Menghadapi Hui Dàye yang terjatuh ke arahnya, ekspresi jijik seperti saat melihat Xiao Lao Ba muncul di wajah Shen. Mungkin yang lebih dominan adalah kemarahan.
Bagaimanapun, Hui Dàye telah menghancurkan barrier-nya. Ini mungkin telah memprovokasi 'kesombongan'-nya. Maka dia mengumpulkan energi kecil dari sungai takdir yang bergelora di belakangnya ke tinjunya, lalu menghantam Hui Dàye tanpa ragu.
Tinjunya dipenuhi kekuatan jiwa yang kacau-balau walau tidak murni, namun jumlahnya sangat besar. Entah dengan cara apa Shen memampatkannya. Pukulan ini, aku yakin bahkan jika Hui Dàye selamat, rohnya akan remuk-redam.
Saat ini bukan lagi masalah langkah Gang. Aku dan Guruku hampir menahan napas bersamaan. Jika sesuatu terjadi pada Hui Dàye di detik ini, emosi kami yang terguncang akan memaksa kami keluar dari kondisi Konsentrasi Pikiran, menghentikan ritual secara paksa. Karma balasan dari Langkah Yu Alam Semesta yang sakti ini akan mengerikan.
Belum lagi nyawa kami yang terancam, aksi melawan Shen kali ini akan benar-benar gagal.
"Bukan kami tidak percaya kemampuan aliran Wu Liyu, tapi sejak awal, kamilah yang memikul tanggung jawab terakhir untuk mengalahkan Shen. Jika gagal seperti ini, mereka pun akan sulit menggunakan kembali Ilmu besar melawan takdir, karena Shen sudah menggunakan Ilmu besarnya yang dahsyat, sudah tidak sempat lagi!"
Karena tekanan inilah, hembusan napasku dan Guruku serentak terhenti. Meski tahu ribuan konsekuensi, kami tak bisa tidak mengkhawatirkan Hui Dàye.
Yang berbeda hanyalah, mataku mengalami mutasi yang kusadari sendiri. Mungkin aku melihat lebih banyak dari Guru: saat Hui Dàye jatuh, kepalan kanannya masih berkilauan, diselubungi lapisan kekuatan yang sangat terkonsolidasi!
Jadi ketika Shen menghantam Hui Dàye, Hui Dàye tiba-tiba menstabilkan tubuhnya yang hendak terjungkal. Saat nyaris bersenggolan dengan Shen, dengan pukulan dahsyat ia menghantam pinggang Shen... Sedangkan pukulan Shen ke arahnya sama sekali diabaikannya...
"Gua bilang tiga jurus ya tiga jurus? Dasar Si Tolol Berkepala Batu." Sekejap itu kudengar Hui Dàye bergumam.
Benar-benar gaya khas Hui Dàye... Tapi... Jantungku serasa mengganjal di tenggorokan, sementara Guruku justru tenang. Meski tak ada komunikasi, aku tahu ia sedang tenang.
Alasan ketenangannya terungkap sekejap kemudian!
Pukulan jarak dekat Hui Dàye, seberapa besar kekuatannya? Aku tidak tahu, tapi 'pikiran' ini sangat 'menyayangi' dirinya sendiri, sampai-sampai aku sering berhalusinasi bahwa 'kecintaannya' pada diri sendiri mencapai tingkat 'kekaguman'. Jika tidak, saat itu dia tidak akan duduk di posisi tinggi itu sambil menatapku begitu lama, karena tubuhku memang yang ingin direbutnya.
Lalu, bagaimana mungkin makhluk seperti ini bisa membiarkan seekor semut melukai dirinya sedikit pun? Meski di matanya, Hui Dàye hanyalah semut yang sedikit lebih kuat!
Dia tidak memiliki sifat nekat seperti Hui Dàye. Saat Hui Dàye melepas tinju, dia sama sekali tak sempat mengambil kekuatan dari Sungai Takdir. Dengan tergesa-gesa dia menarik kembali tinjunya, agak kikuk memaksa membuka telapak tangan, lalu dengan reflek mencengkeram kepalan Hui Dàye.
Gerakan yang sangat biasa, bahkan sering digunakan orang awam saat berkelahi. Tanpa benturan keras apapun, tiba-tiba 'pikiran' itu menjerit kencang. Suaranya begitu mengerikan seolah mengalami luka terparah.
Orang biasa mungkin bingung, tapi aku melihat jelas: kekuatan pukulan terakhir Hui Dàye telah menghancurkan energi yang sembarangan dikerahkan 'pikiran' itu, sisa kekuatannya langsung melukai sang 'pikiran'.
“Dan tinju Hui Dàye sendiri sudah penuh dengan kekuatan, ini murni kekuatan fisik. Dalam tabrakan seperti ini, pergelangan tangan Dewa mungkin terluka, tekanan sesaat bahkan merobek lapisan epidermis telapak tangan Dewa, darah merembes keluar dari kulitnya. Inilah kekuatan fisik murni Hui Dàye..."
Diiringi teriakan melengking Dewa, kekuatan-kekuatan yang saling bertabrakan dan hancur itu mulai menyebar ke segala penjuru. Alam semesta yang awalnya tenang tiba-tiba berubah warna, angin kencang kembali hendak bertiup di platform ini, namun tanpa alasan jelas tersedot ke sungai di belakang Dewa... Angin penuh kekuatan itu mengikuti alur sungai, menerpa sungai takdir yang menggantung di langit, menggelora beberapa ombak, lalu berputar-putar sebelum menghilang dalam sungai.
"Hahaha..." Suara Hui Dàye terdengar hampir hancur. Sebenarnya ini adalah suara yang muncul ketika seseorang menguras tenaga hingga hampir hancur.
'Gedebuk!' Hui Dàye runtuh ke tanah, jantungku ikut jatuh bersamanya. Saat ini, masih adakah titik terang? Mengapa Guruku bisa tetap begitu tenang?
Meski Dewa mendapat luka ringan, tapi bagaimanapun Dewa berhasil menahan satu pukulan Hui Dàye... Lalu...
Saat itu, kurasakan Guruku hanya ingin menginjakkan langkah ini dengan sekuat tenaga, sama sekali tak memikirkan hal lain. Namun langkah ini seolah menjadi suhu kritis kekuatannya. Meski berusaha mati-matian, kakinya tak kunjung terinjak. Bahkan kudeteksi kegelisahan dalam dirinya.
Mungkin harapan Guruku terletak pada Paman Chen. Pikiran ini melintas reflek dalam benakku. Saat mengingat Paman Chen, sudut pandang baru muncul jelas: siluet Paman Chen yang duduk bersila di tanah.
Tapi kini Paman Chen menundukkan kepala. Angin sepoi-sepoi menerbangkan rambut berubannya. Rambut uban?! Padahal sebelumnya rambutnya lebih banyak hitam daripada putih. Mengapa tiba-tiba memutih seluruhnya?
Jelas kurasakan, saat ini dia bahkan kehilangan kesadaran diri. Terjebak dalam kondisi kelelahan ekstrim dan tidur pulas, sampai-sampai tak punya tenaga untuk berbaring.
Kondisi Paman Chen... seperti ini? Bagaimana mungkin menjadi tempat perlindungan jiwa?
'Tetes' 'tetes'... Bunyi tetesan air - bukan, darah dewa yang menetes ke tanah - terdengar sangat jelas di telingaku. Di tengah tekanan dahsyat dan pikiran yang nyaris kolaps, tak kutemukan secercah harapan. Tapi aku tak boleh menyerah pada Hui Dàye!
Apakah Guruku sudah memahami hidup-mati, menganggap selama tujuan tercapai, kematiannya atau Hui Dàye tidak penting? Jika benar, bagaimana mungkin napasnya terhenti tadi? Jika benar, mengapa dia begitu khawatir padaku?
Sayangnya, aku sama sekali tidak bisa berkomunikasi dengan Guruku, bahkan saat dia sadar sekalipun. Dalam Konsentrasi Pikiran, kondisiku seperti tidur berjalan. Semua emosi bersifat instingtif, semua 'pemikiran' berasal dari bawah sadar!
Namun realitas takkan berubah karena kegelisahanku. Sang Pikiran terpaku, hanya menatap tangan lembeknya yang tak bisa diangkat, menyaksikan darahnya menetes perlahan, ekspresi wajahnya berubah-ubah tak karuan.
Sungai Takdir di belakangnya tiba-tiba memisahkan aliran daya tahan hidup yang melambangkan kehidupan, mengalir deras ke pergelangan tangan terluka Sang Pikiran. Tapi dia seperti preman kampung yang mengamuk, dengan histeris menendang keras ke arah Hui Dàye.
Dalam keadaan heboh itu, tendangan kerasnya sama sekali tanpa tenaga magis - murni pelampiasan emosi yang ekstrem!
“Kau berani melukai aku? Kau benar-benar berani melukai aku?” Dewa nyaris histeris berteriak, menendang punggung Hui Dàye. Namun di saat bersamaan, langit di atasnya tiba-tiba berubah menjadi merah menyala... Tapi dalam amarahnya, Dewa sama sekali tidak menyadari. Ia kembali menendang Hui Dàye sambil berteriak: “Apa arti Si Tolol Berkepala Batu ini? Apapun maknanya! Kau berani mengolok-olokku? Menghina manusia mulia sepertiku?!”
Saat itu, Lin Xiaohua yang sejak tadi menopang dagu dengan sikap acuh tak acuh tiba-tiba tertawa mengejek. Entah siapa yang diejeknya – mungkin menertawakan Dewa yang tak paham arti ‘Si Tolol Berkepala Batu’?
Tapi aku tak bisa sesantai dia... Setiap tendangan Dewa ke tubuh Hui Dàye terasa seperti menyobek jantungku... Seandainya bisa! Aku ingin... Pikiranku terpotong ketika Guruku di samping tiba-tiba mengaum. Tangannya di belakangku mengerut kaku akibat tekanan yang berlebihan.
Dia sedang memaksakan diri untuk menginjak posisi Kaiyang!
Tapi kenapa aku merasa ini sudah mencapai batas kemampuan Guruku? Bagaimana melanjutkan perjalanan ini?
Entah imajinasiku atau tidak, langit berapi tiba-tiba mencair... Satu per satu bunga api membara berjatuhan dari langit, mengelilingi tubuh Dewa bagai hujan meteor!
“Kekuatan lima elemen, kau tak bisa menyerapnya, benar kan yang kukatakan?” Suara perempuan itu terdengar.
Sementara aku, dalam sekejap ini, otak menjadi kosong. Intuisiku mengatakan, jika posisi Kaiyang ini bukan aku yang menginjak dengan paksa, Guruku mungkin akan terluka parah karena langkah ini.
Mengapa aku tahu... Aku sendiri juga tidak begitu mengerti.
Kalau begitu, paksa saja diinjak!
