BAB 11 PERGILAH KALIAN CEPAT

Kategori:Fantasi Penulis:Legenda Tao Jumlah Kata:1282 Update:25/04/01 13:47:06
  Orang yang terlihat? Siapa yang Guru maksud?   Tapi Guruku hanya diam sambil menggigit pipa tembakaunya, alisnya berkerut membuat kerutan di dahinya terlihat lebih dalam.   Melihatku ikut terdiam, dia menampar punggungku sambil berkata: "Kau ikut melamun apa, mandi berendamlah!"   Dalam situasi Guruku tak mau bicara, bertanya lebih lanjut juga percuma. Dialog ini jelas-jelas penolakan, tapi aku malah menikmatinya. Aku membiarkan diri tenggelam dalam kehangatan ini. Aku tahu beberapa hal dalam hidup jarang bisa terulang, tak seperti makan dan tidur yang berulang tiap hari.   Aku sangat merindukan kehangatan ini. Di sisa waktu berikutnya, kami berdua berada dalam keheningan, seolah kembali ke malam-malam hangat masa kecilku dulu.   Kehangatan tak kasat mata ini seperti kekuatan nyata yang mengepungku, membuat air dalam tong kayu menjadi dingin tanpa kusadari sama sekali.   ※※※   Gelapnya malam, pekatnya malam - bisa membuat orang putus asa semakin terpuruk, tapi juga memberi pelarian paling damai dan kehangatan untuk terlelap... Semalam aku ditopang Guruku keluar dari tong dalam kondisi setengah sadar. Tak seperti masa kecil dulu, dia tak lagi bisa menggendongku setiap kali aku tertidur saat berendam air harum.   Dia menopangku. Dalam kondisi linglung, kubiarkan dia mengusap tubuhku, memakaikan baju, lalu mengantarku ke tempat tidur.   Tidur nyenyak semalaman, tanpa mimpi sedikitpun.   Saat terbangun, tanpa alasan jelas sudah masuk tengah hari esoknya. Dengan dada telanjang bangkit dari tempat tidur, secara refleks memeriksa luka di dada yang kini telah mengering menjadi bekas luka merah... Pada akhirnya luka seberat ini pun sembuh. Terkadang aku merenung betapa nyawa ini sungguh sebuah keajaiban.   "Cheng Yi, sudah bangun? Cepat keluar makan, semua sudah duduk di meja tinggal menunggu kamu." Aku masih sibuk mengamati diri sendiri ketika Ibu tiba-tiba sudah masuk ke kamarku tanpa kusadari.   "Oh, Ibu, sebentar lagi." Kubalik badan, tersenyum tipis menyahut. Selalu saja perasaan sesak di dada muncul saat memandang Ibu. Sudah berapa lama sebenarnya aku menjaga di sampingnya sepanjang dewasa ini? Mungkin hitungan ini tak layak diurai. Memiliki anak seperti diriku, kadang apakah tak lebih baik tidak punya sama sekali?   Tapi kalau ungkapan seperti ini terucap, pasti Ibu akan memakiku habis-habisan.   Sementara aku masih termenung, Ibu sudah mendekat. Dengan cekatan ia mengambil sehelai baju dan mulai memakaikannya padaku. Aku agak malu, tapi Ibu dengan wajar merapikan kerah bajuku sambil mengobrol santai: "Kamu tak tahu saat pertama dibawa pulang, nyawamu sudah di ujung tanduk. Master Jiang muncul di depan rumah kami tengah malam itu, benar-benar membuatku kalang kabut. Di satu sisi senang melihatnya, tapi belum sempat bergembira sudah pingsan mendengar kabar lukamu yang parah."   Kukecahkan tawa: "Ibu, takut apa sih? Luka kan bisa diobati, bukan berarti mati."   “Jangan bicara sembarangan, kau adalah daging yang jatuh dari tubuhku. Masak Ibu tidak takut kalau kau sampai celaka?” Ibu saya merapikan kerah bajuku, lalu mengancingkan kancing sambil berkata: “Kau santai saja ngomong, tahu tidak? Saat itu, Master Jiang menyuruh Kak Cheng Qing menyiapkan 49 lentera Changming di luar, siap memaksakan pinjam nyawa untukmu... Waktu itu, Master Jiang terus bergumam, seumur hidupnya belum pernah melakukan hal melawan takdir, demi kau, melawan langit pun bisa.”   Aku terdiam, membiarkan Ibu mengancingkan bajuku. Menyalakan 49 lentera Changming untuk pinjam nyawa? Itu benar-benar hal melawan takdir. Tak kusangka Guruku sampai mau menahanku dengan paksa, ingin melawan takdir... Inikah yang akan dilakukan Guru? Sungguh tak terbayangkan!   “Kalau... kalau lukaku sembuh, karena...” Dengan reflek aku ingin bertanya.   Tapi Ibu langsung memukul bahuku dengan marah manja: “Bagaimana mungkin? Ibu juga tidak paham. Pokoknya suatu hari, Master Jiang bilang kau sudah di ambang hidup-mati, lalu menyuruh Kak Cheng Qing menyiapkan 49 lentera Changming. Katanya meski harus merebut dari Dewata, tetap akan merebutmu kembali... Tapi entah bagaimana, Master Jiang kemudian bilang kau sudah berhasil bertahan, jadi tidak perlu. Singkat cerita, dua hari kemudian kau langsung siuman.”   "Begini, aku tak tahu mengapa, tiba-tiba teringat mimpi saat pingsan itu. Di depan pintu gerbang itu, saat hendak melangkah masuk tapi ditarik paksa kembali... Tiba-tiba ada pencerahan: seandainya saat itu aku melangkah masuk, apakah aku akan...   Saat itu, Ibu sudah merapikan pakaian dan rambutku. Ia menepuk-nepuk punggungku sambil berkata: "Masih Diam saja di sini? Pergi cuci muka, makan sudah siap. Semua menunggu."   "O." Aku menjawab dengan terbengong-bengong, lalu secara mekanis pergi ke kamar mandi. Tanpa alasan jelas, keringat dingin mengucur deras. Tiba-tiba aku ingat jelas peringatan kehendak Dao Tongzi: jika melewati pintu gerbang itu, aku harus mengucapkan selamat tinggal pada segala ikatan duniawi di kehidupan ini.   Aku tak melangkah masuk. Lalu mengapa kehendak Dao Tongzi berusaha menghentikanku? Kehendak itu sebenarnya membeku. Sebagai manusia kehidupan ini, tak ada yang layak diperhatikannya!   Saat makan malam, aku masih terlihat linglung. Tapi hari ini tak ada yang memerhatikanku. Malah seluruh atmosfer makan terasa agak pengap.   Semua diam membisu, termasuk Guruku yang sedang minum arak di sampingku dengan alis berkerut, entah memikirkan beban pikiran apa.   Rasa makanan sebenarnya enak, tapi semua orang seolah tak punya selera makan. Hanya dalam waktu kurang dari setengah jam, banyak yang sudah meletakkan mangkuk, terlihat sudah kenyang. Hanya guruku yang terus minum arak tak menyadari suasana, menunduk minum arak dalam kesunyian.   "Pak Jiang, gua pengen berenang di kolam dalam." Huigen tak bisa diam, dalam atmosfer mencekam seperti ini, terutama dalam keadaan begini, akhirnya mengutarakan keinginannya.   Kalau di hari biasa, guruku pasti langsung mengangguk setuju. Di sini, beliau secara tak langsung telah menjadi pengambil keputusan. Tapi hari ini guruku justru terdiam seakan tak bisa langsung mencerna.   Huigen tak tahan menggaruk kepalanya, lalu memanggil guruku dengan panik.   Guruku baru tersadar, meletakkan cawan arak dengan gerakan kaku, lalu berkata: "Hari ini jangan dulu. Ada hal yang mau kubicarakan."   "Hal apa nih?" Sifat kepala batu Huigen muncul, tapi Biksu Hui Jue melirik tajam sambil berseru: "Diam! Duduk manis! Tingkah lumu!"   Ditegur seperti itu, Huigen tak berani bersuara. Semua yang hadir pun tak bisa menahan diri untuk tidak bersikap serius. Sebenarnya, hal apa yang mau dibicarakan guruku? Orang yang tajam pasti langsung bisa menebak.   "Lao Chen..." Guruku tak langsung masuk ke inti percakapan, tapi lebih dulu memanggil ayahku.   "Ayahku juga sedang meneguk arak. Dipanggil begitu oleh Guruku, tangannya gemetar hingga cawan di genggamannya bergetar. Arak dalam cawan tumpah ke meja di depannya, lalu mengalir menetes ke celananya. Ibu saya langsung panik mengelap celana Ayahku."   Tapi Ayahku mengabaikan Ibu. Ia menghabiskan sisa arak dalam cawan sekali teguk, lalu menghantamkan cawan ke meja. "Guru Jiang, cukup!" ujarnya kasar. "Setelah makan malam, aku akan bawa si Nenek dan kedua kakak Cheng Yi turun gunung. Cheng Yi kuserahkan padamu sejak bayi, sekarang pun tetap jadi urusanmu. Tak perlu banyak bicara!"   "Ayah, langsung berangkat? Tapi Cheng Yi..." Kakak sulungku bertanya ragu.   Ayah melirik tajam ke arahnya. "Sudah sebulan lebih! Kerjamu? Rumah tanggamu? Anakmu? Sudah waktunya turun gunung!"   Kakak sulung tertegun. Kelopak matanya memerah. "Tapi... sejak adik pergi, kami hampir tak sempat..."   Er Jie juga memandang Ayah dengan cemas. Sebagai kepala keluarga yang otoriter, Ayah tak suka memberi penjelasan. Saat amarahnya mulai membara, Ibu segera menarik kedua kakakku keluar ruangan - mungkin akan menerangkan alasan sebenarnya pada mereka.   Hanya beberapa saat kemudian, kedua kakak perempuanku kembali dengan mata memerah. Mereka memang tidak lagi menentang, hanya memandangku dengan khawatir. Mungkin mereka sudah tahu tentang rencana hidup dalam pelarian ini.   Guruku yang memang bukan tipe banyak bicara mulai menyimpan cawan araknya. Ia mengisi mangkuknya dengan nasi dan makan dengan lahap, berpura-pura santai berkata: "Malam ini kita berangkat. Entah kapan Pondok Bambu ini akan bisa dikunjungi lagi."   Dengan satu kalimat itu, tak ada yang berkomentar lagi. Semua sudah paham apa yang harus dilakukan.   Setelah makan siang, keluargaku turun gunung. Sisanya sibuk membereskan barang bawaan. Mulai sekarang, hidup mengembara tanpa tahu tujuan, tanpa tahu kapan semua ini akan berakhir... Perasaan jadi berat tanpa alasan jelas.   Saat sore hari ketika persiapan hampir selesai, tiba-tiba terdengar teriakan Ayahku dari rumpun bambu: "Kakek Jiang, Kakek Jiang... Cepat pergi kalian!"