"Ada bau Roh Leluhur, masih hidup, menarik..." Si Kakek bermata satu itu tak memberi kami penjelasan apapun. Sambil bergumam kata-kata membingungkan itu, dia pun turun tangga, suaranya semakin menghilang.
Apa ini alasan dia membantu kami? Apakah tubuh kami ternodai bau Roh Leluhur? Tuhan saja yang tahu makhluk bernama Roh Leluhur itu hampir menelan kami bulat-bulat.
Tapi poin utamanya pasti kalimat "masih hidup" itu... Aku dan Guruku memilih tak merenung terlalu dalam. Pokoknya dalam situasi genting begini, mustahil membuat rencana jangka panjang. Kami memutuskan bertahan langkah demi langkah. Mengikuti petunjuk si kakek, kami menyergap masuk ke kamar yang ditunjuknya. Benar saja di sana ada jendela menghadap jalan. Rumah ini tepat berdiri di tepi jalan paralel. Memanfaatkan celah sepi, tanpa ragu kami melompat dari lantai dua.
Ketinggian rumah panggung itu cukup membuat jatuhan terasa perih. Untung sejak kecil rutin menguatkan tubuh, refleks kami cukup baik melakukan gerakan protektif. Selain rasa sakit, tak ada cedera serius.
Tapi mana sempat kami mengeluh? Gigit gagang pisau, kami bangkit merangkak. Bahkan napas pun tak berani dihela. Menunduk cepat, kami menyusuri jalanan sepi itu.
Untungnya, pakaian kami sangat kotor, bentuknya pun mungkin sudah tak terlihat jelas. Wajah kami juga kotor sehingga tak ada yang memperhatikan. Aku baru sadar tindakan tak sengaja ini ternyata kebetulan tepat, karena dari sudut mata kulihat beberapa orang memang terlihat bekas bekerja di wajah dan tubuh mereka. Apakah kebiasaan penduduk kota kecamatan ini bekerja pagi-pagi?
Aku malas memikirkan ini. Bersama Guruku, kami hanya berjalan. Gang kecil yang tak panjang ini segera sampai di ujungnya, menuju jalan utama.
Jalan utama masih ramai seperti sebelumnya. Sebelumnya beberapa orang sudah berkumpul spontan di sana. Kali ini justru tim patroli yang sengaja menggiring orang ke jalan utama... Di saat seperti inilah baru kuperhatikan anggota tim patroli membawa senjata di tangan.
Meski senjata mereka tak sebagus perlengkapan militer, setidaknya setiap orang membawa satu senjata panas.
Sejujurnya, aku tak tahu seberapa efektif senjata panas terhadap praktisi spiritual... Tapi penekanan segera pasti bisa dilakukan. Lagipula, apakah mungkin semua penduduk kota kecamatan ini praktisi spiritual? Tentu jawabannya tidak.
Aku dan Guruku menyelinap di antara kerumunan. Kupegang lengan baju Guruku kuat-kuat, takut terpisah oleh desakan massa... Sekitar dua ratus orang datang kali ini, sementara penduduk kota ribuan. Penekanan ini terjadi karena orang biasa takut pada senjata panas, sedangkan praktisi spiritual mempertimbangkan keberadaan orang biasa?
“Guruku, ini benar-benar keterlaluan. Bukankah seharusnya ada pengelola kota kecamatan di sana?” Aku berbisik di telinga Guruku.
Guruku mengerutkan bibir ke arahku, memberi isyarat agar aku melihat ke arah kompleks perumahan di sebelah. Pagi itu sunyi sepi, kubayangkan hari ini mungkin akhir pekan... Penjaga gerbang juga pernah bilang, kota kecamatan ini muncul tiba-tiba. Karena kekurangan staf, hanya dikelola sementara oleh orang dari kota besar sebelah... Tapi kota terdekat pun jaraknya sangat jauh.
Setelah kupikir matang, semuanya seperti konspirasi yang direncanakan matang! Sekalipun Yang Sheng sombong, dia takkan berani terang-terangan 'muncul ke publik' dan melawan mesin negara.
Sebelum mengalihkan pandangan, kulihat tim patroli itu menarik keluar seorang pria dari pos penjagaan. Pria itu tampak bingung dan ketakutan - bukankah dia penjaga gerbang yang ramah tadi?
“Guruku, kita harus menolongnya.” Ada yang bilang, seribu kali menoleh di kehidupan lampau baru mendapat kesempatang berpapasan di kehidupan ini. Kami sudah duduk minum arak semalaman bersamanya - ini pasti suatu jodoh. Aku juga bukan orang yang sok baik di situasi genting begini.
Tapi kalau dipikir-pikir, sebagai operasi rahasia besar yang tak tercela, Yang Sheng pasti sangat berhati-hati. Nasib penjaga gerbang itu kemungkinan besar tidak akan baik.
Mengenai aku dan Guruku sebagai praktisi spiritual, mungkin orang tua itu yang berjaga di persimpangan jalan gunung baru akan mengizinkan kami pergi? Seolah dia tahu operasi ini punya target spesifik. Tapi penjaga pintu gerbang hanyalah orang biasa tanpa latar belakang, dan sejak dulu hingga kini, menghilangnya beberapa orang sepertinya bukan hal yang terlalu aneh.
Beginilah, barulah aku tergerak oleh belas kasihan.
Tapi bagaimana cara konkretnya? Dalam hati belum ada rencana matang, sementara Guruku hanya mengangguk mendengar usulanku, alisnya berkerut... Pasti juga sedang merancang strategi detail secara batin.
Seiring waktu yang berlalu detik demi detik, semakin banyak orang yang diungsikan ke jalan utama. Jalan utama kota kecamatan ini memang tidak terlalu luas sejak awal, kini hampir menampung ribuan warga yang semakin berdesakan.
Keriuhan ini terjadi sekitar pukul 9 lebih di pagi hari. Matahari musim panas selalu rajin, pukul 9 pagi sudah tinggi tergantung di langit, menyinari dengan terik hingga keringat mengucur dari tubuh orang-orang, lalu menguap membentuk kabut panas. Jalanan tiba-tiba dipenuhi atmosfer pengap yang mencekik, bercampur aroma kompleks tak sedap.
Dalam atmosfer seperti ini paling mudah kehilangan kendali. Pengaruh lingkungan membuatku harus terus membatin mantra penenang. Meski impulsif, aku tahu hanya dengan tetap tenang di momen krusial, kesempatan kecil untuk membalikkan takdir bisa diraih.
Berbeda dengan keriuhan saat orang-orang ini pertama kali muncul, kerumunan yang berkumpul di jalan utama justru semakin banyak. Kota kecamatan ini malah semakin hening, hanya sesekali terdengar suara seperti dengungan lebah 'bzzz' yang sangat dalam. Tak ada lagi obrolan, membuatku dan Guruku kesulitan berbicara.
Aku terus memantau sekitar. Ternyata meski bisa menyembunyikan diri di tengah kerumunan, di sisi lain ini sama seperti mengurung diri dalam tong besi. Dengan sadar aku tahu, dalam situasi seperti ini hanya kekacauan yang bisa memberi kami kesempatan terbaik.
Selain itu, aku juga menangkap hal sensitif: Pak Penjaga Gerbang mendapat 'perlakuan khusus'. Dia malah dibawa ke gerbong truk terbuka yang mengepung kota. Dari kejauhan kulihat dia gemetar ketakutan.
Pandanganku mulai gelap, kepala kuanggukkan... Justru dimasukkan ke truk, bukankah ini seperti menambah minyak ke api? Tapi sebelum sempat berpikir lebih jauh, terdengar teriakan tim patroli. Kulihat di pinggiran kota, di mulut gang menuju gunung, setidaknya tiga tim sedang menghardik barisan orang - persis seperti menggiring ternak.
Sekilas kukenali, mereka pasti digiring dari gang yang kami lewati saat turun gunung. Setelah kuperhatikan, ternyata sekitar sepuluh orang tua. Tak sempat kuhitung, tapi jelas terlihat si Kakek bermata satu yang pernah menunjukkan jalan pada kami ada di antara mereka.
Apakah para kakek tua ini sangat hebat? Hingga harus dikerahkan tiga tim untuk mengusir mereka? Sementara anggota tim-tim ini, sejak awal sudah kurasakan - sebagian mungkin praktisi spiritual biasa, sedangkan yang lain jelas-jelas adalah zombie tipe "Yang Sheng" yang seharusnya memiliki kekuatan tempur tidak rendah. Ini bisa dianggap sebagai "perlakuan khusus"!
Namun, para kakek tua ini sepertinya tidak terlalu menunjukkan rasa takut. Malah, mereka menatap penduduk kota kecamatan dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Mungkin ini yang disebut 'segan bertindak kasar'? Penilaianku sebelumnya tidak meleset - orang biasa di kota kecil ini secara tidak langsung 'menekan' para praktisi spiritual.
Ini mengingatkanku pada satu hal: Aku sama sekali tidak melihat orang tua itu yang biasa duduk di depan ukiran patung batu sambil ngerokok lintingan di celah gunung. Jangan-jangan dia benar-benar belum turun gunung? Masak dia tidak peduli dengan keadaan kota seperti ini?
Tapi seperti katanya dulu: "Urusan desa bukan urusan kami. Kami tidak tahu apa-apa!" Apalagi urusan kota kecamatan, mana mungkin kami bisa menebak-nebak. Yang bisa Guruku dan aku lakukan hanyalah menunggu kesempatan dengan diam-diam.
Setelah para kakek tua itu dihalau masuk ke kerumunan, penduduk kota ini seolah-olah 'dikosongkan'. Tim-tim patroli mulai menyebar cepat, membentuk dua barisan seperti dalam kondisi dikarantina. Mereka menekan kerumunan dan menggiring orang-orang ke pinggiran jalan.
Jalanan yang semula sudah sempit menjadi semakin sesak. Orang-orang berdesakan hingga hampir tidak ada celah, daging saling menempel. Udara yang mencekik semakin mencekam... Otakku mulai terasa berat dan sedikit pusing.
Tepat pada saat itu, suara mesin bergemuruh, kendaraan yang dimodifikasi itu perlahan mulai memasuki jalan raya. Di depan kendaraan, berdiri seorang lelaki. Di tengah teriknya cuaca, ia dengan susah payah mengenakan seragam lengan pendek hitam tanpa insignia, bahkan kancing di kerah yang terkancing rapi. Bayangan dari topi yang ditarik rendah membuat matanya tak terlihat, namun separuh wajahnya yang terlihat seperti diukir kapak, memancarkan aura diri yang khas militer.
Kendaraan itu melintas pelan di jalanan. Lelaki tersebut dengan penuh wibawa sesekali menoleh mengamati sekeliling. Dalam hati aku mengumpat, "Pakai seragam dikira komandan pasukan? Mau pamer 'parade militer'?" Namun hanya dalam pikiran, sebab sejak rombongan orang tua itu muncul, seluruh jalan utama berubah sunyi senyap. Orang-orang diam membeku, bahkan dengungan rendah lebah pun menghilang.
Akhirnya kendaraan itu berhenti tepat di tengah jalan kota kecamatan. Tiba-tiba lelaki di dalam gerbong itu menginjak kursi, menjulang lebih tinggi. Dengan sikap agung ia menatap ke segala penjuru, lalu tanpa bertele-tele langsung berpidato.
Tanpa alat pengeras suara, suara bas rendahnya bergema di sepanjang jalan utama, mengisi setiap sudut dengan wibawa.
“Kami bukan pertama kali bertemu. Selama hari-hari ini, pastinya orang-orang yang berniat jahat di kota kecamatan ini sudah sangat familiar dengan kami... Kota kecamatan ini tak biasa! Membuat kami sangat penasaran... juga penuh rasa ingin tahu! Tapi bagaimanapun juga, aku adalah orang yang berprinsip. Prinsip itu adalah tidak mengganggu orang biasa.”
Perkataannya terdengar sangat munafik. Rencana apa yang mereka sembunyikan? Aku masih merumuskan tebakan ketika suara bariton rendah itu kembali bergema di kota kecamatan.
“Tapi, meski aku orang berprinsip, ada satu hal yang lebih kutinggikan daripada prinsip itu sendiri, yaitu adat... Prinsip tidak mengganggu orang biasa ini, syaratnya adalah harus menurut adatku dalam bertindak...”
Huh, ancaman telanjang!
