Dari sini, jalan menuju kota kecamatan tidak jauh, hanya sekitar ratus meter saja. Dengan satu belokan, kita bisa keluar dari gang sempit itu dan sampai di jalan utama kota.
Begitu masuk ke jalan utama, bau anyir darah yang menyengat langsung menusuk hidungku, membuatku tak kuasa menahan batuk. Guruku yang berjalan di sampingku segera berubah ekspresi wajahnya, bahkan Si Kakek Amoudou yang awalnya begitu percaya diri tiba-tiba terlihat serius. Kudengar dia kembali memaki dengan bahasa Miao yang tak kukenal, lalu menjelaskan padaku dalam bahasa Han dengan nada malu: "Cucu kura-kura ini benar-benar berani..."
Berani melakukan apa? Amoudou tidak menjelaskan detail, namun dari nadanya kurasakan kemarahan yang dipendam dan perasaan ragu-ragu. Dia benar-benar tidak percaya ada yang berani 'berbuat semena-mena' di wilayah kekuasaan mereka.
Dalam hati aku menghela napas. Mungkin Amoudou sudah terlalu lama tinggal di desa pegunungan. Dia takkan pernah mengerti bahwa di dunia ini ada jenis manusia bernama 'orang gila'—tidak ada yang tidak berani mereka lakukan. Dan Yang Sheng adalah contoh tipikal orang seperti itu. Apa lagi yang tidak berani dia lakukan?
Malam ini tidak ada bulan, yang ada hanyalah cahaya bintang yang memenuhi langit... Di gunung, cahaya bintang ini terang benderang, persis seperti langit bertabur bintang yang kulihat di kota kecamatan ini semalam. Cahaya jernih yang menusuk itu bisa langsung merasuk ke dasar hati. Namun sekarang, baru saja belok ke jalan utama kota kecamatan, cahaya bintang di langit seolah tersaput lapisan kemerahan, samar-samar, memberikan nuansa mengerikan pada seluruh kota kecamatan.
Berbeda dengan kemarin yang cepat gelap, saat ini semua lampu jalan di jalan utama kota kecamatan menyala. Meski cahayanya kekuningan, sudah cukup terang untuk melihat segala sesuatu di kota kecamatan dengan jelas.
Pada saat inilah baru kusadari alasan mengapa kota kecamatan ini begitu sunyi. Dua kelompok yang bertikai sengit pagi tadi sekarang berhadapan di kedua ujung kota kecamatan. Tak ada yang bersuara, hanya sesekali terdengar xi xi su su langkah kaki, dan suara benda diseret.
Kedua kelompok itu sedang membersihkan mayat-mayat di jalanan.
Mereka yang pagi tadi masih hidup-hidup, kini telah menjadi mayat yang membeku, tergesa-gesa diseret ke dua sudut jalan, lalu ditidurkan berjejer.
Setiap orang membisu, yang membersihkan membisu, yang melihat pun membisu. Pemadangan ini membuat kota kecamatan yang sudah mengerikan itu bertambah nuansa kepedihan... Kami berjalan di jalanan, Amou Dou melihat ini terus-menerus bergumam pelan di tenggorokannya. Dari nadanya, dia pastinya sedang memaki-maki sesuatu, sementara aku hanya diam.
Karena menurutku, terkadang dalam beberapa lapisan, kemanusiaan seharusnya tidak membedakan musuh dan kawan. Seperti perang pun tak bisa menghentikan cahaya kemanusiaan.
Aku tidak setuju dengan prinsipmu. Bahkan untuk menjaga yang ingin kujaga, aku bisa bertarung hidup-mati denganmu... Tapi ini takkan menggerus kemanusiaanku. Kemanusiaan ini bisa dipahami sebagai: dendam telah beres, takkan kusalahkan lagi. Aku bahkan bisa menghargai kematianmu, dan merasa pilu akan pertarungan ini, bukan terus menyimpan kebencian.
Sambil berpikir begitu, tanpa sadar kami telah mendekati kerumunan yang berkonfrontasi. Di dekat celah gunung ini jelas penduduk kota kecamatan yang pasti akan menjaga celah gunung. Sedangkan di sisi lain tentu orang-orang Yang Sheng.
Lentera jalan yang kekuningan ditambah orang-orang yang mondar-mandir membersihkan mayat di tengah, wajar saja aku tak bisa melihat jelas siapa saja di seberang. Tapi di sisi kami, sebelum sempat menyusup ke kerumunan, tiba-tiba kudengar Amao Dou di sampingku berteriak: "Dàwū Daxing, Darong! Dàwū Daxing, Darong..."
Tadiku masih dalam perenungan, teriakan berisik Amao Dou ini langsung menyedotku dari pikiran. Refleksku ingin menghentikannya. Tapi di kota kecamatan yang hening ini, suaranya begitu tiba-tiba. Sama sekali tak sempat dicegah.
Aku tidak menyangka Amou Dou memilih cara seperti ini. Guruku juga terlihat agak terkejut, mengingat suasana seluruh jalan begitu mengenaskan, penuh kepedihan dengan nuansa serius dan berat yang halus. Teriakan ini hampir menarik perhatian semua orang. Identitas kami sebagai pendatang baru di kota kecamatan ini memang sensitif, keadaan seperti ini...
Tapi tindakan pencegahan sudah terlambat. Apalagi menyalahkan Amou Dou, atau memang sifat dasarnya seperti ini?
Namun nyatanya, semua mata tertuju pada kami. Awalnya warga kota kecamatan memandang Amou Dou dengan sorotan menyalahkan. Entah mengapa, setelah jelas melihat itu Amou Dou, banyak yang mulai menunjukkan rasa hormat bercampur takut, menunduk dan minggir memberi jalan.
Amou Dou seolah menikmati situasi ini, meluruskan punggungnya dengan bangga. Sikap kekanak-kanakan ini sangat berbeda dengan kepribadiannya yang licin saat berbicara di gunung sebelumnya... Tapi hal ini justru membuatku dan Guruku semakin sulit berkomentar.
Aku ingin mengamati reaksi orang di seberang. Teriakan Amou Dou pasti terdengar sampai ke sana. Dia bagian dari kelompok kami, bisa jadi musuh sudah melihat keberadaan kami? Tapi sebelum sempat menoleh, kurasakan bayangan manusia melesat mendekat. Sebelum sempat bereaksi, lengan kuat sudah mencekik leherku. Suara riang penuh kejutan menggema di telinga: "Kak, kau kenapa datang?"
“Qiangzi!” Pikiranku belum sempat bereaksi, tapi dengan reflek sudah memanggil nama Qiangzi. Suara ini pasti miliknya!
Sukacita bertemu sahabat lama di tengah kekacauan ini tak terucapkan. Segala kata yang ingin kusampaikan berubah menjadi pelukan beruang erat!
Dari belakangku terdengar suara serak yang tampak lebih tua: "Lelaki Jiang, benar saja kau masih hidup... Aku selalu yakin kau bukan tipe yang mudah mati! Meski ke Kunlun sekalipun, bahkan ke istana langit, pasti kau bisa pulang hidup-hidup."
"Haha, Lelaki Mu, kau benar-benar mengabdi sepuluh tahun lalu baru pensiun... Tampaknya hidupmu masih segar." Sambil berkata, kulihat Guruku bergegas mendekat dan memeluk pemilik suara tua itu.
Dibandingkan aku dan Qiangzi, Guruku dengan Lelaki Mu ini terlihat lebih akrab... Mungkin karena mereka pernah melalui lebih banyak hidup-mati bersama selama bekerja, perasaan ini telah melampaui jarak waktu.
Pertemuan ini seharusnya membahagiakan, andai saja tidak ada suara tepuk tangan 'plak...plak...plak' yang tiba-tiba mengganggu.
Saat suara itu terdengar, jantungku tanpa alasan menjadi gelisah. Kukepalkan tangan dan melihat seseorang muncul dari kerumunan. Meski di bawah cahaya redup kekuningan, saat melangkah keluar, seketika itu juga kukenali: Yang Sheng!
"Ini yang disebut arwah Yin yang tak kunjung pergi? Di mana ada aku, pasti ada dia? Rupanya sisa roh Qiong Qi di sini yang menariknya, ataukah keberadaan aku dan Guruku yang menariknya?"
"Chen Cheng Yi, untuk orang sentimentil sepertimu, apa sekarang kau ingin menangis tersentuh?" Yang Sheng mulai bersuara. Saat dia membuka mulut, aku langsung membeku.
Perlu diketahui sejak lama, suara Yang Sheng sudah berubah menjadi serak parau yang sulit kudeskripsikan - seolah pita suaranya rusak. Tapi hari ini, suara yang kudengar persis seperti dulu saat dia berbicara denganku di Pondok Bambu, seolah tak pernah berubah.
Tapi selain tertegun, tak ada lagi gejolak emosi dalam diriku. Aku hanya berpikir: perubahan apa lagi yang terjadi padanya hingga suaranya kembali normal? Setelah semua yang terjadi, sudah kulupakan penyesalan dan kesedihan tak berujung saat kepergiannya dulu.
"Bisa tidak kau menghilang dari pandangan? Diam saja pun tak ada yang anggap kau bisu!" Tak kusangka sebelum sempat bereaksi, Sun Qiang yang awalnya sangat antusias memelukku tiba-tiba melepaskan pelukan. Dengan suara meledak-ledak dia mengeluarkan kalimat itu.
Aku terkejut melihat Qiangzi. Dalam ingatanku, dulu dia agak pemalu. Saat pertempuran melawan si kecil dulu, sikapnya memang sedikit agresif, tapi tidak sampai mudah meledak seperti mesiu kering ini. Ada apa sebenarnya?
“Aku memang bicara? Apa yang bisa kau lakukan?” Dibandingkan dengan nada buruk Qiangzi, Yang Sheng justru terlihat sangat tenang. Dia berjalan ke posisi tengah yang dekat dengan area konfrontasi kedua pihak, berhenti, sedikit menoleh memandang Qiangzi dengan suara datar.
Menghadapi Yang Sheng seperti ini, aku tak tahan menyeringai sinis. Kini Yang Sheng telah berubah total, tak hanya pandai bermain konspirasi, bahkan bicaranya sudah belajar 'tajam lidah'. Keasingan ini sudah tak bisa lebih asing lagi.
Menurutku Qiangzi sama sekali tak perlu berdebat mulut dengannya. Bagaimanapun, meski perubahan temperamental Qiangzi membuatku terkejut, hingga ke tulang sumsum aku yakin dia tetap Qiangzi yang sederhana dari awal. Lagipula Yang Sheng datang untukku, buat apa Qiangzi bertengkar dengannya? Dengan pikiran ini, aku baru saja ingin menarik Qiangzi untuk langsung menghadapi Yang Sheng...
Tapi tak disangka, Qiangzi tiba-tiba terburu keluar dari sampingku. Sebentar kemudian, kudengar teriakannya: "Aku juga tak mau banyak bicar! Cuma mau memukuli dasar kau ini! Bagaimana? Dasar orang gila yang menelantarkan istri-anak, mengkhianati sahabat!"
"Qiangzi, kembali!" Aku berteriak sambil tak tahan ikut berlari keluar... Kemampuan Yang Sheng pernah kusaksikan, mana mungkin Qiangzi jadi lawannya?
