Tapi jelaslah bahwa mitos dan legenda apapun selalu memiliki kesenjangan dengan kehidupan nyata.
Walaupun aku mengeluarkan kekaguman bahwa ini adalah tempat tinggal peri dalam legenda Barat, tapi dalam hati aku tahu bahwa benda hijau ini seharusnya adalah sejenis jamur, karena memang ada di alam, bahkan di hutan Amazon yang kaya spesies ada jamur seperti ini, negara lain juga pernah menemukan, jamur bercahaya tidak hanya satu jenis, sebagian besar memancarkan cahaya hijau.
Sedangkan titik-titik cahaya yang melayang di udara mungkin adalah sporanya.
Aku pernah membaca tentang jamur ini di suatu buku, selalu terobsesi ingin melihatnya, karena yang tercatat ditemukan kebanyakan di negara-negara Barat, atau penemuan utama di hutan Amazon, tidak pernah kubayangkan seumur hidupku akan menemukannya di Tiongkok, di lembah seindah dongeng seperti ini.
"Cantik bukan? Kalau bukan malam hari, pemandangan seperti ini tidak akan terlihat." Xiao Ding melihat ekspresi terpana ku, tidak bisa menahan diri lagi memamerkan kebanggaan akan tempat suci Ular-nya.
Menghadapi kesombongan Xiao Ding, aku hanya bisa mengangguk bagai patung.
Di bawah cahaya hijau yang indah bak mimpi ini, kulihat di bawah pohon berbatang kokoh dengan kanopi seluas setengah lapangan bola, berdiri sebuah rumah kayu terdiri dari beberapa kamar. Dinding luar berwarna kayu alami... terlihat sederhana namun sangat bersih dan nyaman.
Apakah itu tempat tinggal Xiao Ding selama ini?
Di relung hati terdalamku, Pondok Bambu sudah kupandang sebagai keindahan tertinggi. Namun soal keajaiban dan keelokan pemandangan, harus kuakui tempat ini jauh lebih menggetarkan dibanding Pondok Bambu!
"Itu rumahku," kata Xiao Ding sambil menancapkan serulingnya di ikat pinggang yang mengikat jubah panjang. Tangannya menggenggam ikan buta yang sudah ditusuknya, berlagak kepo dengan semangat menunjuk arah.
Guruku dan aku memang sudah kelelahan sepanjang perjalanan. Setelah menikmati pemandangan, kami pun mengikuti tawaran Xiao Ding untuk beristirahat di sana.
Dari jauh sudah memesona, namun saat berada di dalamnya, keindahannya semakin terasa.
Ketika akhirnya bisa duduk di kamar, kusadari... seluruh ruangan memancarkan aroma kayu alami yang samar. Struktur kayu utuh dengan perabotan minimalis - hanya tempat tidur dan beberapa lemari kecil, hampir tak ada furniture lain.
Seperti Pondok Bambu, langit-langit rumah ini setinggi dua meter. Di ruang utama terdapat tungku perapian yang unik... Singkatnya, semua terasa bersih dan menyegarkan.
Di luar jendela, cahaya hijau Dian Dian, kunang-kunang beterbangan bagai mengepung kami. Duduk di atas tikar jerami kering di samping tungku perapian, aku tak tahan menarik napas lega panjang.
Xiao Ding sedang merebus air untukku dan Guruku. Kami yang kelelahan hanya duduk hening menikmati kedamaian dan keindahan ini. Setelah saraf tegang selama beberapa hari, momen tenang ini sungguh sangat berharga.
Tak tahu berapa lama kami diam. Saat air di panci yang menggantung di tungku mulai berbunyi gubrak-gubrak, seekor ular merangkak masuk melalui pintu gerbang yang terbuka.
Di tempat ini, aku sudah mati rasa melihat ular. Tak heran lagi, bahkan tak kuselingkupkan pandangan. Justru Xiao Ding tersenyum sambil melambaikan tangan ke ular itu, matanya menyipit seperti bulan sabit - baru pertama kali kudeteksi pria ini punya mata senyum seindah itu.
Ular itu sangat akrab dengan Xiao Ding. Begitu dilambai, ia segera merayap cepat, melilit naik ke lengan dan beristirahat di bahu Xiao Ding.
Aku mengamati adegan lucu ini, lalu menyadari ular ini terasa mengena. Persis seperti ular lembah saat pertama kami bertemu Xiao Ding... Gerakannya pun familiar. Saat menempel di bahu Xiao Ding, ia mengeluarkan desisan halus 'srr-srr'.
Tapi, aku yakin ini pasti bukan ular yang sama. Ular ini lebih kecil, jelas lebih kecil dibandingkan ular itu.
Ular itu terlihat seperti sedang berbicara dengan Xiao Ding. Xiao Ding pun dengan penuh kerja sama mengangguk sambil mengeluarkan suara "Hmm", "Ah", "Umm" sebagai tanda dia mengerti.
Aku takjub, apa ular bisa berbicara? Xiao Ding juga bisa berkomunikasi dengan ular? Tapi melihat kondisi Xiao Ding... aku tak bisa menginterupsinya.
Kejadian ini berlangsung sekitar dua menit. Ular itu merangkak turun dari tubuh Xiao Ding... lalu keluar ruangan. Xiao Ding diam saja, kemudian mengeluarkan dua cangkir kayu dari dalam dan menuangkan air panas untukku dan Guruku.
Air panas itu dicampur sedikit daun teh. Aroma yang sangat familiar. Guruku mengangkat cangkirnya, menghirup aromanya, ekspresinya terlihat sedih. "Daun teh ini kan hadiahku untuk Kakekmu?" katanya.
Benar. Aroma familiar ini tentu takkan kulupakan. Aku dan Guruku sering meminum teh jenis ini di Pondok Bambu. Guruku sangat menghargai teh ini, biasanya hanya diminum dua-tiga kali sebulan. Di hari lain, kami menggunakan teh pengganti.
Hanya saja teh pengganti itu tidak memiliki aroma khusus seperti ini. Jadi dalam ingatanku, aroma familiar itu selalu berasal dari teh ini.
"Begitu kata Guruku, Xiao Ding juga terlihat sedih, lalu berkata di samping: "Benar, ini peninggalan Kakek. Teh-teh yang diberikan Kakek Jiang ini belum sempat ia habiskan, tapi dia sudah pergi."
Aku terdiam sejenak... turut merasakan kesedihan Xiao Ding. Kubayangkan, kakeknya yang juga gurunya itu menemani dia seperti Guruku menemaniku. Jika orang seperti itu meninggal, pastinya sangat menyedihkan?
"Tapi Kakek tidak punya penyesalan. Saat pergi, dia tenang seperti tertidur. Nenek moyang dan Ular Suci pun datang mengantar kepergiannya." Setelah berkata demikian, Xiao Ding tersenyum getir.
Jika memang begitu, sebenarnya itu bukan hal yang terlalu menyedihkan. Hanya kerinduan yang kadang terasa menyiksa.
Melihat suasana semakin muram, Xiao Ding segera mengalihkan topik. Sambil 'cerdik' mengeluarkan baskom kayu dan menyiapkan air hangat untukku dan Guruku, dia berkata: "Lihat ular tadi? Itu jenis ular yang sangat cerdas. Dia membawa kabar bahwa para pengejar kehilangan jejak kalian, tapi tidak menyerah. Sekarang mereka sudah berpencar mencari di seluruh gunung."
Ucapannya santai, tapi tiba-tiba aku merasa tegang. Kutatap Xiao Ding dan bertanya: "Jangan-jangan mereka bisa secara kebetulan menemukan tempat ini?"
"Tidak mungkin, semua lorong rahasia dilindungi oleh formasi, apalagi ini tempat suci? Tenang saja, kemungkinannya sangat kecil, kecuali mereka bisa mencari seluruh pegunungan." Xiao Ding tidak terlalu khawatir. Dia tidak menjelaskan secara spesifik penjaga apa yang ada di tempat ini, tapi pastilah sesuatu yang sangat hebat.
Lagipula di sini ada begitu banyak spesies ular aneh, ada formasi, mungkin juga ada yang lain. Sepertinya Gerbang Ular memiliki hubungan baik dengan banyak warisan tersembunyi aliran Tao.
Setidaknya sekarang aku sudah tahu tentang Gerbang Ming Yang, dan hubungan kami dengan keturunan Lao Li juga sangat erat.
Tapi, segala sesuatu selalu punya variabel. Aku tidak pernah meremehkan Yang Sheng... Guruku ternyata berpikir sama denganku. Dengan serius dia berkata ke Xiao Ding: "Ini tempat paling berharga Gerbang Ular, juga penjagaan termulia aliranmu. Aku tidak bisa membiarkannya celaka. Jika memungkinkan, Cheng Yi dan aku hanya akan tinggal sehari, besok kami akan pergi dari sini."
"Tapi..." Xiao Ding tampak khawatir melihat guruku. Mengingat pengejar yang memenuhi gunung, pergi pasti sangat berbahaya?
"Tidak ada 'tapi'! Meski aku berani mempermainkan nyawaku sendiri, tidak mungkin aku mempermainkan nyawa San Wa'er. Xiao Ding, pasti ada jalan tersembunyi, metode rahasia untuk pergi, kan?" Saat mengucapkan ini, guruku dengan natural mengelus kepalaku. Dari detail seperti ini aku selalu bisa merasakan kasih sayangnya.
Hati terasa hangat, kuangkat cangkir teh hangat dan meneguknya.
Pertanyaan Guruku membuat Xiao Ding ragu sejenak, lalu ia menatap guruku dengan tekad bulat: "Kakek Jiang, sebenarnya Keluarga Ular kami menyimpan banyak rahasia. Misalnya peta medan pegunungan ini juga merupakan rahasia, karena memuat informasi jalan kecil tersembunyi, terowongan rahasia, bahkan jalur rahasia. Jalur rahasia terpenting tentu menuju tempat nenek moyang kami... Yang lain tidak terlalu penting. Mengingat hubunganmu dengan kakekku, aku akan menggambarkan sebagian peta medan untukmu. Dengan ini, kalian bisa melintasi pegunungan dengan lebih aman. Aku juga akan memerintahkan ular-ular menjagamu."
"Jika ada ini, itu sudah cukup, lebih dari cukup. Urusan sisanya akan kuhandle sendiri." Alis Guruku mengendur, wajahnya terlihat lega.
Xiao Ding menatap guruku tak percaya: "Benarkah tidak masalah, Kakek Jiang?"
"Sungguh tidak masalah, Xiao Ding. Sebentar, siapkan ruangan untukku dan Cheng Yi. Jangan biarkan ular-ularmu mengganggu... Ada beberapa hal yang harus kuselesaikan. Tidak masalah, kan?" Guruku berpikir sejenak sebelum menjawab serius.
"Tidak masalah. Sebenarnya area ini, kecuali aku..." Xiao Ding terdiam sebentar, lalu melanjutkan: "...dan Ular Suci, ular-ular lain dilarang masuk tanpa alasan penting."
Ular Suci? Ini kedua kalinya Xiao Ding menyebut istilah itu. Tapi karena menyangkut rahasia perguruannya, aku memilih tidak bertanya lebih lanjut. Aku tidak boleh menyalahi keluguan Xiao Ding.
“Hmm, itu bagus.” Guruku mengangguk, tiba-tiba menatap Xiao Ding dengan serius namun berusaha santai bertanya: “Xiao Ding, sebentar lagi di komunitas praktisi spiritual akan datang era besar yang gemuruh. Kau tidak mau ikut serta? Kau juga jenius langka dari generasi muda! Benarkah kau benar-benar ingin mengasingkan diri?”
Era besar lagi? Guruku sekali lagi menyebutkan... Seperti apa sebenarnya era besar itu? Tanganku yang memegang teh bergetar tanpa alasan jelas. Kuketahui setiap kali Guru menyebut kata ini, darah panas dalam hatiku selalu mendidih. Mataku mengantuk, seperti apakah kegemuruhannya nanti?
