siapa yang tahu kapan ia akan benar-benar hancur?
Apakah perjalanan menginjak langkah ritual bersama Guruku, pertarungan ilmu bersama ini hanya akan sampai di sini?
Di bawah kekuatan yang begitu mencekam, kakiku tak mampu melangkah lagi. Dulu kupikir efek ritual yang perkasa pasti hal yang baik, tapi tak kusangka di sini justru menjadi 'alat siksaan' yang menghancurkanku. Kurasakan darah segar mengalir di tubuh hitamku, terkumpul di kedua betis, lalu melewati punggung kaki, membentuk genangan darah kecil di tempat aku berdiri.
Aku berdiri tegak, Guruku juga berdiri tegak. Ini pasti bukan batas kemampuannya. Meski melakukan ritual di platform ini, dia sampai muntah darah... Tapi karena aku sudah mencapai batas, dia pun ikut berhenti. Bahkan kurasakan tangan yang dia letakkan di tubuh hitamku sedikit bergetar, seolah perjalanan guru-murid kami bersama telah sampai di ujung. Dia masih punya jalan, tapi memilih tetap di sini dengan kebingungan - karena akulah ikatan terdalamnya.
Kami tak bisa menjelaskan kehalusan ini, karena merupakan sesuatu yang terakumulasi dari masa-masa hidup bersama yang saling bergantung... Benarkah sudah seperti ini? Lapisan tipis itu terus pecah, namun begitu lambatnya. Dalam kondisi tanpa tujuan ini, konsentrasi pikiran yang kosong justru sangat berbahaya (pasti dimengerti oleh orang yang menekuni Tao). Jika tidak segera membebaskan diri, aku dan Guruku akan menjadi idiot.
Sebelumnya, Guruku yang selalu bicara tentang ketegasan, yang memahami di mana posisi batas itu berada, Guruku yang menyebut ketegasan sebagai belas kasih – apakah dia juga 'ragu' dalam menentukan pilihan? Apakah hanya bisa berdiri kaku di sini bersamaku?
Jika tidak terputus tuntas, tidak melihat jernih... itu bukanlah dewa. Ketegasan dan ketenangan yang diklaim ternyata tak bisa disatukan dengan rasa peduli. Sesuatu yang menembus relung hati terdalam ini mungkin adalah kegagalan paling memalukan, terkutuk oleh ribuan orang, bahkan saat berdiri lama di persimpangan pilihan – tetap tak ingin melepaskan.
Malam itu di Desa Tandus, teriakanku "tidak akan melepaskan" hanya dibalas helaan napas Guruku.
Kini, Guruku yang menaruh tangan di punggungku dan sama-sama berdiri kaku bersamaku – bukankah dia juga sedang berkata "aku tidak melepaskan"?
Karena itulah menjadi dewa adalah hal yang menyakitkan. Saat memutuskan, betapa memilukannya rasanya. Mencabut sesuatu dari dasar jiwa – mana mungkin mudah?
Tapi, apakah kami benar-benar akan terus berdiri di sini? Lalu menunggu Sang Pikiran terbangun, memilih untuk bertarung sampai mati bersama? Aku tak rela, aku tak mau seperti ini. Hanya karena aku tahu yang menunggu bukan hanya diriku, di luar Teluk Hantu masih ada sekumpulan orang yang sama-sama berjuang mencariku... menanti sebuah reuni, bahkan satu detik pun adalah keabadian!
Ketidakrelaan dan kemarahan ini mempercepat retaknya selaput dalam tubuhku. Tapi waktu sudah tak cukup. Aku dan Guruku harus sepenuhnya menghentikan ritual, atau benar-benar berubah menjadi orang bodoh... Tapi saat itu, sebuah gemuruh air bah akhirnya bergema dari dasar hatiku... Si Bodoh yang tertidur lelap akhirnya bangun.
Entah karena tempat ini khusus atau bukan, kali ini Si Bodoh yang bangun terasa sedikit berbeda. Alasan sebelumnya menyebutnya Si Bodoh karena ia selalu seperti 'saudara bodoh'-ku, tanpa kesadaran diri yang besar, hanya mengikuti 'kendali'-ku secara instingtif dalam melakukan apapun.
Ia bagaikan anak tiga tahun, meski memiliki identitas yang 'terhormat' yang membentuk energi dahsyatnya, tapi tetaplah ia seorang anak kecil.
Sedangkan aku, bagaikan seorang Mas yang bisa diandalkan, dipercaya, bahkan terhubung dengan nyawa... Yang ia berikan padaku adalah seluruh perasaan polos seorang anak terhadap keluarganya, samar, tak terungkapkan, murni, tapi tanpa perenungan berlebihan.
Tapi pada saat ini, Si Bodoh setelah bangun, menatapku dalam-dalam di dasar hati, kurasakan kelincahan di matanya... Ekspresi perasaan yang samar dan langsung itu hilang!
Tatapannya padaku penuh keagungan, kesadaran, tegas, namun tetap hangat bahkan bergantung... Setelah mengaum, ia diam. Tidak seperti dulu yang selalu mondar-mandir gelisah menanti panggilanku, kali ini wujudnya mulai buram dengan sendirinya...
Awalnya aku tak mengerti apa maksud Si Bodoh ini. Tapi sebentar kemudian, dengan jelas kurasakan - lagipula kami adalah jiwa simbiosis... Ia ingin menyatukan roh denganku. Rupanya penyatuan roh bukan hanya bisa kulakukan sendirian, ia pun bisa, asalkan pencerahan telah mencapai tingkat tertentu!
Jangan-jangan tempat Teluk Hantu ini lebih cocok untuk Si Bodoh? Membuatnya terjaga begitu cepat?
Tak bisa kutebak alasannya, hanya merasa dari sudut penyatuan roh, Si Bodoh lebih hebat dariku. Penyatuannya lebih sempurna, bukan kondisi bertarung seperti penyatuanku, melainkan dalam ketenangan bagai sumur kuno, kekuatan jiwanya menyatu sempurna denganku, kehendak rohnya pun melebur total.
Artinya, saat ini setelah terhubung dengan Si Bodoh, kudapat kekuatan yang benar-benar tumpang tindih... Dan seketika itu juga kusadari: Jika kali ini jiwaku hancur karena tak tahan tekanan berat, Si Bodoh juga akan remuk total, tanpa sedikit pun kemungkinan lolos!
Inilah kondisi yang berbeda dari sebelumnya!
Aku bagaikan taruhan Si Bodoh, tapi bagaimana mungkin aku membiarkan kepercayaannya ini kalah sepenuhnya? Kekuatan yang kudapatkan kembali ini, bagaikan kebebasan bergerak yang kurebut... Di saat ini, tangan yang menggenggam lengan Guruku tanpa kusadari menguatkan cengkeramannya.
Seperti dulu dia yang menuntunku, kali ini akulah yang melangkah... Dan lapisan tipis di dasar rohku tiba-tiba terasa bergetar, penghalang reinkarnasi takdir itu!
Tak kumengapa merasakan ini, namun di dasar hati terdengar suara: Ternyata Wu Liyu dan kawanannya menggunakan puncak ilmu memanggil dewa, mengorbankan konsekuensi dahsyat demi memanggil seberkas - sangat tipis tapi murni - kekuatan Hukum!
Kekuatan Hukum selalu ada di antara langit-bumi, bahkan dalam ilmu pengetahuan. Seperti lingkaran yang menggelinding, garis lurus yang memanjang... Aturan adalah Hukum yang tak boleh dikacaukan.
Taoisme menghormati prinsip alamiah, sesungguhnya itu bentuk pemujaan terhadap kekuatan Hukum!
Tapi kenapa aku tahu ini? Mengapa tiba-tiba mendapat pencerahan? Aku masih setengah sadar tak mengerti.
Yang kusadari hanyalah langkah Gang yang kulakukan, setiap orang di depan kami yang bertarung memaksa diri hingga batas maksimal... Juga alis "pikiran" itu yang mulai berkerut, seakan akan segera Bangun.
