Aman sementara waktu? Saat aku berdiri, kusadari mungkin memang begitu.
Selama bertahun-tahun tinggal di Pondok Bambu, bolak-balik melewati rumpun bambu ini, tak pernah kusangka ada 'kepala hantu' sehebat ini yang bersembunyi di sini.
Ya, menurut penilaianku, itu benar-benar kepala hantu yang luar biasa. Dibandingkan dengan 'kepala hantu' yang sengaja dipelihara kultivator jahat di hutan tua dulu, ini jauh lebih menakutkan. Aku tak berani bilang paling kuat, tapi minimal yang terkuat dari sebagian besar.
Kupikir andai aku yang menghadapi makhluk ini tanpa persiapan, pasti akan kerepotan, bahkan mungkin sepenuhnya dikendalikan.
Situasinya seperti ini, ketika aku berdiri, yang kulihat adalah belasan orang ini semua dihantui oleh kepala hantu yang muncul tanpa alasan, dalam kondisi linglung. Mana sempat mereka menembak kami? Guruku tidak mengendalikan kepala hantu untuk membuat mereka berhalusinasi dan saling bunuh, itu sudah termasuk situasi yang sangat berbelas kasih.
Di saat yang sama, aku juga melihat Ayahku. Saat ini dia sedang bersujud di tanah sambil menangis. Aku segera berlari mendekat dan memeluknya.
Aku tahu adegan tadi, Ayahku masih bisa bertahan sampai situasi ini, itu sudah menunjukkan ketegaran yang luar biasa.
Ayahku tidak pandai mengekspresikan perasaan. Tapi saat kupeluk dia kali ini, dia menatapku dan tiba-tiba memelukku erat-erat. Dengan suara tersedu-sedu dia berkata: "Syukurlah... Syukurlah... Kalau kau... Kalau kau mati di depanku... Aku tidak... tidak bisa hidup lagi."
Aku bingung bagaimana menghiburnya. Seperti reaksi emosional tiba-tiba Ayah ini, aku hanya bisa menepuk-nepuk punggungnya perlahan. Setelah beberapa saat, aku berbisik: "Ayah, aku baik-baik saja. Guruku ada di sini."
Mendengar sebutan Guruku, emosi Ayahku benar-benar tenang. Dalam ingatannya, setiap kemunculan Guruku selalu menyelamatkanku dari bahaya. Aku yakin bahkan langit runtuh sekalipun, jika Guruku berjanji padanya akan melindungiku, Ayah pasti percaya tanpa ragu.
"Guruku memang selalu bisa diandalkan. Andai saja tadi dia tidak..." Saat pikiran ini melintas, hembusan angin dingin menerpa. Baru kusadari punggungku sudah basah oleh keringat dingin, tak kuasa tubuhku gemetar.
"Guru, bagaimana bisa kau sudah bersiap seperti ini?" Kusangga Ayahku sambil merasa takjub. Setiap langkah Guruku seperti dihitung lebih presisi daripada ramalan jari. Mana ada praktisi spiritual biasa yang bisa menduga lawan akan menggunakan senjata untuk membunuh mereka?
Dengan tenang, Guruku mulai mengikat orang-orang yang pikirannya dibutakan oleh kepala hantu menggunakan sabuk celana mereka. Sambil mengikat, dia berkata: "Pertama, Yang Sheng benar-benar berniat membunuh kita. Menurutmu cara apa yang paling efektif, bahkan tak berbekas bagi orang biasa? Kalau pakai Pertarungan Ilmu, bukankah Suaranya terlalu mencolok? Kedua, hal apa yang membuat Lao Chen sampai buru-buru mengingatkan? Kalau dipikir matang, pasti akan terlintas cara ini! Meski hanya 1% kemungkinan, kita harus 100% waspada. Begitu keluar rumpun bambu, langsung kusuruh kau tiarap. Tidak ada ruginya. Lagipula di luar sana tidak ada penghalang, bukankah itu waktu yang tepat untuk membunuh kita?"
Benar juga. Karena tertutup rumpun bambu, kami bahkan sempat tidak melihat orang-orang bersenjata itu. Apalagi di dalam rumpun bambu lebih mudah menghindar dari tembakan, berbeda jika sudah keluar ke area terbuka.
"Lalu kepala-kepala hantu itu?" Setelah mengucapkan ini, tiba-tiba kusadar betapa bodohnya pertanyaanku.
"Dulu tidak ada, memang tidak perlu! Orang yang tidak punya rencana jangka panjang pasti akan menghadapi masalah dekat... Kepala hantu ini adalah orang-orang pilihan yang kukumpulkan, kutekan di sini dengan cara tertentu. Saat keluar dari rumpun bambu tadi, sengaja kuperlambat langkah. Apa kau tidak sadar, aku sedang menjalani pola langkah formasi tertentu? (Langkah ini bisa digunakan untuk membuka formasi dalam situasi khusus) Lalu kulepaskan kepala hantu. Selebihnya tak perlu kujelaskan detail." Guruku menjawab dengan tenang, tapi jawaban yang tampak sederhana ini menyimpan perhitungan rumit. Tiba-tiba kusadari, meski kupikir sudah bertumbuh, jarak antara aku dan Guru masih sangat jauh.
Pantas saja dia bisa keluar dengan tenang menghadapiku, pantas bisa memberiku ketenangan sebesar itu. Rupanya semua dibangun dari fakta tak terbatas yang kokoh tak tergoyahkan.
"Master Jiang, bagaimana dengan Xiuyun dan mereka..." Suara Ayahku ragu-ragu, air mata di wajahnya belum sempat dihapus... Karena Ayah memang bukan tipe yang suka meminta bantuan atau berhutang budi. Kecuali untuk urusanku waktu kecil dan masalah Er Jie dulu yang pernah meminta bantuan Guru, hampir tidak pernah dia membuka mulut meminta apapun pada siapapun.
Dalam kondisi sulit seperti ini, dia semakin enggan merepotkan Guruku... Tapi itu sanak saudaraku, juga sanak saudaranya sendiri. Terpaksa dia harus mengatakannya.
Di hatiku juga ada kekhawatiran, jika Guruku hendak pergi saat ini, aku pasti tak akan marah padanya. Tapi karena menyangkut keluargaku, jika Guruku ingin membawaku pergi sekarang, aku pasti menolak. Sebab Ayahku sedang disandera seperti ini, perlakuan terhadap Ibuku dan kakak-kakak perempuanku pun tak akan lebih baik.
Apalagi, mengenai sikap ekstrem Yang Sheng, pemahamanku lebih mendalam dibanding Guruku.
"Ayah, ada aku di sini." Sebelum Guruku sempat bicara, aku sudah lebih dulu mengucapkan kalimat itu.
Tiba-tiba aku tersadar, tentang cita-cita Guru leluhur dan tanggung jawab besar, tentang jalinan konflik berbagai pengaruh ini, tentang situasi terjepit kami yang dikejar-kejar... Semua kekacauan ini bisa saja terjadi tanpaku, tapi tak mungkin tanpa Guruku. Aku yakin hanya Guruku yang bisa membawa kita menembus kabut menuju langit biru...
Karena itu, aku tak boleh menyeretnya masuk... Aku sudah menyaksikan seberapa besar tekad Yang Sheng kali ini. Menembak tanpa basa-basi sama sekali, pasti ini juga instruksi Yang Sheng.
Artinya semua ikatan persahabatan sudah terkoyak, yang tersisa hanyalah pertarungan hidup-mati tanpa akhir.
"Kalau begitu kau juga pulang saja." Ekspresi Ayahku tiba-tiba berubah teguh. Aku tak ingin berdebat dengannya, hanya menarik tangannya dan berjalan. Kukatakan: "Aku anakmu, kau pikir mungkin aku mundur? Cukup Guruku yang pulang."
Ayahku masih ingin bersikeras.
Kubisikkan pelan: "Ayah, yang mereka inginkan cuma aku. Kau harus memikirkan Ibu, Kakak, dan dua cucumu sekarang, bukan?"
"Ekspresi Ayahku terlihat terdiam terpana, mungkin dia memahami makna tersirat ucapanku ini—jangan demi aku, lalu menjadi egois terhadap keluarga yang lain. Jebakan tanpa solusi ini hanya bisa dipecahkan seperti ini. Begitu menyadari hal ini, Ayahku tak kuasa menahan air mata yang mengalir deras. Rasanya keputusan tersulit dalam kehidupan telah dijatuhkan padanya."
"Telapak tangan dan punggung tangan, bagian mana yang bukan daging? Namun aku merasa, selama ini keluargaku selalu banyak berkorban untukku. Bukankah saatnya giliranku berkorban untuk mereka?"
Dalam beberapa dialog, aku telah menarik Ayahku berjalan cukup jauh. Dia sangat tersiksa, satu-satunya penghiburan yang bisa kuberikan adalah: "Ayah, ini bukan jebakan yang pasti akan membawaku pada kematian. Siapa bilang tidak ada kesempatan?"
"Orang-orang ini... bukan manusia biasa, bukan." Air mata Ayahku mengalir melalui kerutan wajahnya yang dalam. Dia tak tahu cara mengungkapkannya, hanya bisa begitu.
Bisa mendapatkan senjata, orang yang sembarangan menembak seperti ini jelas bukan orang biasa bagi masyarakat umum. Apalagi yang bisa mencariku—mana mungkin orang sembarangan? Aku tanpa alasan jelas merasa diriku juga cukup 'heroik', tanpa sadar sudut bibirku tersungging senyum tipis, hatipun terasa ringan.
Jika harus mati seperti ini, setidaknya itu perlakuan tertinggi.
"Benar, yang bisa mengejar kami guru-murid ini pastilah bukan orang sembarangan?" Persis saat aku tenggelam dalam 'keheroikan' diri, tiba-tiba dari belakangku terdengar suara Guruku yang dingin memecah keheningan.
“Aku kaget, Ayahku juga terkejut. Kami berdua serentak berbalik. Ayahku bergumam, ‘Kakek Jiang, kenapa Bapak datang? Urusan ini tidak perlu lagi merepotkan Bapak. Di Pondok Bambu, semua orang masih menunggu Bapak.’”
“Lao Chen, kita sudah kenal puluhan tahun. Jangan bicara begitu denganku! Cheng Yi juga anakku. Hubungan kita seharusnya lebih dekat daripada saudara sedarah. Jangan pusing-pusing lagi.” Sambil berkata, Guruku menepuk bahu Ayahku.
Ayahku yang memang agak kaku, dibuat semakin bingung oleh ucapan Guruku. Ia hanya bisa terdiri kaku di tempat dengan wajah kebingungan.
Tapi sikap sopan Guruku ke Ayahku tak berlaku padaku. Dengan kasar ia menendang pantatku sampai aku limbung hampir jatuh, tak peduli lukaku masih segar. Tendangannya sungguh keras!
“Aku pergi menangkap orang, kau malah kabur bawa ayahmu? Hebat ya? Jagoan? Pikir bisa lawan seratus orang? Pahlawan gagah? Lihat dulu diri sendiri! Bertahun-tahun latihan sia-sia! Mau mati konyol?!” Amarah Guruku belum reda. Telapak tangannya yang kasar seperti telapak tangan besi menghantam kepala dan punggungku berkali-kali, sampai napasku nyaris tercekik.
Dia tampak begitu luwes, menangkupkan tangan di punggung, lalu berjalan ke depan... Tak lupa meneriakkan, "Si bocah nakal, kau masih belum mengikutiku?"
Aku dan Ayahku sebenarnya sama-sama tersentuh di hati. Sudah pasti Guruku tidak menganggapku orang luar, dan dia juga tak pernah menganggap keluargaku sebagai orang luar.
Sepanjang perjalanan, Guruku tetap tenang. Selain menanyakan situasi desa pada Ayahku—yang memang tidak terlalu paham namun berusaha menjelaskan—kami memperoleh satu informasi: kali ini ada sekitar 30-50 orang yang masuk ke desa. Jumlah sebanyak itu seharusnya sangat mencolok, tapi nyatanya tak ada yang curiga.
Karena mereka bersembunyi di tempat yang tak terduga, lokasi yang pernah meninggalkan kesan mendalam padaku—Makam Hantu Kelaparan!
