Tak pernah kubayangkan suatu hari aku akan berdiri di tengah badai petir.
Benar, pemandangan ribuan kilat menyambar langit ini tak bisa lagi disebut sekadar sambaran petir, harus disebut badai petir.
Dengungan dahsyat itu membuat kedua telingaku tuli sesaat. Kulihat Si Kakek membuka mulut lebar-lebar berbicara sesuatu, tapi sama sekali tak kudengar.
Di saat yang sama, aku juga takjub pada keajaiban formasi ini. Dalam operasinya, ribuan kilat terkonsentrasi menjadi 4 sudut berbeda, menghujam ke langit. Tapi kami yang berdiri di dalam formasi tetap utuh.
Karena sasaran sebenarnya bukan kami. Di sini mustahil ada pemborosan energi untuk target sia-sia. Lagipula, aura energi dan pengaruh tribulasi surgawi mana mudah diciptakan? Apalagi ini masih ritual tak sempurna?
‘Gemuruh’, kemegahan alam semesta tepat pada saat itu. Seluruh tubuhku mati rasa akibat sisa gelombang petir, kedua telinga benar-benar tuli, mata juga terguncang hingga gelap gulita. Aku merasa sepenuhnya terbenam dalam kegelapan.
Tapi ini tidak mengurangi harapan dan keteganganku saat ini. Benarkah bisa menciptakan efek bencana langit? Meski aku tak tahu di mana letak fungsi sebenarnya membongkar dimensi dengan efek seperti ini?
Ribuan petir menyambar bersamaan, dikatakan sebagai pemandangan megah nan indah sempurna. Namun nyatanya seperti kembang api, keindahan yang terlalu memukau selalu tak bertahan lama. Keagungan sekejap hanya meninggalkan keabadian dalam hati manusia... Pemandangan ini pun hanya bertumpu sesaat, lalu menguap bagai asap.
Pada saat itu, kesadaranku belum sepenuhnya pulih. Telinga masih terus berdengung, tubuh masih mati rasa. Hanya sensasi cahaya di mata yang perlahan kembali.
Dengan reflek kuangkat kepala, karena kurasa keruntuhan dimensi pasti dimulai dari langit... Lagipula, kali ini ritual ini kuselesaikan sendiri. Meski versi diriku berbeda, andai di detik ini kulihat pecahan dimensi, kurasa tak akan ada penyesalan seumur hidup.
Dalam dengungan telinga, penglihatan akhirnya berangsur pulih. Yang terpampang di mataku tetap langit misterius bertabur bintang. Jantungku mulai membeku cepat, seperti tubuhku yang sedang menua secara drastis... Pikiran histeris berteriak, lubang hitam terbuka lebar menelanku, tapi kuabaikan saja.
"Jika kami tidak bisa menghentikannya, pasti Langit akan mengatur manusia atau peristiwa lain yang muncul? Hanya bisa dikatakan, kami bukan orang yang ditakdirkan... Sungguh disayangkan, sudah bertarung habis-habisan, mengorbankan begitu banyak... Tapi, dalam setiap kemajuan sejarah, perjuangan menghancurkan penindasan atau kegelapan, bukankah juga dipenuhi pengorbanan? Tidak akan pernah kekurangan satu orang seperti saya, kan?"
Sudut bibirku malah menunjukkan senyuman tipis. Jika kali ini pasti berakhir fatal, kupikir setiap orang yang jatuh di tempat ini seharusnya tersenyum sepertiku. Tidak ada penyesalan selama sudah berusaha... Kalimat sederhana ini telah menjelaskan kebenaran sejati: kehidupan membutuhkan proses, bukan hasil. Banyak hal juga begitu, yang dicari hanyalah ketenangan hati karena sudah berusaha.
"Perasaan tidak berguna. Bagaimana kehidupan berikutnya memperlakukanku seperti ini? Masih tidak bisa melihat semuanya sudah berakhir?" Aku sangat jengkel dengan perasaan ini. Setiap pikiranku terasa diintip. Hanya sekejap pikiran, 'aku' yang tenang bagai sumur kuno malah memberikan jawaban seperti ini.
Semua berakhir? Ya... Masih bisa tenang saat semuanya berakhir, aku benar-benar mengagumi kehidupan lampauku. Mungkin sudah mencapai tingkat bisa melihat segalanya dengan jernih, tidak mudah timbul perasaan lagi?
Tapi, sebentar lagi, di mataku, langit malam yang megah itu tiba-tiba mulai pecah... Hanya mulai retak dari sudut kecil, tapi kecepatannya luar biasa... Saat kukira akan berubah menjadi serpihan jatuh, ternyata tidak. Hanya di tengah retakan itu, tiba-tiba muncul sedikit warna biru.
"Biru itu bukan warna biru murni dari dimensi ini, melainkan biru langit dan awan putih yang sering kulihat di dunia luar." Sedikit warna biru itu segera berkabut, mulai meluas perlahan. Kemudian seberkas sinar matahari menembus dimensi ini, menyinari ruang ini secara diagonal.
Sinar matahari? Betapa aku merindukannya... Dengan reflek kuulurkan tangan kering dan tua, berusaha menangkap sehelai cahaya ini. Namun yang kulihat hanyalah debu-debu mikro di udara yang menari-nari di ujung jariku.
Rupanya inilah makna 'akhir'? Dimensi ini diam-diam terbuka begitu saja? Di sini, di tempat ini, terbentuklah lubang yang mulai terhubung dengan dunia luar? 'Aku' yang dimaksud ternyata adalah akhir semacam ini. Rupanya kami benar-benar berhasil, berhasil...
Tapi bagaimana kesuksesan ini justru mengakhiri segalanya? Sang 'Aku' itu terdiam membisu, tak memberi jawaban apapun padaku.
Justru di saat inilah Sang Pikiran tiba-tiba mulai berteriak: "Tidak..." Lalu dengan kemarahan ia menatapku, menudingku: "Rupanya ini maksudmu! Rupanya semua jebakan yang kalian rancang adalah untuk ini!"
"Lalu menurutmu apa maksudnya? Ambil semua milikku, sekarang saatnya mengembalikannya?" Sang 'Aku' berbalik dengan datar menatapnya. Dalam hati tak ada amarah, kebencian, juga tak ada sukacita atau kasih sayang... Sepenuhnya mengabaikan Sang Pikiran ini, memandang semua ini sebagai hal yang wajar.
Persis saat ucapan Sang 'Aku' berakhir, suatu perasaan aneh mulai menyelimuti dimensi ini. Atau lebih tepatnya, suatu kekuatan misterius mulai memenuhi seluruh ruang dengan cepat.
Kekuatan seperti ini pernah kurasakan pada seseorang yang tidak tahu apakah masih bisa disebut 'manusia'. Saat itu, di Danau Seribu Hantu ketika mengajukan permohonan ke Langit, suara yang meresponsku dipenuhi kekuatan serupa! Perbedaannya, kekuatan yang kini menyelimuti dimensi ini lebih dahsyat, lebih murni, lebih membuat orang berpikir tentang sesuatu yang abadi sejak masa silam, sesuatu yang terus beroperasi dan tak bisa dihancurkan.
Apa ini? Langit...
'Peng'—suara berat menggema. Lubang hitam di antara para Dewa pertama kali pecah... Seperti yang 'aku' katakan, semua yang mengambil milikku mulai kembali dengan cepat ke tubuhku.
Sementara sihir Dewa terpaksa dihentikan, terkena karma balasan. Dia memuntahkan darah segar... Pada saat itu, Sungai Takdir di belakangnya juga berhenti mengalir.
"Mengapa? Mengapa aku gagal?" Dewa tiba-tiba bersujud di tanah. Aku tak mengerti bagaimana dia menilai kegagalannya sendiri.
"Yang menggunakan trik, mengandalkan orang lain, mempermainkan takdir... semua bertentangan dengan Langit! Jika kau tidak gagal, mungkinkah itu disebut Langit?" 'Aku' berbicara dengan tenang. Di momen ini, aku akhirnya mengetahui jawaban sebenarnya.
Alasan Dewa berani mempermainkan takdir dan merampas roh manusia semata-mata karena dia mengandalkan dimensi khusus ini. Aku tak tahu bagaimana dimensi ini terbentuk, tapi di sini dia bisa menghindari pengawasan Langit dan melanggar aturan dunia tempat kami berada.
"Penembusan dimensi" yang kulakukan sebenarnya adalah membuka sebuah ‘gua’, membiarkan Langit di luar mengerti semua ini. Seperti manusia yang ingin mencapai pencerahan, jika tidak menempuh jalan jasa kebajikan yang diakui Langit, pasti akan mengalami bencana langit, karena dia telah memenuhi kondisi bencana tersebut.
Makhluk suci juga telah melanggar batasan Langit, mempermainkan takdir. Dia pun memenuhi syarat bencana langit. Ternyata tanggung jawab yang diberikan Langit kepada kami adalah menjadi ‘pemandu jalan’ untuknya, memanggil bencana langit milik Yang Ilahi ini.
Penembusan dimensi, ternyata ritual terakhir yang ditinggalkan Guru Leluhur untukku, menyimpan makna sedalam ini.
"Benar-benar makhluk suci." ‘Aku’ itu sekali lagi tak kuasa mengeluarkan kekaguman. Di saat yang sama, Sungai Takdir di belakangnya mulai menguap dengan cepat, sementara tubuhnya terbelenggu oleh kekuatan yang jauh lebih dahsyat daripada ikatan Langkah Yu Alam Semesta. Bahkan ekspresi sedih sang makhluk suci terbekukan dalam momen ini.
Warna biru yang semula berkabut kini berubah menjadi awan hitam bergulung-gulung... Di detik ini, akhirnya kumengerti. Saat Sungai Takdir pertama kali mengaum, kilat mendidih yang kulihat ternyata terhalang lapisan kaca tebal, tak mampu menghujam masuk ke dimensi ini.
Lalu mengapa formasi bencana langit Paman Wang justru memanggil bencana langit?
Saat aku masih bingung, ‘aku’ itu kembali memberiku jawaban.
“Ruang ini semakin hari semakin lengkap, mungkin banyak orang sudah menyadari bahwa tempat ini adalah dunia lain? Tapi siapa yang tahu? Siapa bisa mengerti semua misteri waktu dan ruang? Bahkan mengapa Langit menciptakan ruang seperti ini, mungkin kita tak akan pernah tahu. Satu-satunya yang bisa kukatakan, sesungguhnya orang gila yang menggambar formasi itu memicu bencana Langit di sini! Lantas di manakah sebenarnya tempat ini?” Untuk pertama kalinya aku merasakan gejolak emosi dalam diri Dao Tongzi ini, bahkan ada kebingungan - kebingungan tentang di manakah sebenarnya tempat ini?
Namun dibanding kebingungannya, aku jauh lebih legowo. Mungkin aku tak perlu memahami semua hal di dunia fana... Hanya ingat ini adalah jalan hidupku semata.
Satu-satunya pencerahanku adalah: Pikiran itu mempermainkan aturan, dia tidak termasuk dalam Langit di sini, tapi bersembunyi di tempat ini... Di sini tak bisa menghakiminya karena dia tak memenuhi syarat untuk memicu bencana Langit. Selama bertahun-tahun dia merampas segala sesuatu dari manusia dunia luar, satu-satunya perampasan makhluk di sini baru saja terjadi tadi.
Sedangkan bencana Langit dunia luar tak bisa menjangkaunya... Pemikiran ini memang agak berbelit... Tapi akhirnya bisa menjelaskan semua.
Mengapa kami dikirim masuk, mungkin bukan dengan membongkar dimensi, tapi menggunakan cara licik dengan menumpuk dimensi? Jika guru leluhurku bisa mewariskan ritual pembongkaran dimensi, maka formasi besar Wu Tian pasti menggunakan formasi yang memanfaatkan aturan tertentu.
‘Aku tiba-tiba menyadari bahwa Tao tak berujung’, yang kupikir telah kutempuh jauh, ternyata hanya seperti semut malang yang berdiri di kaki gunung... Ternyata pemandangan dunia fana begitu megah, yang kulihat masih belum seberapa.
Perasaanku bergolak... Seberkas petir tipis telah terbentuk di langit, saat Sungai Takdir mengering, energi-energi itu berhamburan ke sudut-sudut dunia, memang kekuatan yang diambil dari makhluk dunia ini... Sudah seharusnya dikembalikan.
‘Gemuruh!’, petir tipis itu menghujam, teriakan histeris dikeluarkan oleh dewa yang terkurung... Sebuah batu berguling keluar dari jubah putihnya yang robek, batu bertulisan langit itu.
Aku teringat perkataan Guruku, dengan reflek hendak mendekat, tapi ‘diriku’ yang lain lebih cepat bergerak, telah berjalan menghadapi sisa-sisa kekuatan bencana langit pertama.
Tapi, kami terlalu fokus, tak sanggup menyaingi kecepatan siluet itu, tangan mungilnya mengambil batu tersebut.
Lin Xiaohua.
