"Turunkan aku, kondisiku sudah hampir pulih. Duduk sebentar di sini untuk beristirahat, nanti bisa berjalan lagi." Melihat kebingunganku, Guruku tidak buru-buru menjawab pertanyaanku, malah meminta untuk diturunkan.
Dari nada bicaranya, aku tahu kondisinya mulai membaik. Asal bisa melewati fase awal ketidaknyamanan akibat guncangan roh, pemulihannya akan cepat.
Aku menurunkannya sesuai permintaan. Guruku duduk di batu hijau untuk beristirahat, tampaknya tidak bermaksud menjawab pertanyaanku. Suara gemuruh pertarungan dari kota kecamatan di bawah membuatku gelisah. Mengapa Guruku bisa tetap tenang?
Akhirnya kutanyakan: "Guru, kenapa kau tidak buru-buru menyuruhku menghitung tangga?"
Guruku menatapku sejenak, lalu menarik lenganku untuk berdiri. Sambil memberi isyarat agar aku mengikutinya berjalan, dia berkata: "Cheng Yi, dalam keadaan genting, kau harus semakin tenang. Setidaknya jangan sampai orang lain melihat kegelisahanmu."
"Hmm..." Kutarik napas dalam-dalam sambil mengangguk. Bagaimanapun, aku yakin Guruku takkan menyakitiku.
“Karena tanggung jawab yang harus kau pikul nanti tidak ringan, beberapa 'akal' tetap harus kau pelajari. Sejak kecil kau tumbuh di sampingku, aku agak menyesal memberimu terlalu sedikit ujian. Pada akhirnya, sifat yang terbentuk sejak kecil ini terlalu polos dibandingkan dunia yang rumit ini. Polos bukan tak baik, bagi murid Taoisme, kepolosan justru memudahkan pencapaian. Tapi perhitungan manusia tak sebanding takdir langit, siapa tahu apa yang harus dipikul dalam hidup ini?” Guruku terlihat cerewet. Dulu dia jarang seperti ini, sejak pertemuan kali ini, kudapati dia mulai lebih sering berceloteh.
Sambil berbicara, dia menghentikan langkah, menarikku berhenti juga.
Kutatap Guruku, mengira dia akan berfilosofi lagi, tapi kali ini dia berkata: “Cheng Yi, jalan batu pualam kuno ini adalah satu-satunya jalan menuju desa tempat Qiangzi bertapa.”
“Ah, bukankah itu desa terpencil?” Maksudku, dengan sengaja membangun jalan bukankah terlalu mencolok.
“Hehe, situasi sebenarnya tak sesederhana itu. Tahukah kau tangga ini punya nama lain?” Guruku bertanya retoris, tapi tahu aku takkan bisa menjawab, langsung menerangkan: “Namanya juga disebut Tangga Pemutus Nyawa. Setelah seratus anak tangga, mencoba naik dengan cara normal mustahil berhasil. Kehilangan nyawa masih termasuk ringan, akibat terburuk adalah roh hancur lebur.”
“Ha?” Aku memandang tangga batu hijau biasa ini. Selain gesekan masa-masa yang membuatnya terlihat berkesan mengharukan, sama sekali tidak kulihat keunikan apapun.
"Jangan banyak tanya dulu. Sekarang ikuti kendaliku. Langkah berikutnya, langsung langkahi dua lapis tangga, tempelkan badan di sebelah kanan." Guruku berkata serius.
Sebelumnya ketika dia memberitahukan nama lain tangga ini, sungguh membuatku terkesima. Mana berani aku menunda-nunda, dengan patuh pindah ke sisi paling kanan tangga, lalu melangkah menyamping dua anak tangga sekaligus dan menginjaknya.
Semuanya sunyi senyap tak terjadi apa-apa, tapi tanpa alasan jelas dadaku berdebar-debar. Tak henti aku berandai-andai: andai tak mengikuti petunjuk Guruku menapaki tangga ini, konsekuensi apa yang akan terjadi? Namun bersamaan itu, efek ritual rahasia mulai memudar perlahan. Tubuhku tak tertahankan semakin lemah.
Guruku menaiki tangga dengan cara yang sama. Untuk sementara belum menyadari ritual rahasia ku hampir habis waktunya, dia terus mengendalikan: "Langkah selanjutnya, langsung naik satu anak tangga, injak bagian tengah tangga."
Sedangkan 'konsekuensi' dari ritual rahasia itu datang sangat cepat. Begitu dimulai, bagaikan air bah yang meluber, meruntuhkan bendungan, sudah tidak mungkin lagi dihentikan. Awalnya aku masih bisa menahan, namun begitu ucapan Guruku selesai, aku benar-benar tidak tahan lagi. Langsung limbung dan bersandar pada tubuh Guru. Rasa sakit itu mulai muncul di seluruh tubuhku, seolah-olah ribuan semut menggerogoti otot-ototku. Seketika aku tak bisa bergerak, bahkan penglihatan dan pendengaranku mulai buram.
"Cheng Yi?" Guruku menyadari keadaanku yang tidak biasa, namun langsung paham apa yang terjadi. Kali ini Giliran Guru tanpa ragu menggendongku di punggungnya, berbisik padaku: "Cheng Yi, tahanlah sedikit."
Sebenarnya selain menahan, apa lagi yang bisa kulakukan? Wajahku pucat karena keanehan yang menyiksa tubuh ini. Seluruh ototku kejang-kejang. Aku hanya bisa menggigit gigi sekuat tenaga, berusaha keras menahan diri agar tidak sepenuhnya kehilangan kendali atas tubuh. Jangan sampai terjatuh dari punggung Guru, atau membebani Guru dengan seluruh berat tubuhku.
Hal seperti ini bahkan bisa dirasakan orang biasa. Jika menggendong orang yang sadar, karena titik tumpu yang berbeda, bahkan tidak akan terasa berat. Tapi jika menggendong orang yang tak sadarkan diri, kau akan menemukan bahwa meski sama-sama seorang manusia, beratnya bisa berlipat ganda.
Aku hanya berusaha meringankan beban Guruku, tapi kali ini karena banyak lubang rahasia yang terbuka, ditambah tidak ada Paman Chen, kesadaranku segera menjadi buram. Yang tersisa hanyalah rasa sakit yang jelas, aku benar-benar tidak tahu apa-apa lagi.
Dalam penderitaan, waktu terasa berjalan sangat lambat. Rasa sakit yang berasal dari tubuh dan roh ini hanya bisa kutanggung sendiri, tak seorang pun bisa membaginya... Dalam siksaan ini, aku tidak tahu sudah berapa lama waktu berlalu.
Saat rasa sakit itu mulai mereda, kesadaranku perlahan pulih. Kurasakan tubuhku masih berada di punggung Guruku. Sinar matahari yang menyilaukan masuk ke mataku, membuatku tak bisa langsung membuka mata.
Tapi aku tahu pasti sudah tengah hari. Seluruh tubuhku basah oleh keringat, pakaian yang melekat di tubuh hampir seluruhnya basah dan mengeluarkan uap panas... Guruku masih memanjat Tangga Pemutus Roh ini. Dari kontak tubuh, kurasakan punggungnya juga penuh keringat lengket, langkahnya terasa semakin berat.
Situasi ini membuatku sangat ingin turun dari punggungnya dan berjalan sendiri... Tapi seperti setiap kali efek samping ritual rahasia muncul setelah kelelahan, setelah begitu sadar menahan rasa sakit, rohku sudah mencapai batas kelelahan. Belum sampai dua menit sadar, kesadaranku kembali hilang...
※※※
Aku terbangun lagi di malam hari.
Angin malam di gunung menghilangkan hawa pengap siang hari, membuatku merasa jauh lebih nyaman. Kecuali masih agak lemas, kondisiku secara umum sudah pulih sepenuhnya.
Cahaya api yang berkedip memberitahuku bahwa ini saatnya berkemah di malam hari. Apakah kami sudah menyelesaikan pendakian tangga Duanhun yang terdengar menyeramkan itu?
Aku terbangun. Guruku yang pertama menyadari. Tanpa banyak kata perhatian, diam-diam dia menyodorkan segelas air hangat dengan suhu pas. Tenggorokanku memang kering, langsung kuminum habis air dalam gelas itu sampai tandas. Guruku mengambil kembali gelas itu dan menuangkan lagi air dari kendi pendakian untukku.
Setelah minum, Guruku menyodorkan mangkok berisi makanan rebusan - tak lebih dari bubur dengan dendeng dan sejenisnya. Biasanya kuanggap ini makanan tak enak, tapi setelah seharian kelelahan, rasanya justru luar biasa lezat.
Semua ini terjadi dalam keheningan, disertai keselarasan aneh yang alami. Seolah seperti bernapas biasa... Hidup bersama, hidup mati bersama, saling percaya - hubungan apa pun akan menjadi seperti ini jika terjalin cukup lama.
Entah itu hubungan saudara, sahabat, keluarga, atau suami istri - hanya saja membangun ikatan seperti ini tidaklah mudah.
"Saat sedang makan, aku terus memikirkan satu pertanyaan: Apakah hutang kasihku pada Guruku di kehidupan ini memang takkan pernah terlunasi? Atau mungkin dia yang pernah berhutang padaku di kehidupan sebelumnya? Hari ini baru saja kubawa dia menembus jalan darah mendaki gunung, lalu di gunung ini dia langsung menggendongku merangkak naik tangga pemutus roh. Apakah takdir sengaja mengatur segalanya seperti ini?"
"Kalau memang masih berhutang, biarlah. Sesungguhnya yang paling ditakuti manusia bukanlah berhutang budi pada seseorang. Jika masih merasa berhutang budi, itu artinya hubungan batin dengan orang tersebut belum cukup mesra dan tulus... Justru pada orang terdekat, yang paling menakutkan adalah ketika tak ada lagi hutang-mengutang. Jika sudah lunas, apa lagi yang akan mengikat? Itu pertanda hubungan sudah tamat!"
"Dengan masih berhutang pada Guruku, bukankah artinya di kehidupan berikutnya kami pasti akan bertemu lagi? Perasaan inilah yang membuat hatiku lebih tenang."
Setelah menghabiskan makanan sederhana ini, perut yang keroncongan tadi terasa lebih nyaman... Baru pada saat inilah semua masalah siang hari satu per satu muncul kembali dalam pikiranku.
"Guruku, apakah kami sudah berhasil menaiki tangga pemutus roh itu?" aku mulai bicara.
"Lihat saja sendiri." Guruku menunjuk sembarangan. Baru sekarang kusadari bahwa tempat kami berkemah adalah sepetak rumput datar, seolah ada yang sengaja membangun platform di tengah hutan ini, meski terlihat lebih alami.
Arah yang ditunjuk Guruku itu bukankah tangga pemutus roh tadi? Hanya saja di sini sudah mencapai ujungnya. Yang unik, di ujung tangga terdapat rak kayu besar yang menjepit sebuah genderang berbentuk aneh. Pemukul genderang itu tergantung di rak tersebut.
“Tangga Pemutus Roh, bagi yang tidak tahu cara melewatinya, memaksa untuk melintas tentu akan kehilangan nyawa. Tapi bagi yang paham jalannya, ia tak beda dengan tangga biasa.” Guruku berkata demikian.
