Melihat sisa roh naga sejati terjatuh ke tanah, aku tak bisa menghindari kekhawatiran. Apakah ini pertanda kegagalannya? Tiba-tiba terdengar suara Guru leluhur yang cemas: "Kau telah melewati tahap tersulit fusi awal. Meski hal-hal berikutnya tak mudah, kuharap kau berhasil."
Ternyata begitu... Kehendak tegangku perlahan mengendur. Saat itu juga, Guru leluhur akhirnya menoleh ke arah Dao Tongzi yang tergeletak.
Awalnya tatapan Guru leluhur lembut, mulutnya terbuka hendak mengatakan sesuatu padaku. Tapi saat memandang Dao Tongzi, perlahan tatapannya berubah menjadi lebih tajam dan serius... Merasakan tekanan dari pandangan Guru leluhurku, Dao Tongzi tak lagi tergeletak. Perlahan ia bangkit, memandang dengan tatapan dingin dan tenang yang menjadi kebiasaannya.
“Kau, bukan Cheng Yi.” Setelah saling berhadapan selama beberapa detik, Guru leluhur tiba-tiba menatap Dao Tongzi dan berkata.
“Aku memang bukan dia.” Jawaban Dao Tongzi juga tegas.
“Aku merasakan kehendak Cheng Yi masih ada di dalam tubuh ini... Aku tidak ingin turun tangan memaksa mengeluarkanmu. Uruslah sendiri.” Suara Guru leluhur perlahan menjadi dingin, tapi hatiku justru tersentuh. Meski beliau tidak sepenuhnya paham situasinya, rasa perhatiannya padaku tulus adanya.
“Haha, seandainya bisa, baik aku maupun Chen Cheng Yi tidak ingin menghadapi jebakan seperti ini. Sebenarnya aku malas berdebat denganmu, lebih baik Chen Cheng Yi yang muncul untuk menjelaskan situasinya? Tapi, aku sudah berjanji memberinya tiga hari untuk kehendak penuh mengucapkan perpisahan terakhir pada ikatan dunianya. Jadi kita tidak boleh buang waktu di sini.” Dao Tongzi yang selalu angkuh ini juga malas menjelaskan secara rinci pada Guru leluhurku.
Aku bisa merasakan pikirannya. Karena sikap Guru leluhurku padanya tidak sopan, maka dia...
Secara logika, menghadapi penjelasan Dao Tongzi, orang biasa pasti akan murka. Apalagi saat orang terdekatnya dalam bahaya, musuh justru melakukan provokasi seperti ini.
Tapi siapa Guru leluhurku? Lao Li yang tak pernah biasa dalam hatiku - menghadapi ucapan Dao Tongzi, alih-alih meledak marah, justru menjadi tenang dan mulai mengamati Dao Tongzi dengan saksama.
Awalnya karena kendurnya belenggu, aku bisa berkomunikasi dengan Dao Tongzi dengan cukup bebas. Saat ini, aku tak bisa lagi diam. Aku berkata pada Dao Tongzi: "Aku tak bisa menguasai tubuhku sendiri, jadi juga tak bisa bicara apapun pada Guru Leluhur. Tapi guru leluhurku bukanlah tipe orang yang tak mau mendengarkan alasan. Ceritakan situasi konkret ini padanya."
Dao Tongzi tak menjawabku... Aku tiba-tiba merasakan kepedihan dari hati Dao Tongzi. Perasaan itu seperti: Jika Yang Mulia ada di sini, mana mungkin dia sampai diperlakukan seperti ini.
Sejujurnya, saat merasakan emosi Dao Tongzi ini, aku agak terkejut... Tak kusangka Dao Tongzi memiliki sisi rapuh bahkan agak naif seperti ini. Mirip perasaan anak kecil yang melihat orang tua temannya melindungi anaknya, lalu diam-diam berharap: "Andai Ayah Ibu ku ada di sini."
Perasaan ini sebenarnya sangat murni seperti hati anak kecil. Meski kaget, aku tiba-tiba merasa memahami Dao Tongzi. Karena sepanjang perjalanan ini, aliran keturunan Lao Li telah berkali-kali menghadapi situasi tanpa perlindungan anggota seperguruan, itu sangat kumengerti.
Awalnya ingin membujuk Dao Tongzi, tapi karena terpengaruh perasaan ini, aku pun terdiam... Tak kusadari, emosi kami semakin menyatu, sensasi kami semakin mirip. Itu adalah hubungan yang lebih dalam dari saudara kembar sekalipun.
Dalam hening ini, Guru leluhur seolah melihat sesuatu. Beliau yang biasanya terkesan lebih tenang dan damai tiba-tiba mengeluarkan suara "Ah" perlahan.
Suara ini menyadarkan aku dan Dao Tongzi dari perasaan menyedihkan tanpa alasan. Dao Tongzi kembali menatap Guru leluhur, namun melihat beliau tiba-tiba memberi hormat dengan gerakan kepalan tangan lalu membungkuk.
Seluruh gerakan ini terlihat sangat alami tanpa sedikit pun kemunafikan, namun membuat Dao Tongzi mengerutkan alis heran... Adat Taoisme tetap sama di mana-mana, sangat menekankan tata krama senioritas. Sehebat apa pun Dao Tongzi, tingkat generasinya tak bisa dibandingkan dengan guru leluhurku. Guru leluhur tiba-tiba bersikap seperti ini padanya, wajar jika dia terkejut.
"Ternyata begini keadaannya, aku salah menuduhmu. Peristiwa penghalang reinkarnasi yang tertembus ini," kata Guru leluhur sambil memandang Dao Tongzi dengan penuh belas kasihan, "Seperti katamu, mungkin kau dan Cheng Yi sama-sama enggan menghadapi... Dari sudut tertentu, kalian adalah satu tapi juga bukan... Ini mungkin..." Beliau terdiam sejenak, "Aku Li Yiguang seumur hidup demi tanggung jawabku, merencanakan segala langkah. Bisa dibilang menghitung langit, bumi, bahkan takdirku sendiri... Tapi tak terhitung bahwa cucu muridku harus menghadapi takdir seperti ini... Baru bisa masuk ke dalam strategi besar yang kubuat."
Di sini, Guru leluhur yang jarang menghela napas tiba-tiba terdiam... Desahan penuh kesepian yang dalam ini bahkan dirasakan oleh semua entitas di dalam gua, termasuk sisa roh naga yang sedang menyatukan kehendaknya, yang bergerak perlahan.
Saat Guru leluhur diam, aku dan Dao Tongzi semakin bingung harus berkata apa... Terpengaruh kesepian itu, hati kami pun tergerak oleh kenyataan takdir yang begitu kejam. Adakah manusia lain di dunia fana seperti ini? Kehidupan lampau dan sekarang mendiami satu tubuh.
"Pertempuran besar akan dihadapi, namun takdir kalian pun tak bisa kuprediksi... Akhir dari jebakan ini pun tak kuketahui. Cheng Yi, kudengar kau bisa mendengar: Pesanku untukmu adalah jangan pernah menyerah pada dirimu sendiri... Sedangkan untuk kehidupan lampaumu, Dao Tongzi, inilah saatnya kau menghadapi dan mengakui. Jangan sampai kau tersesat ke jalan ekstrem." Setelah berkata demikian, Guru leluhur benar-benar hening... Hanya memandang roh naga yang sedang menyatu dengan wajah penuh kekhawatiran.
Gua kembali sunyi... Yang ditunggu hanyalah hasil akhir penyatuan roh naga. Dao Tongzi yang menguasai tubuhku memilih meditasi... Namun hatiku merasa aneh: Walau Guru leluhur ada di depan mata, aku tak bisa mengungkapkan isi hati atau mendekatinya. Penghalangnya adalah sekat kehendak dari dua kehidupan.
Waktu mengalir dalam kesunyian yang terasa aneh ini... Kehendakku tanpa alasan jelas kembali terbenam dalam keheningan, belenggu yang sempat longgar akibat pertikaian dengan Dao Tongzi kini kembali mengencang seperti catutan besi yang kejam.
Kurasakan ini adalah takdirku yang tak bisa dilawan, maka kumasuki lagi kondisi setengah sadar itu. Di telinga terdengar helaan napas Guru Leluhur, lalu senyap...
Di dalam gua sulit menghitung waktu secara konkret, lagipula Dao Tongzi tak peduli. Seperti biksu yang samadi, entah kapan ia akan bangun... Selain helaan napas itu, Guru Leluhur pun tak bersuara. Saat kukira keheningan ini akan abadi... tiba-tiba terdengar raungan Naga jernih menggema di gua.
"Oke!" Kudengar Guru Leluhur di sampingku berseru bersemangat. Dao Tongzi pun terbangun dari samadi, membuka mata menyaksikan sisa roh Naga sejati yang agung berputar-putar di langit-langit gua.
Kini... sisa roh Naga itu tak lagi memiliki tatapan bingung. Ia telah pulih ke kejernihan, kenangan yang mengharukan, dan keagungan layaknya Naga sejati... Sekilas pandang saja dari matanya membuat orang ingin bersujud tanpa batas. Inilah Naga sejati yang sesungguhnya...
Dibanding sebelumnya, sisa roh naga sejati ini telah menyusut banyak. Pastinya karena memiliki kehendak sendiri, tidak ingin lagi mencolok secara berlebihan. Ditemani oleh angin bertiup kencang dan awan bergulung, kilat menyambar-nyambar... Meski begitu, seekor naga sejati yang memiliki kemauan sendiri tetap terlihat jauh lebih agung dibanding naga dengan kehendak pecahan sebelumnya.
"Hahaha... Bagus, sangat bagus..." Guru leluhur tidak bisa menahan kegembiraan di hatinya. Tiba-tiba ia melayang dan berdiri di samping sisa roh naga di gua. Sisa roh naga itu pun bergembira sambil melompat-lompat mengelilingi guru leluhurku.
"Ini masih belum cukup... Karena kau sudah benar-benar bangun, aku akan membantumu lebih jauh agar kau menjadi lebih lengkap... Nanti, kita akan bertarung bersama lagi dengan penuh semangat." Suara guru leluhur penuh semangat kepahlawanan, membuat hatiku mendidih dan bergejolak.
Tapi jika pertempuran besar itu terjadi, yang seharusnya bertarung adalah Dao Tongzi? Memikirkan ini... Hatiku tiba-tiba merasa suram tanpa alasan jelas.
Tapi baik aku maupun Dao Tongzi tidak menyangka, setelah mengucapkan kata-kata itu, guru leluhur memandang kami dengan penuh makna. Tiba-tiba rohnya melayang dengan kecepatan tak wajar ke arah kami... Sebelum sempat bereaksi, dia sudah menembus masuk ke dalam tubuhku.
Aku membeku seketika. Bisakah situasi ini jadi lebih rumit? Aku, Dao Tongzi, guru leluhur... Apakah kami harus memiliki tiga kehendak dalam satu tubuh yang sama?
