Perkataan Xiao Chengqian membuatku kebingungan. Tak tahan aku memukul kepalanya sambil berteriak: “Kau tidak tahu, ngapain kau ngomong apaan sih sama aku?”
Xiao Chengqian yang kepalanya dipukul langsung emosi. Cepat-cepat dia merapikan rambut landaknya sambil balas memukulku: “Meski aku tidak tahu, kau tidak boleh pukul kepala aku!”
“Kepalamu kenapa?” Aku bingung, sebelumnya si nak ini tidak punya harga diri soal ini.
“Goblok! Kau tega sama aku? Sudah berapa lama gaya rambutku diganti, rupanya kau sama sekali tidak melihat?” Xiao Chengqian menggelegar api kemarahannya, dengan serius mengguncang kerah bajuku.
Dalam pandanganku, rambut Xiao Chengqian berdiri tegak seperti landak. Aku memang tak peduli gaya rambut, kalau tidak tentu poni alami-ku tak akan abadi begini. Tapi jujur kupikir potongan agak panjang sebelumnya lebih cocok untuknya.
"Aku lihat, aku lihat!" Melihat si nak ini serius, tak ada cara lain selain merengek-rengek karena topik ini benar-benar menjemukan.
"Nah gitu dong. Gaya rambut ini memberi kesan macho. Biar Cheng Zhen si nona kecil itu berhenti bilang wajahku mirip wanita." Sambil berkata, Xiao Chengqian tak tahan mengusap rambutnya, bergumam: "Apakah hairspray di kota kabupaten ini tidak bagus? Kok baru kena angin sedikit, rambutku langsung goyang?"
Kupikir topik ini merendahkan tingkat kecerdasanku. Dengan tegas aku berbalik pergi. Hampir saja kuucapkan: Rambut 10 sentimeter-mu yang tegak begini, hairspray sebanyak apapun pasti kalah sama angin! Tapi akhirnya kupikir tak perlu berdebat soal 'receh' ini dengannya.
"Hei Chen Cheng Yi, lari apaan? Gaya ini dipuji Su Cheng Xin lho... Kau belum kasih pendapat?" Terdengar teriakan Xiao Chengqian yang tak rela dari belakang.
Wajahku nyaris berkedut. Kuyakin si Xiao Chengqian ini dikerjai Kak Cheng Xin sampai mati pun tak sadar. Tanpa menoleh kukatakan: "Guruku menyuruhmu mencariku, tapi tak memberi tahu waktu berangkat. Ini kan omong kosong?"
“Seharusnya tidak lama lagi, aku percaya Pak Jiang akan mengatur.” Bicara soal ini, si nak ini malah tidak membahas gaya rambutnya lagi, tapi menjawabku dengan serius.
Aku melambaikan tangan, tidak berbicara lebih lanjut. Artinya sudah sangat jelas—tujuan percakapan ini tercapai, aku telah menerima dan menyetujui hal ini.
※※※
Makam Paman Li terletak di Tempat Angker di sekitar Pondok Bambu. Ada makna khusus di sini—lereng makam dipilih langsung oleh Cheng Zhen untuk Paman Li. Katanya fengshui Pondok Bambu juga cukup bagus.
Aku tidak paham seluk-beluk 'rumah yin'. Tapi Cheng Zhen yang selama bertahun-tahun mengikuti Paman Wang, pastinya tidak salah.
Di area Pondok Bambu, cuaca cerah dengan sinar matahari bersinar terang dan angin sepoi-sepoi berhembus pelan... Tapi begitu mendekati makam Paman Li, cahaya agak meredup dan angin bertiup lebih kencang. Jaket tipis yang kukenakan membuatku menggigil, mungkin karena baru sembuh dari sakit.
Dari kejauhan, kulihat punggung Kak Cheng Qing yang berdiri di depan nisan Paman Li. Ia mengenakan baju gaya Tang abu-abu yang sudah lusuh akibat sering dicuci.
Angin menerbangkan ujung baju dan helai rambut sepanjang bahu Kak Cheng Qing... Uban yang menyembul di antara rambut hitamnya terlihat menyilaukan, sekaligus membawa aura kesepian yang menyayat hati.
"Dalam kesanku, aku tak pernah melihat punggung yang begitu muram. Punggung Kak Cheng Qing memberikan getaran yang begitu kuat, pertama kalinya aku merasakan esensi kata 'muram' dengan begitu jelas."
Kutekuni langkah pelan, terdengar suara gesekan sepatu dengan rumput. Kak Cheng Qing bahkan tak menoleh, hanya bertanya lembut: "Cheng Yi?"
Tak ingin suasana makin mencekam, kusengaja tersenyum: "Kak Cheng Qing, kau tak lihat tapi kok tahu? Dihitung pakai ilmu ramal?"
"Hal remeh perlu dihitung? Setiap orang punya irama langkah berbeda. Aku punya kebiasaan kecil: suka mendengar suara langkah kaki, mengingat ritmenya. Seperti guruku, setiap kali mengangkat kaki selalu ada jeda sejenak, seolah memastikan setiap langkah tak meleset. Tapi saat melangkah, kakinya mantap—dari suara injakan di tanah sudah bisa ditebak." Suara Kak Cheng Qing datar.
Saat itu aku sudah sampai di samping Kak Cheng Xin. Tubuhnya menyengat bau arak. Di tangannya tergenggam cawan minum, di tanah tergeletak tabung bambu berisi arak. Di sebelahnya ada tabung bambu lain yang sudah roboh.
Sengaja kubungkukkan badan, kuambil tabung itu kugoyang-goyangkan—masih tersisa sedikit tetesan arak. Kumerenguk, lalu meletakkan kembali tabung bambu itu.
Guruku sering membeli arak pakai tabung bambu seperti ini. Satu ruas biasanya isi 1 kati. Apa Kak Cheng Qing sendirian di sini sudah menghabiskannya? Minum 1 kati arak tanpa henti? Bisa-bisa ada masalah!
"Begitu pikirku, aku langsung merebut cawan arak dari tangan Kak Cheng Qing dan meneguknya... Karena luka, sudah lama aku tidak menyentuh arak. Cairan pedas ini mengalir di tenggorokan, membuatku tersedak hingga batuk-batuk."
Dengan tenang, Kak Cheng Qing merebut kembali cawan dari tanganku, lalu berkata datar: "Kau terluka, tidak seharusnya minum arak."
"Lalu kenapa kau boleh minum sebanyak itu?" Suaraku mulai terdengar bergetar. Aku mengerti perasaan Kak Cheng Qing, tapi menurutku dia tak boleh terus larut dalam kesedihan. Benar, Paman Li sudah tiada, tapi dia masih punya kami... Meski secara emosional kami tak bisa menggantikan Paman Li, tapi bukankah kesepiannya ini berlebihan? Seolah...
Kata-kata itu tertahan di kerongkonganku. Aku tak sanggup menjelaskan mengapa Kak Cheng Qing memilih menyendiri di saat seperti ini, seakan keramaian dan kehangatan hanya milik kami, sementara dia sendiri terasing.
Menghadapi tuduhanku, Kak Cheng Qing menghela napas panjang lalu berkata: "Sebenarnya aku tidak minum banyak. Lihat lantai."
Jarinya menunjuk ke sudut pekarangan. Kulihat genangan cairan berbau arak menyengat menguar dari tanah yang basah. Rupanya dia telah menumpahkan sebagian araknya.
Aku terdiam memandangnya. Dari tabung bambu, dia menuangkan cawan baru dan mulai melantunkan syair dengan suara lantang: "Kenangan pilu tak tertahan, menghadapi pemandangan nan muram. Lumut menyerbu anak tangga di pekarangan diterpa angin musim gugur. Tirai mutiara yang tak pernah digulung, siapa gerangan yang akan datang..."
Aku tidak mengerti tindakan Kak Cheng Qing, hanya bisa mendengarkan dengan tenang. Aku tahu ini pasti sebuah puisi Dinasti Song, tapi siapa penulis pastinya, aku tidak tahu. Aku tidak paham mengapa Kak Cheng Qing membacakan ini sekarang?
Kak Cheng Qing juga tidak berniat menjelaskan padaku, hanya membacakan puisi Dinasti Song itu dengan suara yang terdengar menyepi. Setelah selesai, ia menyiramkan arak di gelasnya ke area tadi, lalu menuangkan lagi segelas dan meneguknya sendiri. Dengan senyum tipis di sudut bibir, ia berkata: "Arak dan hidangan tak terpisahkan, tapi siapa sangka kadang kata-kata indah – baik puisi Tang-Song, opera Yuan, bahkan esai – bisa menjadi teman minum terbaik? Guruku mencintai puisi Song, pengaruhnya membuatku juga menyukainya. Barusan kubacakan adalah Ci Lang Tao Sha (nama kartu ci) karya Li Yu, Kaisar Terakhir Nan Tang. Guru paling suci pada karyanya di masa tua – gejolak hidup yang ekstrim, upaya memahami hakikat sejati dari kesedihan mendalam, pergulatan batin antara mencari kedamaian dan keraguan. Menurutnya, ini seperti cerminan manusia dunia fana, tapi yang langka adalah hati yang ingin mencapai pencerahan."
Aku terus mendengarkan dengan tenang sambil memperhatikan pipi kemerahan Kak Cheng Qing karena pengaruh alkohol. Seorang yang biasanya tenang seperti dia, menunjukkan emosi seperti ini sangat jarang. Terkadang melampiaskan perasaan bukanlah hal buruk. Yang perlu kulakukan hanyalah tetap mendengarkannya dengan sabar.
"Dan Kak Cheng Qing hanya ingin bercerita, suaranya yang sendu terus bergema di telingaku: 'Cheng Yi, tahukah kau? Guruku pernah berkata seumur hidupnya ia tak mencapai pencerahan jauh, karena terbelenggu di suatu jabatan, namun tanggung jawabnya berat. Di waktu senggang langka, ia selalu suka bersamaku minum arak sambil menyanyikan syair, menjadikan puisi sebagai lauk, minum sepuasnya... Kami terbiasa, satu syair, satu cangkir arak, seolah meneguk ribuan rasa. Kini, aku hanya ingin menemaninya lagi.'"
"'Cheng Yi, kau pasti marah padaku, perasaan kalian padaku begitu dalam, tapi aku sendiri kesepian begini, apakah ini melukai hatimu? Sebenarnya, tidak, tidak begitu! Guru di tahun itu sudah meramalkan dirinya takkan sanggup bertahan, tahukah kau apa yang ia katakan padaku?' Mata Kak Cheng Qing berkabut."
"'Apa katanya?' Arak yang baru diminum tadi menggelora di lambungku, entah mengapa aku ingin minum lagi. Tanpa sadar kuambil tabung bambu dan menenggak dalam-dalam. Sejujurnya, aku juga merindukan Paman Li, pria tegas itu yang mirip Kak Cheng Qing, tak pernah mengumbar perasaan tapi sangat menjunjung kebajikan."
"Jika tidak, saat aku sekolah di Beijing, bagaimana mungkin dia bisa tahu semua detail masalah buruk yang kulakukan di sekolah."
"Benar saja, yang paling ditakuti manusia adalah kerinduan. Tak boleh mengingat detail masa lalu, nanti terhisap dalamnya!
“Dia berkata, hari-hari yang tersisa baginya tak banyak lagi. Dulu, dia sangat khawatir aku akan kesepian, tapi sejak pertemuan di Beijing itu, dia tak pernah khawatir lagi. Dia bilang, beberapa saudara seperguruannya yang sama-sama murid Guru leluhur ini, tampak berbeda tapi sebenarnya satu hati. Aku memang mengikutinya, tapi dia yakin betul para Paman seperguruan juga menyayangiku sama sepertinya. Sedangkan saudara seperguruanku sendiri, memiliki hati polos seperti anak kecil. Keturunan Lao Li tak menerima orang yang tak paham makna cinta, sekalipun harus terbelenggu cinta seumur hidup! Cinta ini tentu termasuk kasih dalam persaudaraan seperguruan...” Dia berkata, merasa sangat beruntung bisa masuk sekolah Lao Li, dan berpesan agar aku tak terlalu merindukannya setelah kepergiannya nanti, karena itu akan menyakiti hatimu.” Usai mengucapkan ini, Kak Cheng Qing tak lagi menuang arak ke cawannya, melainkan meneguk langsung dari tabung bambu seperti aku.
Kemudian dengan napas berbau arak dia melanjutkan: “Sebenarnya, sepanjang perjalanan mengikuti kalian mencari Paman seperguruan, aku juga sedang mencari kerinduan akan Guruku. Menurut Guru, kerinduan ini terwujud dalam tiga Paman seperguruan. Dengan menemukan mereka, berarti aku telah menemukan Guru!”
Setelah mengucapkan kalimat terakhir, tubuh Kak Cheng Qing nyaris tak bisa berdiri tegak, dan aku segera menopangnya.
