Penderitaan selama mengarungi hutan pegunungan tak perlu diungkapkan satu per satu.
Tapi dari sudut pandang lain, aku dan Guruku patut bersyukur. Setidaknya berkat bubuk obat khusus Xiao Ding, kami terhindar dari gangguan ular dan serangga yang biasa menghuni hutan. Bisa dibilang penderitaan perjalanan di hutan ini sudah berkurang setengah.
Setelah nenek moyang membantu kami sekali itu, kami tidak lagi bertemu tim pencari. Kurasa ini karena sebagian besar perjalanan kami melewati terowongan rahasia. Ya, kecuali lima hari pertama, hampir seminggu berikutnya kami menjelajahi terowongan itu.
Untuk yang terakhir kalinya ini, kami hampir dua hari berada dalam terowongan panjang itu sebelum akhirnya keluar.
Sesaat setelah keluar, sinar matahari yang menyilaukan membuat mataku sulit terbuka. Butuh waktu lama dengan air mata berlinang sebelum akhirnya mataku bisa beradaptasi.
Melihat sekeliling, kami tiba di tempat asing lagi. Guruku yang sudah melihat sekeliling cukup lama tiba-tiba berkata: "Benar, rupanya kita hampir sampai."
“Guruku, kau belum melihat peta, bagaimana bisa begitu yakin?” Sambil berkata, aku menggaruk wajah... Hampir setengah bulan ini, Guruku dan aku terus berjalan melalui pegunungan. Makan makanan matang hangat saja sudah menjadi hal mewah, apalagi membersihkan diri. Itu bahkan tak terpikirkan. Kami hanya ingin segera keluar dari pegunungan dalam ini.
Karena itu, penampilan kami sekarang mungkin lebih buruk dari pengemis. Rambut kusut, wajah penuh jenggot, baju compang-camping. Karena terlalu lama hidup seperti manusia purba, seluruh tubuhku terasa gatal-gatal.
“Bodoh, lihat vegetasi ini... Daerah dekat permukiman manusia, vegetasinya pasti lebih tipis. Ini berdasarkan pengalaman.” Guruku mengeluarkan peta sambil berkata, terlihat tidak yakin. Entah apakah "pengalaman" ini omong kosong belaka?
“Hmm, bagus. Setelah melewati puncak gunung ini, seharusnya kami sampai. Di bawah ada jalan raya, tujuan utama kami.” Guruku menyimpan peta sambil tertawa. Setelah terlalu lama di hutan pegunungan, kerinduan akan kehangatan duniawi memang sulit dihindari. Inilah kodrat dasar dalam roh manusia – terlalu sulit untuk dibebaskan.
Guruku tertawa, aku pun ikut senang. Tanpa sadar aku mengikuti tawa bodohnya... Sementara di dasar hatiku, hasrat untuk menyantap tumisan dan mandi air hangat begitu membara. Sambil tertawa, aku menarik lengan Guruku dan bergegas melangkah ke depan.
Selama setengah bulan ini kami sudah terbiasa mendaki gunung, sehingga bahkan jalan gunung yang tak beraspal pun terasa biasa saja bagi aku dan Guruku. Dengan sengaja mempercepat langkah, kami segera berhasil melewati puncak gunung ini.
Di bawah puncak gunung terbentang lereng landai, di dasar lereng mengular jalan raya berkelok. Di seberang jalan, terdapat dataran rendah yang lebih landai dengan rumah-rumah petani yang berjarak renggang.
Saat berdiri di puncak gunung menyaksikan pemandangan ini, kami tak kuasa menahan gejolak hati. Bagaimanapun juga, ini adalah kehangatan duniawi yang sudah lama kami rindukan.
Setelah saling bertukar pandangan penuh semangat, kami langsung berlari menuruni gunung. Tentang apa yang akan dilakukan setelah turun - apakah menghentikan kendaraan di jalan raya untuk pergi dari sini, atau beristirahat di rumah kecil berpagar milik petani - hampir tidak ada rencana sama sekali.
Karena terburu-buru, aku dan Guruku terjatuh bergantian. Kami berguling di lereng landai berkali-kali. Seandainya tidak ada pepohonan yang menahan... kurasa kami bisa terus menggelinding sampai ke jalan raya.
Semua terlihat lancar, tapi dalam hatiku muncul firasat berbahaya tanpa alasan jelas. Semakin dekat dengan jalan raya, perasaan ini semakin kuat. Maka tepat sebelum benar-benar keluar dari pegunungan, kuremas tangan Guruku dengan ragu!
"Ada apa?" Guruku menoleh, memandangiku dengan tatapan penuh tanya.
"Guru, bukankah Guru menerimaku sebagai murid karena indera spiritualku yang luar biasa?" Kutatap wajahnya dengan serius.
“Kenapa tiba-tiba menyinggung ini?” Guruku awalnya ingin bercanda denganku, tapi melihat ekspresi wajahku yang serius, ia tahu aku tidak main-main. Raut wajahnya pun menjadi khidmat.
“Meski tempat ini sunyi, intuisi ku merasa sangat bahaya, Guru... Setelah kau pergi, indera spiritualku semakin tajam. Bagaimana menjelaskannya... Setiap kali intuisi mengatakan bahaya, tak pernah sekali pun meleset! Guru, aku tahu kau telah merencanakan banyak hal, kita juga hampir...” Aku tak tahu cara menjelaskan perasaan metafisika ini pada Guru, hanya bisa tergesa-gesa menerangkan. Singkatnya, intuisiku mengatakan kita tak boleh mendekati jalan raya itu.
Dan perasaan bahaya ini semakin lama semakin kuat.
Namun tak disangka, Guru mengangkat tangan menghentikan penjelasanku. Dengan tenang ia berkata: “Tak perlu jelaskan panjang lebar. Kau muridku. Entah indera spiritualmu tajam atau tidak... Apa pun yang kau katakan, aku percaya. Sekarang, menurutmu apa yang harus kita lakukan?”
Pada saat itu, dalam hatiku terasa seolah Guru sedang mengandalkanku. Tanpa ragu lagi kukatakan: “Untuk sementara jangan mendekati jalan raya itu. Kita mundur sedikit, tunggu!”
Guruku tak membantah sama sekali. Ia langsung berbalik dan berjalan mundur. Padahal jalan sunyi itu terhampar di depan mata, begitu dekat. Hanya perlu keluar dari gunung ini, kita bisa mencari cara ke Xiangxi. Tapi tanpa ragu, Guru malah mengajakku kembali ke gunung tandus yang membuat kami ‘muntah’ ini.
"Aku sangat berterima kasih atas kepercayaan dan ketergantungan tanpa kata dari Guruku. Hanya dengan tindakan kecil ini, seakan-akan jiwaku langsung matang sepuluh tahun dalam sekejap. Aku merasakan beban tanggung jawab berat di pundak, yang akhirnya kupikul - mungkin ini tanggung jawab yang lebih berat daripada yang ada di tubuh Guruku."
Kami terus mundur cepat hingga mencapai cekungan tempat beberapa pohon kecil dan semak belukar. Baru saat itu perasaan di hatiku sedikit tenang.
"Guru, mari kita sembunyi sementara di sini." Kataku dengan tegas pada Guru... Padahal di lereng landai ini, di mana-mana tertutup pepohonan, sebenarnya tak perlu bersembunyi. Tapi dengan reflek aku mengatakannya.
Menghadapi 'permintaan menggelikan' ini, Guruku sama sekali tidak keberatan. Dengan biasa saja Beliau menyelinap ke dalam semak berduri, ikut masuk ke dalam belukar, lalu tergeletak sambil menatap jalan raya itu tanpa berkedip. Reflekku mengatakan ini yang harus dilakukan.
Meski disebut semak belukar, sebenarnya penuh duri-duri kecil. Walau tak ada nyamuk mengganggu, duri-duri itu menusuk daging hingga terasa kesemutan dan gatal. Sungguh tidak nyaman berbaring di situ.
Tapi mataku terus menatap jalan raya tanpa bergerak. Guruku dengan sabar tetap tergeletak di sampingku. Matahari terik di bulan Juni, sekitar pukul tiga empat sore. Keringat mulai menetes dari pelipis kami.
Aku sangat berterima kasih Guruku tidak menanyakan alasan, dan waktu pun tidak membuatku menunggu lama... Sekitar sepuluh menit kemudian, suara deru mesin truk mulai terdengar di telingaku.
Mendengar suara ini, detak jantungku tiba-tiba menjadi cepat... Entah mengapa? Detak jantung yang kencang ini memberiku ketegangan tanpa alasan jelas, tanpa sadar aku menekan bibirku, tangan dengan reflek mencengkeram semak belukar dan menggenggamnya erat.
"Ada apa?" Guruku yang selama ini hening, akhirnya berbicara dengan suara sangat pelat setelah melihat keadaanku.
"Guruku, dengar suara truk itu? Menurutku begitu kendaraan itu muncul, jawaban mengapa ada perasaan bahaya ini akan terungkap." Kalimat ini kukatakan secara instingtif, namun setelah diucapkan berubah menjadi keyakinan.
"Hmm, pastinya seperti itu." Guruku pun memberiku kepercayaan yang penuh keyakinan.
Truk itu tampak berjalan sangat lambat. Suara mesin yang sudah lama kudengar baru muncul dalam pandangan kami setelah percakapan singkat kami selesai... Sebuah kendaraan hitam besar berpenggerak empat yang telah dimodifikasi.
Saat muncul dalam pandanganku, detak jantungku mencapai suhu kritis... Sekilas kulihat delapan orang duduk di gerbong. Dua di antaranya mengangkat teropong, menyisir gunung dan lembah dengan penyelidikan detail, sementara sisanya terlihat menganggur namun memancarkan aura tak biasa dari tubuh mereka.
Dua di antaranya aku kenal, pastinya anggota sepuluh tukang pukul yang biasa mengikuti Wu Tian, atau sekarang seharusnya disebut Raja Suci? Salah satu dari kedua orang ini adalah biksu itu, kuingat Wu Tian sepertinya sangat menghargainya. Saat itu muncul, dia hanya berdiri setengah langkah di belakang Wu Tian.
Beberapa lainnya tidak kukenal, tapi aura berbahaya dari tubuh mereka, bahkan hanya dengan muncul dalam pandangan mataku, terasa seperti duri yang menusuk-nusuk bola mata... Tentu saja, di antara mereka ada si orang bertopeng.
Jika semua orang itu bisa kuhiraukan, maka orang yang duduk di kursi penumpang depan ini justru tak bisa kueabaikan. Tak perlu orang lain, bahkan kehadirannya sendirian saja sudah membuat detak jantungku berdegup kencang... Meski wajahnya tertutup syal di sekitar kerah jaket dan memakai kacamata hitam... Tapi bagaimanapun juga aku pasti mengenalinya - Yang Sheng!
Tak kusangka Yang Sheng malah datang langsung ke tempat terpencil ini... Sepertinya gengsi guruku dan aku benar-benar besar.
Senyum sinis tak terbendung mengembang di wajahku. Di jalan raya, tiba-tiba Yang Sheng melambaikan tangan, gerbong kereta itu pun berhenti.
Di bawah terik matahari yang menyengat, di antara gemericik suara serangga dan kicau burung di hutan pegunungan, kudengar debar 'bruk' 'bruk' detak jantungku sendiri!
