Pada tengah hari ketiga, titik penyambutan kedatangan orang lagi. Beberapa biksu yang terlihat lebih beringas dari orang biasa. Saat melihat Guruku dan aku, meski berusaha menyembunyikannya, emosi kompleks di mata mereka tetap terlihat sesekali.
Mungkin merasakan atmosfer yang tidak nyaman, salah satu utusan aliran Gunung Salju di titik penyambutan tiba-tiba berkata: "Tanah suci aliran Gunung Salju, termasuk setiap titik penyambutan, bebas dari dendam." Kemudian dia mundur dalam keheningan.
Namun, kalimat yang diucapkan dengan santai ini sebenarnya mengandung peringatan yang sangat keras. Setelah mendengarnya, para biarawan Tibet itu awalnya terdiam terpana, lalu dengan sendirinya pindah ke sudut lain gua batu. Mereka mulai berdiskusi dalam bahasa Tibet dengan suara rendah, menunjukkan sikap tak saling mengganggu dengan kami.
Aku sebenarnya tidak punya prasangka pribadi terhadap biksu. Namun sejak pertama kali memasuki Tibet, ada perasaan samar bahwa aku terlibat hubungan dengan biksu dari kuil misterius tertentu - hubungan yang tidak baik. Contohnya Manrenba yang mengejar kami sampai perbatasan, biksu yang selalu mengikuti Wu Tian, dendam dengan Lushan... Karena itu, ketika sekumpulan biksu ini memasuki gua, secara reflek aku langsung waspada.
Terutama setelah melihat tatapan aneh dari mata mereka, kewaspadaan ini berubah menjadi pertahanan diri.
Tapi ini kan wilayah kekuasaan aliran Gunung Salju. Aku dan Guruku masih aman. Jadi selain berjaga-jaga diam-diam, kami tidak terlalu memperhatikan mereka.
Kami tidak mengerti bahasa Tibet, jadi tak tahu apa yang dibicarakan para biksu ini. Aku yang sensitif bisa merasakan selama diskusi, mereka sesekali mencuri pandang ke arahku dan Guruku. Pura-pura santai memasak mie, aku berbisik ke Guruku: "Mereka tidak membawa kebaikan."
Guruku meneguk air panas, lalu membalas dengan suara rendah: "Sudah sejak awal kurasakan."
Dalam saling membentengi diri ini, kedua pihak kami akhirnya melewati waktu makan siang dengan kedamaian. Setelah makan siang, sesuai kebiasaan, utusan aliran Gunung Salju akan mengutus seseorang untuk menanyakan jadwal keberangkatan kami, agar mereka bisa memanggil Penyambut untuk menjemput.
Aku dan Guruku harus menunggu Qiangzi, tentu tidak terburu-buru berangkat... Yang membuat kami heran, para biksu itu juga tidak pergi. Seorang di antara mereka berkata dalam bahasa Han kepada utusan: "Kami juga tidak tergesa-gesa, lebih baik ikut bersama mereka saja, sekalian mengurangi repot kalian."
Utusan aliran Gunung Salju tentu tak peduli dengan keanehan yang tersembunyi. Karena para biksu sudah menyatakan sikap, ia pun pergi dengan santai. Tapi hatiku berdegap kencang - mengapa harus berangkat bersama kami? Jangan-jangan para biksu ini sudah tahu identitas kami?
Namun sekeras apapun aku menebak, mustahil terjadi dialog di antara kami. Aku hanya bisa terus menduga-duga tujuan dan identitas mereka, sambil berpura-pura tak saling mengganggu seperti sumur dan aliran sungai.
Dua hari berlalu lagi. Para biksu ini benar-benar ngotot - selama kami tidak berangkat, mereka pun bersikeras tetap tinggal... Sorot mata mereka ke arahku dan Guruku semakin hari semakin aneh.
Akhirnya di suatu sore dua hari kemudian, orang yang kami tunggu-tunggu pun tiba - Qiangzi.
Dia diantar oleh beberapa orang yang jelas-jelas beraura Dàwū. Begitu tiba, langsung memelukku dengan heboh. Sedangkan para biarawan Tibet itu sama sekali diabaikan olehnya.
“Kak, aku sudah tahu semua hal setelah bangun, aku…” Qiangzi mengabaikan para biarawan Tibet itu, bicaranya sama sekali tak ada pertimbangan. Aku yang tahu beberapa di antara biksu itu bisa berbahasa Han, tentu juga mengerti, buru-buru tertawa palsu sambil menarik Qiangzi keluar dari gua.
Qiangzi tampak kebingungan, tapi saat itu beberapa Dàwū yang mengawalnya hendak pergi. Mereka menarik Qiangzi ke samping untuk memberi pesan terakhir, sehingga percakapan kami terputus.
Untungnya para Dàwū ini tidak bertele-tele. Mungkin semua penjelasan penting sudah diberikan selama di perjalanan, jadi perpisahan mereka singkat saja.
Setelah mereka pergi, Qiangzi seperti terlepas dari beban, dengan riang berjalan mendekatiku sambil memeluk bahuku: “Kak, tadi kau tarik aku kelpas kenapa? Aku mau cerita, beberapa tahun ini…”
Aku terpaksa menginterupsinya lagi. Dari dalam gua di kejauhan, Guruku melirikku memberi isyarat agar kami menjauh. Dengan berat hati kubawa Qiangzi pergi lagi.
“Kak, sebenarnya ada apa sih? Kok jadi mistis begini?” Qiangzi mulai kesal diinterupsi berkali-kali, bicaranya semakin gaduh.
Aku menyalakan rokok dengan tenang. Dari pertemuan kali ini, kurasakan benar sifat Qiangzi yang berubah drastis. Meski tak sampai marah padaku, tapi kesombongan dan dorongan emosional dalam ucapannya jelas terasa.
"Aku agak khawatir, semoga saja Qiangzi bisa menekan Roh Leluhur itu... Tapi ucapan ini tak bisa kusampaikan padanya, agar dia tidak berpikir macam-macam." Setelah menghembuskan asap rokok, aku memeluk bahu Qiangzi sambil berkata santai: "Sebenarnya tidak ada yang serius. Cuma ada beberapa biksu di gua yang tatapannya tidak bersahabat. Guruku dan aku harus berhati-hati. Percakapan tertentu tentu tak boleh mereka dengar."
"Kak, kau serius? Di tempat rahasia penyambutan ini saja ada orang jahat?" Alis Qiangzi berkerut menunjukkan kekhawatiran.
Aku tersenyum: "Tentu saja benar. Kau tahu sendiri bagaimana pengaruh Yang Sheng sekarang. Kami seperti tikus yang lari ketakutan. Wajar saja ada yang ingin mencelakakan."
"Tapi kau masih bisa bersikap santai..." Qiangzi menggerutu. Tiba-tiba dia berbalik menuju gua sambil menggulung lengan bajunya: "Kalau memang jahat, lebih baik Aku pukuli mereka sampai babak belur!"
Aku segera menarik lengan Qiangzi: "Ini masih sebatas tebakan. Tindakanmu justru akan membuat siluman waspada. Mari amati situasi dulu."
Wajah Qiangzi memerah marah, butuh waktu lama sampai akhirnya dia menghela nafas: "Baiklah Kak, aku akan menurutimu."
"Bagaimana bisa begini?" Aku melirik Qiangzi dengan sedikit kecemasan di mata, menarik napas dalam-dalam dari rokok. Untuk sementara kutahan keinginan untuk menasihatinya, lalu mengubah topik sambil setengah bercanda dan serius berkata: "Kau sekarang adalah harta karun Delapan Belas Desa Leluhur Dàwū, kenapa Dàwū yang mengawalmu kali ini pergi begitu saja?"
Sebenarnya, aku agak khawatir dengan Qiangzi. Dengan sifat cerobohnya, jika nanti benar-benar terjadi pertempuran besar, bagaimana jika dia celaka? Dalam hatiku, Qiangzi memiliki masa depan cerah yang tak boleh jatuh.
Bahkan jika aku sendiri yang mati, Qiangzi harus tetap hidup. Jadi, bukankah lebih aman jika ada beberapa Dàwū yang menjaganya?
"Oh, Begawan Budeng bilang bahwa kali ini ini adalah aksiku sendiri, tidak mewakili sikap Delapan Belas Desa Leluhur. Jadi tidak pantas para Dàwū ikut campur." Qiangzi sama sekali tidak menyembunyikan apapun dariku, menjelaskan semuanya secara detail.
Mendengar ini, kekhawatiranku bertambah sekaligus kebingunganku makin dalam. Apa sebenarnya yang Guruku katakan pada Begawan Budeng sampai dia 'menyerahkan' Qiangzi sepenuhnya bahkan mencabut pengawalnya... Dengan perasaan rumit ini, aku hanya bisa menepuk bahu Qiangzi: "Tak apa. Apapun pertarungan yang kita hadapi, aku akan selalu menjagamu."
"Kak, kau selalu merasa harus menjagaku... Sekarang, aku sangat kuat, kau percaya tidak?" Terhadap ucapanku, Qiangzi tampak tak puas. Ia melepaskan tanganku dari bahunya, lalu memelukku dengan reflek. Suaranya penuh kesombongan yang tulus.
"Aku tentu percaya kau kuat, tapi itu tak menghalangiku untuk menjagamu." Aku tersenyum berkata, namun serius. Aku sungguh percaya Qiangzi kuat. Dengan bayangan maya Taowu di belakangnya saja, potensinya sudah tak terbatas... Tapi mengingat musuh yang kami hadapi, kurasa aku tetap harus menjaganya sedikit.
"Baiklah, kau kan Kakak, semua perkataanmu benar." Qiangzi terlihat bahagia. Ini sudah kedua kalinya ia mengatakannya. Sebelum sempat kujawab, ia mulai bersemangat: "Kak, tadi saat terbangun, Dàwū Bu Deng sudah menceritakan semua hal. Belum selesai bicara, aku sudah tegas bilang: apapun hidup atau mati, aku ingin bertarung bersama kalian!"
"Bodoh." Kutegur sambil tersenyum, tapi hatiku sangat tersentuh. Ini adalah kelanjutan perasaan dari Guruku dan Sun Kui, kini berpindah ke kami berdua. Datang dengan keteguhan menghadapi hidup-mati bersama. Selain tersentuh, aku juga harus bersyukur.
Hanya saja di usia ini, aku sudah tak bisa mengungkapkannya. Satu kata "bodoh" sudah mengandung semua perasaan.
“Bagaimana bisa disebut bodoh? Kak, sebenarnya saat pingsan, aku masih punya kesadaran. Dalam kondisi setengah sadar, aku sedikit tahu kalau kakak dan Pak Jiang ingin membawaku pergi, mengajakku berjuang bersama. Saat itu aku ingin bilang, aku mau ikut... Tapi, aku tidak bisa bergerak, juga tidak bisa bicara... Pasti kalian banyak direpotkan oleh orang tua Budeng itu.” Qiangzi berkata dengan serius.
Orang tua Budeng itu? Mungkin hanya Qiangzi yang berani menyebut Dàwū Budeng dengan kurang ajar seperti itu di desa Miao Leishan.
“Tidak terlalu merepotkan kami... Hanya saja, Qiangzi, pertarungan kali ini hidup-mati sulit diprediksi. Bahkan aku sendiri tidak tahu kapan pertarungan ini akan datang, bagaimana bentuknya? Berapa banyak pihak yang terlibat, aku juga tidak tahu. Jadi...” Kataku sangat serius.
Tapi kali ini tangan Qiangzi menepuk bahuku dengan keras, “Kak, jangan lanjutkan. Sebelum turun gunung kali ini, aku sudah jadi lebih kuat. Percayalah padaku... Dan jangan katakan kata-kata sentimental, karena bisa berjuang bersama Pak Jiang adalah keinginan almarhum kakekku... Sekarang, aku sangat senang di usia muda ini sudah bisa bertarung berdampingan dengan satu-satunya murid Pak Jiang.”
