Guruku ternyata sudah mulai perlahan mencoba berdiri, aku pun mengikuti gerakannya. Mataku berusaha menghindari tatapan ular itu, entah mengapa, sama seperti Guruku, perasaan tidak nyaman ini... Bukan berarti kami takut padanya, tapi lebih seperti pasrah, seolah kami 'dikalahkan' dan tidak berani melawan karena rasa hormat.
Tapi kehadirannya terlalu mencolok, membuat mata sulit berpaling. Dari sudut mataku, tanpa sadar tetap mengamatinya.
"Hahaha..." Aku bersumpah tidak bermaksud menertawakannya, tapi saat kami perlahan berdiri, ular itu yang terus menatap kami mulai memanjangkan 'lehernya' seiring gerakan kami. Ketika kami sudah sepenuhnya berdiri dari air dan mulai merangkak ke darat, separuh tubuhnya sudah tegak berdiri.
“Entah karena posisi tegak ini terlalu melelahkan, tubuhnya tiba-tiba jatuh ke batu dengan suara 'plak' saat mencapai titik tertentu. Anehnya, matanya memancarkan kesedihan.
Bayangkan, dia berada di tempat tinggi... Lagipula siapa yang memandang orang dengan cara begitu? Kalau manusia yang mengulurkan leher seperti itu, pasti lehernya patah.
Penampilannya yang lucu dan menggemaskan, ditambah mata besarnya yang tidak biasa, membuatku tak bisa menahan tawa.
"Ha ha ha..." Ternyata bukan hanya aku yang tertawa, Guruku pun tak kuasa menahan gelak.
Namun seolah tahu kami sedang menertawakannya, ular legendaris ini mendelik penuh dendam ke arah kami. Tiba-tiba mulutnya mengeluarkan suara aneh seperti tangisan bayi yang teredam!
"Sial, kita bikin marah si kecil ini." Guruku segera menutup mulutnya. Aku memandangnya dengan rasa tidak puas - kalau takut memprovokasi ular kecil, kenapa tadi tertawa seenaknya?
Tapi Guruku sama sekali mengabaikan tatapanku. Ia cepat-cepat memakai pakaian sambil bergumam, "Ular mana yang bersuara seperti tangisan?"
Benar, ular ini terlalu aneh. Meski suaranya jelas-jelas desisan, kenapa terasa seperti tangisan bayi atau anak kecil?
Aku juga tahu Guruku pasti benar, kami memang memprovokasi ular kecil ini. Jadi aku hanya melirik Guruku dengan 'ketidaksenangan', lalu tanpa basa-basi segera mengenakan pakaian. Intuisiku berkata lebih baik segera pergi, konsekuensi mengganggu ular kecil ini sangat 'serius'.
Dalam situasi ini, aku dan Guruku seperti berlomba mengenakan pakaian. Tapi sudah terlambat... Karena kami menemukan di lereng landai bawah air terjun, ada 'permukaan tanah' yang tampak bergerak... 'Tanah' bergerak? Hal seperti ini sangat menguji ketajaman mata. Saat kami menyadarinya, suara gesekan sudah jelas terdengar di telinga.
Tepatnya, suara gesekan itu berasal dari tubuh raksasa yang menggosokkan diri ke tanah!
Aku sudah hampir menangis. Apakah hari ini adalah hari 'paling sial' dalam perhitungan astrologi? Semuanya baru disadari belakangan? Pada saat itu, aku dan Guruku langsung menghentikan gerakan mengenakan pakaian... Karena 'permukaan tanah' yang bergerak itu tiba-tiba mempercepat kecepatannya, sudah mengangkat tinggi tubuhnya, memperlihatkan wajah aslinya - ternyata seekor ular besar berwarna abu-abu kecoklatan!
Aku pernah melihat betapa besarnya leluhur di terowongan rahasia, tapi ular besar keabu-abuan ini ukurannya tak kalah dari leluhur. Ini ular jenis apa? Warnanya yang keabu-abuan sudah sulit dibedakan dengan tebing batu di sekitar air terjun. Tubuhnya bahkan ditutupi lapisan lumut dan tanah tipis, di atasnya tumbuh rerumputan dan bunga liar... Hanya hantu yang bisa melihat ada ular bersembunyi di lereng landai tebing air terjun ini.
Ular ini mengangkat tinggi tubuhnya, melihatku dan Guruku sekilas. Kepalanya yang besar terlihat sangat menyeramkan, tapi tatapannya justru lembut, persis seperti 'leluhur' putih yang pernah kulihat dulu.
Meski awalnya aku dan Guruku memprovokasi ular kecil itu hingga memancing kemunculan ular besar ini, anehnya aku sama sekali tidak merasakan bahaya. Hanya ada perasaan bahwa ini semua adalah 'gangguan' belaka.
Saat kami diam tak bergerak dibawah tatapan ular besar itu, ular kecil itu semakin 'menangis' kencang. Rasanya seperti anak kecil yang melihat orang tuanya, langsung mengadu dengan sedih-dramatis setelah dianiaya, sengaja memperbesar tangisannya agar lebih diperhatikan.
Di mata ular besar itu terpancar rasa kesakitan hati yang manusiawi. Sebelum aku dan Guruku sempat bereaksi, kekuatan dahsyat yang tak tertahankan telah menyapu kami dengan kecepatan luar biasa. Saat kami menyadarinya, tubuh kami sudah terlempar 'bruk! bruk!' ke dalam kolam dalam.
Sungguh memalukan! Dalam keadaan terkejut, aku dan Guruku jatuh ke kolam, tersedak dua tegukan besar, baru bisa bernapas lagi setelah beberapa saat dan muncul ke permukaan.
Telinga kami mendengar desisan puas si ular kecil, sementara ular besar yang menyapu kami ke air itu menatap kami dengan 'keras'.
Ya, hanya tatapan keras tanpa setitik niat jahat atau ingin menyerang... Aku tahu persis ekornyalah yang menyapu kami. Kecepatannya luar biasa sampai kami tak sempat menghindar. Jika benar-benar berniat melukai, pasti kami sudah merasakan sakit yang luar biasa.
Tapi kali ini, kami hanya terlempar ke air tanpa sama sekali merasakan sakit.
Justru ini membuktikan 'ular tanah' ini bukan sembarangan. Kecepatannya ekstrim, pengendalian kekuatan pun mencapai tingkat kecanggihan tertinggi.
Di tengah desisan si ular kecil yang penuh kesombongan, aku dan Guruku saling memandang bingung. Dengan kompak kami berseru: "Xiao Ding! Xiao Ding!"
Tak ada cara lain, sudah 'dikerjai' ular, terpaksa minta bantuan Xiao Ding.
Belum sempat berteriak beberapa kali, kami sudah melihat Xiao Ding buru-buru menyergap keluar dari hutan itu. Ia melirikku dan Guruku dengan tatapan antara ingin tertawa dan menangis, lalu menatap ular kecil yang sedang bersuara 'srrr' penuh kemenangan itu sambil berkata pasrah: "Xiao Teng, jangan berisik. Ini teman Kakek dan aku, orang baik-baik. Kau tak boleh sembarangan mengganggu orang."
Suara 'srrr' sombong itu menghilang. Aku tak tahan menoleh memandang ular kecil itu. Makhluk itu sedang menatap Xiao Teng sambil menggeleng-gelengkan kepala ke kiri-kanan, tatapan berpura-pura polos seolah sedang merajuk.
Tapi Xiao Ding membuat ekspresi serius, suaranya datar: "Xiao Teng, Kakek Men memanjakmu, tapi aku tidak! Keluarga Ular sudah menjaga beberapa generasimu, semua sepakat harus membentuk karaktermu agar tidak berbuat dosa dan banyak mengumpulkan jasa kebajikan. Saat bencana langit tiba, kau bisa sedikit meringankan penderitaan dan cepat menjadi Naga. Mana mungkin aku membiarkanmu bersikap egois?!"
Usai bicara, Xiao Ding menghadap ke arah ular besar cokelat keabu-abuan itu, membungkuk hormat dalam-dalam. Suaranya berubah penuh khidmat: "Kakek Men, maafkan kami. Tolong beri maaf dan izinkan mereka naik ke darat... Xiao Teng memberimu hormat di sini."
Ular besar itu melirik Xiao Ding, tatapannya mengandung sedikit celaan namun lebih banyak kelembutan. Kemudian diam-diam merangkak kembali ke lereng landai di tepi jurang.
Xiao Ding segera menambahkan, "Tua yang Bijak, jangan terlalu 'memanjakan' Xiao Teng. Khawatir di hari kedewasaannya nanti, sifat kejam dan kesombongan akan bertambah."
Ular besar itu tak memberi respons. Beberapa detik kemudian, terlihat kepalanya yang raksasa bergerak halus seolah mengangguk, lalu merayap sunyi ke atas lereng itu.
Aku dan Guruku yang masih basah kuyup di kolam, buru-buru berenang ke tepi. Belum sempat mengeringkan tubuh, sudah melihat ular kecil bernama Xiao Teng melayang di udara dengan gaya kekanak-kanakan. Gerakannya yang goyah dan 'canggung' di alam sana itu perlahan mendekati Xiao Teng.
Orang ini! Aku sudah pasrah... Saat menghadap Raja Suci Liu dulu, perpindahannya di alam sana begitu cepat. Kini malah berpura-pura lemah?
Sebelum sempat berkata apa-apa, makhluk itu sudah dengan patuh berdiam di kaki Xiao Ding. Kepalanya yang kecil terus menggesekkan ujung celananya, seolah sedang merayu minta dikasihani.
Xiao Ding melihatku dan Guruku dengan pandangan sedikit putus asa, lalu mengulurkan tangannya. Dengan suara yang hampir memanjakan, ia berkata pada ular kecil itu, "Sudah, sudah, naiklah ke sini."
Mendengar perkataan Xiao Ding, ular kecil itu tampak puas diri. Ia merayap naik menyusuri betis Xiao Ding, lalu melilit lengannya. Kepalanya menempel di bahu Xiao Ding, menggesek-gesek pipinya beberapa kali sebelum akhirnya diam tergeletak di sana.
Sungguh makhluk yang sangat spiritual. Meski baru saja sengaja mengganggu kami, aku sama sekali tidak merasa jijik padanya. Justru dari dasar hati, aku merasa sangat menyukai makhluk kecil ini. Kelucuannya bahkan tak kalah dari Si Rubah Muda itu.
Bicara tentang rubah muda, aku teringat pada Si Bodoh milikku... Sejak keluar dari Teluk Hantu, ia terus tertidur lelap tanpa alasan. Tak ada rangsangan apapun yang bisa membangunkannya.
Aku sempat mengira terjadi sesuatu padanya. Berkali-kali kuperiksa dengan cemas, tapi setiap kali kurasakan rohnya terus menguat. Seolah setiap kali ia menjadi sedikit lebih kuat, tapi aku sama sekali tak paham apa yang terjadi?
