Kapan guru leluhurku mengatakan itu kepada Guruku? Kebingungan muncul dalam hatiku... Tampaknya yang lebih tidak bisa tenang adalah Kak Zhenni. Ia hampir tak terkendali mendekat, menarik lengan baju Guruku: "Kau... kau pernah... bertemu dengannya?"
"Kak Zhenni, aku hanya bisa memastikan ini maksud guru leluhurku. Tapi sebenarnya, apakah bisa dianggap aku pernah bertemu beliau, aku tak bisa jawab." Ekspresi Guruku serius.
"Apa maksudnya? Jika hari ini kau tidak menjelaskan dengan jelas, jangan bermimpi untuk memukul Genderang Permohonan ini." Kakak Sulung Jenny saat ini sama sekali tidak memiliki Aura Energi yang kuat. Menghadapi kabar tentang Guru Leluhur, untuk pertama kalinya ia bersikap seperti wanita kecil - egois, panik, namun penuh hasrat... Aku percaya bahkan jika wanita hidup sampai seribu tahun, sifatnya dalam menghadapi perasaan tidak akan berubah. Selama ada orang di hadapannya yang bisa membangkitkan emosi seperti itu, membuat perasaannya tidak terkikis oleh kehidupan, dijaga dengan hati-hati, maka ia tidak akan menyegelnya selamanya.
Aku ingin memperlakukan seorang wanita seperti ini, hanya saja...
Isi hatiku mulai linglung lagi. Di depan mataku, selain muncul sosok Ruxue, tiba-tiba ada bayangan yang tumpang tindih - Wei Chaoyu. Gambar dua sosok yang berpelukan di tebing sepi di bawah langit berbintang itu seperti terukir dalam kekuatan jiwa, bertumpuk dengan pemandangan senja di kamar itu saat aku berjalan mendekat dan menyisir rambut indah Ruxue, helainya menggesek pipiku.
Aku tidak berani melanjutkan pikiran ini. Betapa mengerikannya konsekuensinya, bukan tidak kusadari. Rasanya seperti api yang membakar hingga ke keputusasaan. Jika memungkinkan, aku pasti tidak ingin mengalaminya lagi.
Tapi saat ini, kufokuskan pikiran dan kebetulan mendengar Guruku berkata: "Aku melihat roh Guru Leluhur, apakah itu bisa dianggap sebagai bertemu dengannya?"
Guruku melihat roh Guru Leluhur? Aku langsung tertegun. Kupikir hanya aku yang tahu rahasia ini, dari mulut Johnny... Bagaimana bisa Guruku?
Aku belum sempat mengurus perasaanku sendiri, sudah melihat Kak Zhenni tiba-tiba melepaskan cengkeramannya pada lengan baju Guruku, 'gres-gres' mundur beberapa langkah. Di sini adalah loteng bertangga, mundur tanpa arah seperti ini, hampir saja terjatuh dan terguling jatuh... Sesepuh Bai akhirnya turun tangan, menarik tubuh Kak Zhenni.
Kali ini dia berusaha tersenyum, tapi untuk pertama kalinya senyumannya kehilangan nuansa musim semi, hanya bisa memaksakan senyuman pahit: "Sesepuh Agung, kalau kau terguling jatuh dari tangga ini sampai tewas, bukankah itu akan jadi lelucon terbesar bagi aliran Gunung Salju kami?"
Baru sekarang Kak Zhenni sadar, melepaskan genggaman Sesepuh Bai dengan kasar, berkata bingung namun gelisah: "Jangan urusi aku!" Lalu dia seperti orang linglung merogoh seluruh tubuhnya, akhirnya mengeluarkan botol arak dari kantong celananya.
Seperti menemukan penolong, dia mulai meneguk arak dari botol itu. Kupikir mungkin ada kesalahpahaman, tapi kesalahpahaman apa? Johnny sendiri yang bilang Guru leluhurku memisahkan rohnya menjadi 6 bagian... Lalu...
Selain itu, aku juga tahu, demi menahan hukuman petir untukku, sisa roh Guru leluhurku sudah menghilang setelah mewariskan metode rahasia padaku.
‘Jika fakta kejam seperti ini kusampaikan pada Kak Zhenni, akankah Ia mencekikku sampai mati?’ Di saat seperti ini, bahkan orang bodoh pun pasti paham, Kak Zhenni benar-benar menyimpan perasaan mendalam pada Guru leluhur. Dan bentuk pengungkapan perasaan yang begitu intens seperti ini, tak lain hanyalah cinta.
Tak disangka, Guruku tiba-tiba melangkah maju menarik tangan Kak Zhenni sambil berkata: "Kak Zhenni, jangan seperti ini. Menemukan sisa roh Guru bukan berarti Beliau telah mengalami perubahan situasi, ada sebab-akibat di balik ini... Semua peluang terletak pada Cheng Yi. Karena itu, drum permohonan ini harus dipukul oleh Cheng Yi."
‘Klang!’ Botol arak besi di tangan Kak Zhenni terjatuh. Ia menatap Guruku, pupil matanya yang sebelumnya layu tiba-tiba mulai dipenuhi kembali bintik-bintik vitalitas. Ia menggenggam erat lengan Guruku, seolah berbicara padanya namun juga pada dirinya sendiri: "Bertahun-tahun ini, aku banyak menonton film sebagai cermin kehidupan manusia. Semakin sering kulihat, semakin kusadari ikatan perasaan itu bagai sabuk pengaman di gerbong kereta - semakin kau tarik kasar, semakin kaku tak bergerak... Tapi bagaimana mungkin orang yang terluka dan meronta tak berusaha keras melepaskan diri?"
Ucapan ini terdengar agak aneh bagiku, karena bagaimanapun juga aku merasa tidak seharusnya diungkapkan oleh Kak Zhenni di saat seperti ini. Tapi apa yang mustahil di dunia ini? Guru leluhur yang selama ini kusakralkan seperti dewa, pada akhirnya di detik ini juga terjatuh ke dunia fana. Untuk pertama kalinya aku merasakan kehidupannya yang penuh dengan tujuh emosi dan enam keinginan, menjadikannya manusia yang utuh.
"Para pria keturunan Lao Li memang ahli dalam keintiman samar-samar. Jika tak sanggup memikul hubungan ini, lebih baik lepaskan. Mengapa harus berpura-pura penuh kasih dan kebajikan? Dari generasi guru leluhur kalian, pasti semuanya seperti ini kan? Memang yang sejenis berkumpul, manusia berkelompok... Sebaik apa bisa? Tapi di dunia ini ada tipe pria yang tak boleh kau benci. Dia selalu punya prinsipnya sendiri dalam meninggalkanmu! Seperti Xiao Chengqian, jalan Tao-nya telah menguburkan semangat muda Ling Qing bertahun-tahun. Sepertimu, Chen Cheng Yi, melepaskan identitas ini? Bukankah kau dan Ruxue sudah seperti dewa yang hidup bahagia? Tapi mereka tidak membencimu, karena kalian lebih menderita daripada mereka... Aku juga sama, tak sanggup membenci Lao Li itu. Saat itu dengan tegas dia berkata 'Aku punya jalanku sendiri', lalu berbalik pergi... Aku masih di sini menanti kabar baiknya, menjaga murid-murid keturunannya. Baru saja ketika kukira dia benar-benar musnah, rasanya aku sendiri seperti mati. Sungguh, pria-pria keturunan Lao Li ini... Dari mana Lao Li menemukan murid-murid seperti kalian?" Suara Kak Zhenni mulai serak.
Pertama kali, aku baru pertama kali melihat Kak Zhenni menitikkan air mata, hanya setetes, mengalir dari sudut mata ke pipi, lalu dihapus dengan cepat. Prosesnya hanya dua tiga detik, dan Kak Zhenni sudah pulih.
Pada saat ini, kulihat Guruku memandang Nenek Ling Qing dengan kesakitan, sementara Nenek Ling Qing membalas dengan pandangan lembut yang tenang dan teguh, seperti sedang membujuk anak kecil.
Jantungku mulai terasa perih. Tatapanku kosong. Ke mana harus kulihat? Bisakah kulihat sosok yang kuinginkan? Sebenarnya, daripada menyalahkan takdir, lebih baik aku menyalahkan diri sendiri yang tak pernah berpikir untuk meraih... Ruxue lebih tepat disebut tak kumiliki karena aku sendiri yang tak pernah berusaha meraihnya, bukan karena takdir tak memberikannya.
Suasana saat itu terasa menyedihkan. Kak Cheng Xin berbisik di telingaku: "Aku juga pria keturunan Lao Li. Tapi menurutmu, apakah aku ikut terseret karena hubunganmu dengan Paman Jiang? Waktu itu aku sangat tegas, yang tak tegas justru wanita bernama Shen Xing itu."
"Ya kan? Jika mencintainya membuatmu melepas identitas anggota seperguruan, apa kau masih bisa tegas?" Aku berbisik.
Ekspresi wajah Kak Cheng Xin menjadi muram. Ia menatapku dan berkata: "Baiklah, aku tiba-tiba mengerti perasaannya."
Saat itu, dengan reflek kulihat ke Kak Cheng Qing. Jika ada yang belum terbelenggu oleh cinta, mungkin hanya dia. Tapi tak kusangka tatapannya melayang ke Chengyuan. Ketika Chengyuan menatap balik, dia malah menghindar dengan rasa bersalah.
"Aku tiba-tiba seperti mengerti sesuatu?" Hati ini kembali terasa berat, keturunan Lao Li tidak pernah menyebut apakah saudara seperguruan boleh bersatu, tapi Paman Li dan adik seperguruan...juga tidak bersatu. Bagaimanapun aturan etika seperti ini dilarang oleh sebagian besar sekte praktisi spiritual. Apakah ini sebuah reinkarnasi lagi? Juga menjadi insan penuh derita?
Bukankah tempaan di dunia fana ini terlalu kejam?
Tapi di saat ini, Kak Zhenni yang sudah pulih tiba-tiba bersuara. Ia berkata pada Guruku: "Kau bilang di balik ini ada penyebab, baiklah! Kalau begitu memang ada penyebab...Tapi Jiang Xiao Wa, aku peringatkan kau, jangan beritahu aku apapun, aku sama sekali tak mau dengar. Para pria keturunan Lao Li ini selalu berada di tempat tinggi, pahlawan-pahlawan gagah dengan cahaya menyilaukan, tapi sebenarnya kejam pada wanita. Yang berlendir-lendir seperti bubur justru yang paling kejam! Prinsip yang tak kalian pahami hanya satu: putuskan saat harus memutuskan!"
"Kak Zhenni..." Guruku sejenak tak tahu harus berkata apa.
Kak Zhenni kini sudah kembali pada keluwesannya. "Tak perlu dijelaskan. Setelah putus dengan cara berlendir-lendir, pasti dia akan menempuh jalan heroiknya. Penyebab ini mungkin tak ada hubungannya denganku. Buat apa mendengarnya? Ayo, pergi pukul genderang permohonan itu. Tadi kau bilang, Cheng Yi yang akan memukulnya?"
"Ah." Saat itu aku spontan mengeluarkan suara 'Ah', karena baru teringat: mengapa aku yang menjadi kunci dalam keterkejutan tadi? Mengapa genderang permohonan harus dipukul oleh junior sepertiku?
“Ya.” Setelah Kak Zhenni menolak keras permintaan Guruku, Guruku pun tak lagi membicarakan tentang Guru leluhur. Beliau kembali ke realitas dari fragmen emosional tadi.
Kak Zhenni melirik Guruku, kemudian menatapku. Tanpa berkata-kata, dia mengajak kami menuju puncak tertinggi pintu gerbang gunung ini. Di sanalah Drum Permohonan berada.
Jarak ke puncak sebenarnya tak terlalu jauh. Dengan langkah cepat dan hening, tak lama kemudian kami semua sudah berkumpul di platform kecil di puncak pintu gerbang gunung.
Platform yang luas ini tiba-tiba dipadati kerumunan, namun tak mampu mengaburkan aura khidmat Drum Permohonan di tengahnya. Tiba-tiba Kak Zhenni berteriak ke arah gua di belakang platform: "Tuan Gerbang, Chen Cheng Yi dari keturunan Lao Li akan memukul Drum Permohonan aliran Gunung Salju kami. Izinkan?"
Setelah teriakan Kak Zhenni, gua itu sunyi bagai kematian. Sekitar setengah menit kemudian, suara tak acuh terdengar melayang dari dalam: "Diizinkan!"
Begitu suara itu lenyap, Kak Zhenni berjalan ke mulut gua. Dari sisi pintu masuk, dia mengambil pemukul genderang yang tampak sangat kuno, lalu menghampiriku...
