Mengingat ini, aku tak bisa menahan diri untuk terduduk lesu. Saat sadar kembali, kulihat Xiao Ding sedang berbicara dengan Guruku, kira-kira meminta maaf dengan pasrah. Sementara ular kecil itu seolah tak terjadi apa-apa, ngotot nempel di bahu Xiao Ding. Matanya memancarkan kepolosan.
Melihatku sudah sadar, Xiao Ding tersenyum padaku: "San Wa'er, kamu juga sudah selesai mandi kan? Masakanku sudah jadi, ayo kita makan."
Begitu mendengar kata makan, perutku langsung menggeram kelaparan. Ular kecil itu malah semakin heboh. Tadinya pura-pura santai dan polos, sekarang terus menggesekkan pipi Xiao Ding. Dengan malu-malu melihatku dan Guruku, Xiao Ding akhirnya pasrah: "Baiklah... hari ini kuperbolehkan kau main ke tempat tinggalku. Tapi kendalikan dirimu, jangan sampai membakar rumahku."
Ular kecil itu terlihat sangat gembira.
Pada saat itu, tiba-tiba kusadari kehidupan Xiao Ding di sini ternyata tak terlalu kesepian. Seolah konsep 'membebaskan manusia' membuat pandanganku terasa sempit.
Tak lama, aku dan Guruku sudah berganti pakaian. Kami menyusul Xiao Ding melewati hutan kecil itu.
Di perjalanan, Xiao Ding masih banyak bicara, terus bercerita pada kami tentang 'Kakek Pendiam' itu. Katanya itu adalah ular yang bajik, leluhur yang bertanggung jawab menjaga Xiao Teng selama ini. Tapi dia adalah leluhur paling pendiam, kalau tidak perlu, bisa tergeletak di satu tempat tanpa bergerak bertahun-tahun.
Sebenarnya, aku penasaran, apa yang dimakan ular-ular ini sehari-hari?
Tapi bukankah ular-ular ini seharusnya sudah mencapai level 'Ular Roh'? Pokoknya setiap leluhur yang kulihat pasti lebih hebat dari Ular Roh yang pernah kulihat di rumpun bambu sebelum Makam Hantu Kelaparan... Kalau ular itu bisa diam tak bergerak seperti hibernasi begitu lama, mungkin leluhur-leluhur ini juga sama?
Bagi yang sudah mencapai keadaan meditasi Ular Roh, mungkin sudah memasuki fase 'memakan qi' sebagai utama, makanan biasa jadi tidak begitu penting.
Mengingat ini, aku merasa malu. Jika aku dan Guruku benar-benar bertapa murni, mungkin pencapaian keadaan 'memakan qi' dan puasa total masih mungkin diraih seumur hidup.
Tapi sepertinya kami mengambil jalan lain, jalan keluar ke publik yang mengutamakan ritual. Banyak pertapa di komunitas menganggap ini jalan menyimpang, sudah keluar dari Tao utama praktisi spiritual.
Sebenarnya tidak begitu. Bertapa berarti tidak menyentuh karma, tidak tercemar dunia, hanya memperkuat diri sendiri, berfokus pada latihan qi.
Sedangkan menyelaraskan dengan dunia adalah menumpuk jasa kebajikan, memikul moralitas dan kebenaran, juga jalan lurus. Seperti Master Hongren yang tiba-tiba mencapai Pencerahan Sejati!
Merasa malu hanya karena berpikir: Meski ular juga makhluk yang mengandung energi spiritual, tapi dibandingkan manusia yang sulit bertapa, bahkan ular pun harus melewati rintangan bertubi-tubi, tak pernah bisa santai... Sedangkan aku dalam perjalanan ini bahkan tidak bisa menjamin dua sesi latihan pagi-sore, apakah ini terlalu malas?
Di tengah pikiran melayang-layang, kami telah sampai di pondok kayu tempat suci. Belum masuk pun, aku sudah merasakan aroma harum yang menyengat, tak kuasa menahan air liur.
※※※
Harus kukatakan, hari di tempat suci ini sangat indah. Di gunung terpencil seperti ini, tak kusangka bisa menikmati puncak kelezatan masakan manusia.
Seperti panci sup ini, terbuat dari ikan buta dan jamur tak dikenal, kelezatannya mencapai puncak. Hanya seteguk kuah saja, langsung membuat orang merasakan berkah... Guruku berkomentar: Makanan berenergi spiritual yang murni, cukup dimasak sederhana, sudah bisa membangkitkan kebahagiaan manusia.
Kedengarannya sangat filosofis, tapi aku tak peduli dengan teori-teori ini. Menurutku yang penting enak, itu sudah sesuai dengan seleraku.
Aku sudah lama penasaran dengan ikan buta itu. Setelah menghabiskan semangkuk sup, tak sabar aku menjepit sepotong ikan buta dengan sumpit. Begitu kusentuh lembut, dagingnya langsung meluncur ke mulut... Tak ada duri, bau amis pun tak tersisa. Malah terasa kelezatan istimewa yang sulit diungkapkan, dengan sentuhan manis samar. Tak perlu dikunyah, daging lembut itu seolah meleleh jadi air, mengalir mulus ke tenggorokan.
Lalu, ledakan aroma memenuhi mulut, meninggalkan aftertaste yang panjang. Rasa ini tak bisa kujelaskan, begitu nikmat sampai hampir membuatku menangis.
Seperti Ruxue dulu, keahlian memasaknya dipuji banyak orang. Meski teknik Xiao Ding terlihat kasar, bahkan Ruxue dengan keterampilannya tak bisa menciptakan cita rasa sehebat ini.
Memang, rasa bahan baku sendiri sangat penting. Tapi seperti celetukan Guruku yang tak berhenti mengunyah di sampingku: di dunia ini, bahan-bahan yang mengandung energi spiritual dengan cita rasa sempurna semakin langka. Bahkan sulit ditemukan. Mungkin untuk menikmati hidangan seperti ini butuh berkah dari beberapa generasi.
Benar! Hidangan yang membutuhkan berkah beberapa generasi ini kuhargai betul. Selain ikan buta, jamur dan udang buta juga lezat tak terkalahkan.
Karena bahan-bahan berharga ini, aku dan makanan akhirnya menghabiskan semua panci besar jamur kering dan sepiring besar daging asap yang dimasak Xiao Ding.
Di tengah semua ini, si ular kecil juga tak diam. Xiao Ding sesekali memberinya makan, termasuk ikan buta, udang buta, dan jamur dalam jumlah sedikit. Untuk bahan lain seperti daging asap, meski si ular kecil menunjukkan hasrat yang membera, Xiao Ding tetap bersikeras tak memberikannya.
Selain itu, kulihat Xiao Ding juga memberi si ular kecil sesuatu yang sudah diolah. Aku tak langsung paham apa itu, tapi Guruku hanya bisa berkedut sambil memandang dengan kesakitan hati.
Baru kemudian kusadari, ternyata yang diberikan Xiao Ding kepada si ular kecil adalah bahan-bahan langit dan bumi yang kini sudah sangat langka. Bahan-bahan itu dihaluskan jadi serbuk, dicampur bubuk dendeng kesukaan ular, lalu direkatkan dengan telur sampai berbentuk seperti itu.
Hmm, di era modern selain makanan anjing dan kucing, ada juga 'makanan ular spesial merek Xiao Ding'. Tapi makanan hewan biasa itu jauh kalah keren dibanding produk Xiao Ding!
Setelah makan, Guruku yang tak bisa lagi menahan rasa ingin tahu akhirnya bertanya: "Xiao Teng ini adalah ular Tangshe?"
Xiao Ding langsung berkata: "Benar, Xiao Teng adalah seekor ular legenda Tiongkok (jenis ular mitos), juga ular suci yang kami jaga selama beberapa generasi ini. Kami sangat berharap ia bisa berubah menjadi Naga di bawah penjagaan aliran ular kami! Ini juga keinginan terbesar aliran ular kami."
Aku dan Guruku sebenarnya sudah mencurigai hal ini. Setelah benar-benar mengetahuinya, kami tertegun tak bisa berkata-kata, karena ada perbedaan besar antara menduga dan membuktikan kebenarannya.
Jadi, dalam suatu obrolan santai, aku tak tahan bertanya pada Guru: "Guruku, apakah catatan dalam Shan Hai Jing semuanya benar?"
"Setidaknya sebagian ada yang benar? Aku pun tak tahu. Kau paham, sejarah Tiongkok memiliki periode misterius yang tidak diakui, dimulai dari era legenda Dinasti Xia... Zaman Yan Huang sebelum Xia bahkan lebih tidak jelas, tapi begitu banyak kitab kuno yang tersisa. Dalam catatan Taoisme kami, itu adalah Era Dàwū yang penuh gejolak... Berbagai keajaiban bermunculan. Sebenarnya jika ular legenda itu benar-benar ada, hatiku justru bergembira. Karena aku sudah mulai merindukan zaman yang penuh kehebohan itu." Begitu jawaban Guruku padaku.
Bagaimana mungkin aku tidak merindukan zaman itu juga?
Waktu adalah hal yang paling tak bisa ditahan dalam hidup. Di tempat suci yang terpencil namun sangat indah ini, waktu seakan mengalir lebih cepat. Ketika jamur berpendar hijau di tempat suci ini kembali bersinar dengan keindahan bak mimpi, tibalah saatnya aku dan Guru harus pergi.
“Aku akan mengantarmu.” Mata Xiao Ding memancarkan keengganan untuk berpisah, namun ucapannya sederhana. Di tangannya menggenggam tas jaring kecil berisi 14 paku yang telah dicabut olehku dan Guruku.
Guruku pernah berkata, benda tak berguna pun bisa dimanfaatkan. Keempat belas paku ini akan memberiku dan dia perlindungan.
"Hmm." Guruku terdiam, sementara aku hanya membalas dengan desahan singkat.
Perpisahan pasti tiba. Orang seperti kami yang sering menghadapi perpisahan, sudah lama tahu cara menghadapi momen seperti ini.
Perjalanan terasa hening. Xiao Ding membawa kami melalui terowongan rahasia lain... Salah satu dari banyak terowongan bawah tanah, meski tak sebanding dengan yang ditempati nenek moyang. Di dalamnya masih berkeliaran berbagai ular aneh, pantas disebut tempat suci Gerbang Ular.
Ular-ular ini tak punya spiritualitas. Xiao Ding berhati-hati membawa kami, seruling bambu tak lepas dari genggamannya. Sesekali ia menaburkan bubuk obat, mungkin menggunakan cara mengusir ular khas Gerbang Ular.
Kami berjalan sekitar dua jam lebih di terowongan itu. Saat keluar, bulan sabit menggantung di langit, membuat kami sama sekali tak tahu berada di bagian gunung mana.
"Mengantar seribu li pun berujung perpisahan. Semoga bisa bertemu lagi dengan Kakek Jiang dan San Wa'er." Xiao Ding berdiri di bawah cahaya bulan, penampilannya yang anggun masih seperti bangsawan muda, namun kesedihan di matanya terasa pekat.
“Pasti akan.” Kali ini bukan aku yang menjawab, melainkan Guruku. Keyakinannya begitu teguh, apakah keteguhan ini yang disebut takdir era besar seperti ucapannya? Siapa yang tahu?
Xiao Ding tidak membalas, malah mengeluarkan gulungan kertas dari dalam bajunya dan menyerahkannya ke Guruku. "Kakek Jiang, peta! Dan paku-paku ini, aku akan menyuruh beberapa ular untuk menyebarkannya ke berbagai tempat secara acak."
"Hmm." Guruku menerima peta itu, seolah enggan menghadapi kesedihan perpisahan. Ia segera membalikkan badan dan mengajakku pergi.
Di saat-saat tertentu, ucapan terima kasih tak diperlukan. Yang penting adalah mengukir ikatan persahabatan ini dalam hati!
Tapi baru beberapa langkah, Guruku tiba-tiba menoleh ke Xiao Ding yang masih berdiri di bawah cahaya bulan. "Kita pasti akan bertemu lagi, dan sebentar lagi!"
