"Makamkan dia di Ruang Rahasia di bawah altar itu, itu juga bisa dianggap beristirahat dengan tenang di dalam tanah." Saat Nenek Ling Qing melepaskan tangan yang menutupi mataku, Lin Xiaohua sudah terbaring rapi di lantai dengan sehelai kain bersih menutupi wajahnya, entah dari mana Nenek Ling Qing menemukan kain itu.
Tubuh di balik pakaiannya tampak lebih 'kurus' dari sebelumnya. Wajah dan lehernya tak terlihat, rambut beruban yang awalnya terurai juga sudah sedikit disisir rapi oleh Nenek Ling Qing.
Benar juga, beristirahat dengan tenang di dalam tanah.
Aku menahan kepedihan di hati sambil mengangkat mayat Lin Xiaohua. Angin berhembus menerpa kain penutup wajahnya yang melambai-lambai... Di kepalaku masih terbayang siluetnya saat pertemuan pertama di bawah cahaya bulan... Tatapannya yang anggun dan acuh, seolah ia masih ada di sana, menggoyang-goyangkan kaki sambil meniup gelembung air liur.
Kehidupan memang sulit dipahami. Sebentar lagi bahagia, sebentar lagi langit runtuh bumi hancur... Tapi bukankah hidup harus tetap dihadapi? Aku sangat mengagumi perempuan yang membawa keberanian hingga ke kehidupan selanjutnya ini. Katanya ia masih ingin membalas anugerah.
Ruang samadi tempat Guruku dan mereka dulu bermeditasi harus melewati tangga. Di dasar yang gelap, terdapat sebuah ruang tidak terlalu besar tapi juga tidak kecil.
Aku meletakkan Lin Xiaohua di sini. Kupikir ada beberapa hal yang ingin kukatakan padanya. Bagaimanapun, ini pertama kalinya aku merasakan ketertarikan pada seorang gadis sejak bertemu Ruxue. Mungkin ini suatu keistimewaan?
Tapi, dalam kegelapan ruang bawah tanah, tenggorokanku bergerak-gerak. Pada akhirnya aku tak berkata apa-apa, hanya menghela napas lalu meninggalkan ruang rahasia bawah tanah ini.
Saat keluar dari ruang rahasia bawah tanah, aku terus-menerus ragu. Haruskah memakamkan Lin Jianguo dan anaknya di sini juga? Setelah berpikir... akhirnya kubatalkan. Lin Xiaohua bilang, dendam seumur hidup mereka sudah berakhir, buat apa dikuburkan bersama? Tidak sesuai dengan adat.
Kutatup kembali pintu ruang rahasia bawah tanah itu. Saat pintu gerbang yang menggelap itu tertutup rapat, aku tahu sudah benar-benar berpamitan dengan Lin Xiaohua.
Tapi tidak apa. Aku akan mengingatnya.
Bersamaan dengan ingatanku akan jejak yang ditinggalkan Lin Furui di dunia ini, aku juga mengingatnya.
※※※
Di atas platform tidak ada konsep waktu. Sama seperti bagian lain dimensi ini - tempat lain langitnya biru abadi, sedangkan di sini langit bertabur bintang selamanya.
Aku dan Nenek Ling Qing dengan susah payah menyeret Guruku dan yang lain berkumpul. Dengan batu-batu berserakan di platform, kami membangun makam untuk Lin Jianguo dan anaknya... Bagaimanapun, Lin Furui adalah orang yang patut dikasihani. Sedangkan Lin Jianguo jelas bukan orang jahat, bahkan sempat membantuku. Tak tega membiarkan mayat mereka tergeletak di platform ini.
Setelah semua ini, aku sudah sangat lelah. Tergolek di samping Guruku, mendengar hembusan napasnya yang teratur dan panjang, mataku hampir tak bisa terbuka.
Serangkaian pertempuran sengit, kelelahan di dasar hati seakan meledak saat ini. Hanya karena ada 'bau' di sini, bau yang berasal dari Guruku. Saat bisa merasakannya dengan tenang, ketenangan hati yang sempurna tak lagi mampu menahan kelelahan tubuh dan jiwa.
Kelelahan ini membuatku hanya ingin tidur. Masih banyak pertanyaan tersisa, seperti masalah besar bagaimana kami akan keluar dari sini. Tak ada lagi ruang di hatiku untuk memikirkannya, hanya kegelisahan samar yang tersisa.
Aku tahu, semua orang masih berharap bisa bertemu dengan orang tua mereka.
Tapi saat itu, tangan hangat Nenek Ling Qing mengelus rambutku. Suaranya yang lembut terdengar: "Jika lelah, tidurlah... Tidur dengan tenang."
Kata-kata Nenek Ling Qing seperti diselimuti sihir yang menenangkan. Saat ini, semua kegelisahan menjauh. Tapi aku takut ini semua hanyalah mimpi - perasaan dikelilingi para sesepuh adalah ilusi, terutama Guruku... Aku takut bangun dan kehilangannya lagi.
Seperti saat kepergiannya dulu, di suatu siang yang biasa-biasa saja, dia tak pernah kembali.
Karena itu, sebelum menutup mata, dengan reflek aku menggenggam tangan Guruku yang kasar. Kugenggam erat-erat, baru kemudian bisa menutup mata dengan tenang. Sejenak kemudian, kelelahan menyergapku. Aku langsung terjerembab dalam kondisi 'tidur pulas'.
Tidur ini tanpa mimpi. Malah ada perasaan semakin hangat seiring waktu... Entah sudah berapa lama, yang jelas nyaman sampai tidak ingin bangun.
Hingga akhirnya aku tidak bisa tidur lagi karena dirangsang oleh rasa lapar yang dahsyat dan aroma harum yang tak jelas asalnya, baru dengan enggan membuka mata.
Tapi saat itu, aku masih setengah sadar, merasakan punggungku dipukul pelan, rasa sakit ringan itu membuatku refleks mengangkat pandangan. Kulihat Guruku sedang berjongkok di hadapanku, memiringkan kepala sambil menatap wajahku.
Rambut dan jenggot yang acak-acakan, alis mata yang familiar, membuatku linglung sejenak. Otakku yang masih bingung butuh waktu lama baru teringat bahwa aku telah menemukan Guruku dan mereka, aku berhasil menemukan!
Perasaan bisa langsung melihatnya saat bangun benar-benar menyenangkan. Tiba-tiba ada dorongan untuk menangis di hatiku, tapi belum sempat mengungkapkannya, punggungku kembali 'dihantam' pukulan... Pertempuran beruntun sebelumnya sudah membuat seluruh tubuhku pegal tanpa alasan, tamparan Guruku ini membuatku tak kuasa 'memperlihatkan gigi', mana sempat ingat ingin menangis tadi?
"Si bocah nakal! Lihatlah kau sudah tidur berapa lama? Lebih dari sepuluh jam... Tanpa kehadiranku, kau bisa tidur seenaknya? Bertahun-tahun ini? Masih ingatkah bagaimana latihan pagi? Masih ingatkah..." Rentetan omelan Guruku bagai meriam bertubi-tubi yang meledak di kepalaku hingga pusing tujuh keliling.
"Dan kebiasaan yang terbentuk karena sering ditindas olehnya waktu kecil, membuatku secara refleks berpikir tamat, sudah terlambat, lalu harus bangun untuk latihan pagi. Baru setelah Guruku ditarik oleh Nenek Ling Qing yang tertawa, aku tersadar."
"Latihan pagi apaan sih! Aku jelas-jelas tidur karena kelelahan setelah pertempuran beruntun, tak sengaja terjerat omongan Guruku."
"Wahahaha... Sejak kecil Chengyi memang si bodoh, tak sepintar Huigen kecilku... Lihatlah gaya Si Tolol Berkepala Batu itu, beneran mau latihan pagi." Kemudian, tawa bahagia yang meledak-ledak terdengar di sampingku. Tanpa melihat, kupastikan itu suara Hui Dàye. Kuusap dahiku yang mulai pusing, sudah tahu apa yang akan terjadi!
"Sialan Hui Jue! Muridku mana ada yang bodoh? Dengan spesimen si bodoh seperti kau di situ... Siapa pun di sini pasti terlihat jenius! Berani-beraminya menertawakan orang?" Benar saja... Suara Guruku masuk ke telingaku seperti ledakan.
Saat itu, kusadari detail penting: sehelai baju compang-camping bernoda jejak darah menutupi tubuhku. Saat aku bangun, pakaian itu tergelincir dari badanku.
Kuambil baju itu, belum sempat berpikir apapun—
—Terdengar suara bangkit yang berdesir angin, lalu teriakan yang lebih heboh dari ledakan: "Siapa yang kau bilang spesimen si bodoh?! Jiang Lichun, kau si tolol! Aku tantang kau duel satu lawan satu!"
"Duel satu lawan satu ya duel! Aku yang sudah hidup hampir seratus tahun ini, mana pernah takut sama kau?" Benar, Guruku dan Hui Dàye yang sering duel ini, mana ada yang takut sama siapa?
Nenek Ling Qing jongkok di sampingku, kami saling bertukar tatapan pasrah. Tapi sebelum sempat bicara lagi, suara tulus nan polos menyela di antara Hui Dàye dan Guruku.
"Gua bilang, kalian Bao she lie (jangan bicara)! Bao she lie! Berantem di depan anak kecil kan tidak baik?"
Siapa itu? "Kaos kaki" yang dia maksud pasti aku ya? Untungnya aku cukup sering bergaul dengan Hui Dàye, tahu arti "kaos kaki" adalah anak kecil... Tapi aku tak tahan tertawa, kok ada orang senegara Hui Dàye di sini?
Kuangkat kepala, ternyata Xiao Lao Ba. Dari pertempuran sebelumnya, citra gagahnya membuatku berkesan. Kukira pria pendiam yang teguh seperti gunung ini, tak disangka malah cemas menyela di antara Guruku dan Hui Dàye sampai wajahnya merah padam.
"Lao Ba, duduklah. Biarkan mereka berdua berantem seperti biasa. Cabut rambut, garuk jenggot, tarik muka - semuanya boleh. Kau kok selalu polos tertipu?" Suara wanita menyela. Kulihat, bukankah itu adik seperguruan Wu Liyu?
"Saat ini, aku juga menyadari ada perapian menyala di antara kami, dengan sesuatu yang sedang dimasak di atasnya. Wu Liyu malas-malasan meringkuk di samping api, memegang cangkir teh seolah sedang menyesap wine merah, menggoyang-goyangkannya. Ia melirik Guruku dan Hui Dàye dengan pandangan meremehkan, mendengus, "Tak ada secuil elegan atau keanggunan. Benar saja, jahil tak mengerti arti bangsawan."
"Diam kau!"
"Diam kau!"
Guruku dan Hui Dàye serentak menuding Wu Liyu sambil berteriak penuh kemarahan...
Di tengah kericuhan ini, hatiku tiba-tiba tersentuh tanpa alasan jelas. Pemandangan yang kukenal kembali hadir, jangan pergi lagi... Nyawaku tak sanggup menanggung kepergian tanpa pamit sekali lagi.
"Cheng Yi, saat kau tertidur, Gurumu bersikeras menyelimutimu dengan bajunya yang kotor. Katanya biar aromanya membuatmu tenang. Ia tak rela melepas genggaman tanganmu sampai kau berguling dan melepaskan genggamannya. Cheng Yi, Gurumu sangat merindukanmu selama ini."
Persis saat itu, suara lembut Nenek Ling Qing sampai ke telingaku. Tanganku refleks mencengkeram lebih erat baju berlumuran darah yang kugenggam.
