Aliran Gunung Salju? Guruku juga tahu tentang aliran Gunung Salju?
Aku memandangi Guruku dengan takjub, pertanyaan ini sama sekali tak bisa kutahan, akhirnya melontarkannya juga.
"Kau tahu tentang aliran Gunung Salju?" Tak disangka Guruku malah membalikkan pertanyaan ini padaku.
"Tentu saja aku tahu, waktu itu..." Aku tak menyangka ada kebetulan seperti ini, tanpa sadar menceritakan kembali surat yang ditinggalkan tahun lalu.
Sebenarnya awalnya aku hanya ingin menjelaskan secara singkat, tapi di hadapan Guruku mustahil bagiku untuk meringkas, perlahan-lahan detail semakin banyak kusampaikan. Namun energi sudah habis, dari semangat di awal, perlahan berganti menjadi kelelahan.
"Guruku... akhirnya aku menang... Aku... sebenarnya agak... agak malu, disebut-sebut sebagai yang terunggul di generasi muda... Tapi empat kekuatan besar itu menyakiti orang, mereka..." Semakin kuceritakan, kesadaranku semakin buram, entah bagaimana akhirnya tertidur.
Tapi sebelum tertidur, kudengar Guruku tertawa terbahak-bahak dengan nada agak sembrono, "Cheng Yi dari keturunan Lao Li-ku, nomor satu di generasi muda, hahaha... luar biasa, murid pertamaku."
Panggilan "murid pertama" sangat akrab, seperti orang tua di utara yang memanggil cucunya "cucu kesayangan" saat sedang mesra.
Guruku jarang memanggilku begitu, kecuali saat sedang sangat emosional.
Sayangnya, aku sudah begadang semalaman, kesadaranku tak hanya buram tapi benar-benar tak bisa dipertahankan. Awalnya ada kehangatan samar di hati ingin bicara pada Guruku, tapi akhirnya tak kuucapkan apa-apa sebelum terlelap dalam tidur lelap.
Sensasi terakhir yang kurasakan sebelum tak sadar adalah tangan kasar Guruku yang masih menempel di kepalaku.
Tak tahu kapan persisnya aku terbangun. Yang kurasakan hanyalah sinar matahari yang menyilaukan di tubuh, bahkan dengan mata terpejam pun kurasakan terangnya, disertai aroma hio yang unik membuatku tak sadar melepaskan diri dari tidur.
Baru terbangun, kesadaranku masih berkabut. Pertama kulihat sumber cahaya di kamar - jendela terbuka dengan mentari terang benderang menunjukkan cuaca cerah. Tapi langit di sini begitu biru, sulit kubedakan apakah ini pagi atau sore. Pokoknya seluruh tubuhku terasa malas.
“Ruangan yang kosong hanya ada aku seorang, Guruku tidak tahu pergi ke mana, dari bawahku tercium aroma rumput yang samar, bercampur dengan aroma hio aneh dari luar, sangat harum.”
Aku menunduk melihat ke bawahku, ternyata ada alas rumput anyaman tebal, aku tidak tahu kapan dipindahkan Guruku ke alas rumput yang dijadikan tempat tidur ini, kehangatan yang terasa di tubuhku berasal dari pakaian Guruku yang menutupiku.
Aku tidak khawatir Guruku tidak ada di kamar saat ini, karena dalam keadaan sudah sepenuhnya sadar, aku tahu di sini pasti aman.
Dengan reflek aku mencari sumber aroma itu, perutku yang sudah lama tidak makan langsung berkrucuk-krucuk dipancing aroma tersebut, mengikuti bau harum itu aku membuka pintu dan melangkah keluar, melewati koridor kayu kecil lalu sampai di ruang aula dengan tungku perapian tempat kami semalam berada.
Di ruang aula hanya ada Xiao Ding seorang, api di tungku perapian menyala-nyala, di atasnya terpasang sebuah panci, aroma aneh itu berasal dari panci tersebut, di sampingnya ada piring besar tertutup yang tidak diketahui isinya.
Aku terus menelan air liur, merasa sangat lapar sampai gelisah, teringat bahan-bahan yang Xiao Ding kumpulkan di terowongan rahasia kemarin, rasanya aku bisa menelan seekor sapi utuh.
“Makanan belum siap.” Xiao Ding yang sedang fokus memasak sup itu mengangkat kepala melihat keadaanku, tak kuasa menjelaskan dengan jujur.
Aku menelan air liur, perut yang tidak kooperatif mengeluarkan suara 'krucuk-krucuk' beberapa kali, membuat Xiao Ding tersedu batuk malu, lalu menunjuk ke luar pintu sambil berkata padaku: "Kakek Jiang sedang mandi, kau juga bisa mandi, jalan saja ke arah air terjun di sebelah sana. Oh ya..."
Saat aku hendak melangkah pergi, Xiao Ding ragu-ragu sebentar, lalu memanggilku kembali, terlihat ingin mengatakan sesuatu tapi mengurungkannya.
"Apa?" Tanyaku dengan ekspresi bingung memandangi Xiao Ding.
"Maksudku... kalau kau melihat sesuatu di sekitar air terjun, anggap saja tak melihat apa-apa. Kalau... kalau benar-benar darurat, teriak saja 'Xiao Ding datang!'"
'Xiao Ding datang?' Kalimat aneh itu membuatku mengangguk refleks. Aku merasa jika tetap berdiam di ruangan ini, aroma harum yang menggoda ini akan menyiksaku hingga hampir gila. Tanpa banyak bertanya, aku pun melangkah keluar.
Di belakang rumah berdiri pohon besar itu. Dari dekat, sosoknya jauh lebih menggetarkan dibanding pandangan dari jauh. Baru pada jarak sedekat ini aku menyadari kebesarannya yang luar biasa. Dari dahannya menjuntai sulur-sulur tanaman merambat yang tak kukenal, bergoyang lembut ditiup angin sepoi-sepoi di tempat ini.
Masuk ke hutan kecil, baru sadar pepohonan di sini tidak tumbuh terlalu rapat. Hanya kanopi pohon yang cukup besar, sinar matahari menembus celah-celah kanopi membentuk bercak-bercak cahaya, menghadirkan hawa sejuk di cuaca yang agak pengap ini. Di batang pohon banyak tumbuh jamur, mungkin kemarin yang bersinar itu mereka? Aku mendekat untuk mengamati tapi tidak menyentuhnya. Ternyata jamur yang tampak megah di malam hari ini, di siang hari terlihat biasa saja.
Rumput di hutan ini tumbuh sangat rapi entah mengapa. Berjalan di sini terasa nyaman sekali. Langkahku ringan, tak lama sudah sampai ke bagian terdalam hutan. Suara deru air terjun semakin keras terdengar.
Aku merasa bersemangat tanpa alasan jelas. Kenangan bermain air waktu kecil muncul kembali. Setelah berlari dan kelelahan sekian lama, aku sangat ingin membersihkan diri.
Memikirkan ini, langkahku dipercepat. Berlari tiga langkah jadi dua menuju air terjun... Setelah menembus hutan, terlihat air terjun yang tidak terlalu besar namun penuh energi jatuh dari tebing di atas. Di bawahnya terdapat kolam jernih... Air kolam begitu bening hingga dasar terlihat, di dalamnya terlihat siluet ikan-ikan berenang. Entah dari mana asalnya, ke mana pula air kolam dalam ini akan mengalir?
“Air ini sungguh menyenangkan,” tambah pemandangan di sini yang agak mirip dengan kolam dalam di Pondok Bambu, meski skalanya jauh lebih besar, tapi tetap terasa akrab. Aku merasa gelisah dan mulai cepat-cepat melepas pakaian. Sekilas kulihat di tepi kolam yang dangkal, Guruku sedang berendam sambil menggosok tubuhnya.
Hanya tersisa celana dalam, aku tak sabar mencebur ke kolam. Air dingin menusuk membuat seluruh tubuhku merinding, tapi tak kuasa menahan tawa lepas. Kuambil air untuk membasuh wajah.
“Datanglah.” Guruku melambaikan tangan memanggilku, hanya mengucap "datanglah" dengan singkat.
Aku sudah terbiasa dengan cara bicaranya yang datar, tak merasa dingin. Dengan riang aku berenang mendekat... Kukira sesuai sifatnya, dia akan menampar atau bercanda, tapi alih-alih dia mengelus kepalaku seperti waktu kecil sambil berkata lembut: “Nak, kau sudah dewasa.”
“Maksudnya apa?” Aku tak bisa langsung mencerna ucapan Guruku, memandangnya dengan bingung.
“Reputasi sebagai generasi muda nomor satu.” Guruku tersenyum, matanya memancarkan kebanggaan.
Pernah suatu ketika, hasrat terbesar dalam hatiku adalah melihat raut wajah bangga Guruku seperti ini. Kini ketika benar-benar menyaksikannya, justru hatiku berdebar. Bagaimana Guruku bisa tahu nama julukan ini? Apakah beliau akan marah karena aku terlalu menonjol? Dengan hati-hati aku bertanya, "Guruku, ini bukan soal haus pujian. Itu hanya panggilan sembarangan dari komunitas kami. Aku..."
"Kemarin kau bercerita padaku tentang aliran Gunung Salju... Tapi belum selesai kau sudah tertidur, dasar nak." Guruku sama sekali tidak menunjukkan kemarahan.
"Apa?" Perkataan Guruku membuatku teringat. Memang semalam aku bercerita tentang aliran Gunung Salju, tapi sampai mana aku lupa. Apakah Guruku ingin melanjutkan sekarang? Sambil berpikir demikian, kuucapkan "Apa?" lalu melanjutkan, "Guruku, apakah Bapak ingin aku menyelesaikan ceritanya?"
Guruku menatapku sejenak. Dengan handuk yang entah dari mana diambilnya, beliau membasuhnya dengan air lalu menyuruhku duduk di depannya. Sambil membasuh kepalaku, beliau berkata: "Tak perlu banyak bicara sekarang. Nanti saat kita berkumpul kembali, saatnya bercerita panjang lebar tentang segala yang telah terjadi. Selama ini kutahan diri tidak bertanya karena waktu belum matang. Harus menunggu semua orang berkumpul. Tapi di Pondok Bambu ini, kebahagiaan membuatku enggan memikirkan urusan duniawi. Namun Cheng Yi, setiap hal yang terjadi padamu saat kita terpisah, ingin kudengar."
"Hmm." Kujawab pelan. Bukankah kejadian-kejadian yang dialami Guruku juga sangat ingin kuketahui?
“Cheng Yi, sebenarnya selain berkumpul, ada hal lain yang harus kami lakukan dalam perjalanan ke Aliran Gunung Salju kali ini.” Guruku berbicara santai, namun nada berat dalam ucapannya tetap terdengar jelas.
“Aku bahkan belum mengerti kenapa harus berkumpul di sana?” Aku asyik memainkan air di sampingku sambil bertanya. Aku tak luput mendengar keseriusan dalam ucapan Guruku, tapi hatiku yang tenang enggan memperkeruh suasana.
“Ini tentang melawan Yang Sheng. Keyakinanku tipis, aku butuh lebih banyak kekuatan. Dalam hal ini, Aliran Gunung Salju jelas pilihan terbaik, jika mereka bersedia muncul ke publik...” Guruku menggosok rambutku sambil menjelaskan.
“Mengapa harus Aliran Gunung Salju? Bagaimana dengan kekuatan aliran utama? Apakah mereka rela melihat Yang Sheng mengacaukan komunitas seperti ini?” Suaraku terdengar kesal.
“Hehe.” Guruku hanya tertawa pendek tanpa menjawab langsung. Setelah tertawa, tiba-tiba ia berkata: “Pokoknya banyak pertimbangan ke Aliran Gunung Salju. Selain alasan tadi, kami juga harus mengunjungi agama rahasia di Tibet di sana...”
Guruku ragu tak melanjutkan.
“Di sana bagaimana?” Aku mendesak penjelasan.
“Di sanalah kita bisa benar-benar membuka kembali Pintu Penglai.” Suara Guruku berubah serius.
Pintu Penglai? Aku yang sedang mencidup air jernih untuk cuci muka, terkejut hingga tanpa sengaja menghirup air ke hidung dan tersedak berkali-kali.
