Mengapa Jalan Tao tak stabil? Saat ini, masih perlukah jawaban? Pada momen ini, Dao Tongzi yang tersadar seolah telah menangkap sesuatu.
Ruangan sunyi, hanya ada jam pasir yang berdesir halus, menandai berlalunya waktu... Dari jam pasir itu, sekilas terlihat jelas angka yang menunjukkan Dao Tongzi telah berdiri di depan jendela ini selama satu shichen... Dan selama satu shichen itu, setiap fen setiap miao, yang dipikirkan hanyalah Wei Chaoyu.
"Wei Chaoyu, rupanya ketidakstabilan Jalan Tao-ku semua karena kau." Ekspresi wajah Dao Tongzi tiba-tiba berubah, tanpa alasan jelas ia menyesap sudut bibir dan mengerutkan alis.
Dalam perjalanan mengejar Tao, mana mungkin ia tak tahu bahwa Jalan Suci tidak memihak... Yang harus diputus tuntas di sepanjang jalan adalah berbagai nafsu, yang harus ditanggalkan adalah segala jenis emosi... Pada dasarnya puncak Tao adalah aturan Langit yang mutlak, demikianlah cara manusia mengejarnya.
Berbagai ikatan emosional itu hanyalah hasil belitan karma, mana mungkin pencari Tao sengaja mengotori diri dengan karma?
Rupanya, alasan Yang Mulia kecewa padaku adalah ini... Dao Tongzi sepertinya cepat memahami segalanya, tapi ia tak bisa mendengar hela nafasku... Karena ini mengingatkanku pada ajaran Guru Leluhur untuk keturunan Lao Li: "Tak pernah memegang, mana mungkin melepaskan?"
Tak merasakan ribuan rasa dalam hidup, langkah demi langkah melunasi karma? Lalu bagaimana bisa bicara tentang pelepasan? Dasar pelepasan setidaknya adalah ketiadaan penyesalan, setelah tak ada penyesalan baru bisa melihat jernih, setelah melihat jernih baru bisa melepaskan dengan lapang... Mengembalikan kedamaian dalam diri.
Sedangkan maksud Dao Tongzi adalah memaksa diri untuk melepaskan, mana itu disebut pelepasan? Bersama atau tidak, bertemu atau tidak hanyalah bentuk lahir... Yang ada dalam hatilah esensinya, lepas atau tidak bergantung pada hati, seperti tersenyum atau tidak, juga ada dalam SEGENAP HATI.
Sayang hela nafasku tak terdengar oleh Dao Tongzi, pikiranku pun mustahil diketahui... Semua di sini bagai mimpiku, aku berdiri dalam 'penglihatan spiritual' yang mengalami sekaligus mengamati segalanya.
Tapi mimpi ini seolah berlangsung lebih panjang... Sejak hari itu, ketika kerinduan di depan jendela bermula, waktu terasa berjalan sangat lambat namun juga begitu cepat... Aku yang mengamati dari sudut pandang orang ketiga, bagai sedang membalik halaman buku, tanpa sadar telah membalik satu demi satu halaman.
Setiap hari aku 'menemani' Dao Tongzi bangun pagi, tidur larut... Bertapa, mempelajari... Kehidupan sehari-hari yang begitu teratur namun 'membosankan', tampak normal, tapi tak ada yang lebih kusadari selain siluet kesepian yang berdiri di depan jendela pada banyak malam sunyi, terpaku tanpa menyadari derasnya waktu.
Berapa lama kehidupan seperti ini berlangsung? Dao Tongzi tampak tak menyadarinya, namun aku tahu pasti... Sudah genap tiga bulan.
Menurut perjanjiannya dengan Wei Chaoyu, seharusnya ada minimal enam pertemuan dalam tiga bulan ini... Dao Tongzi sama sekali tidak memenuhi satupun... Latihan spiritual di gunung tak mengenal waktu, itu berlaku ketika hati tak terbelenggu, tapi saat ada keinginan di dalam hati, setiap hari terasa begitu menyiksa.
Seiring waktu, pegunungan semakin menghijau, berbagai bunga di halaman Dao Tongzi yang dirawat petugas kebun mekar bergantian... Bagai reinkarnasi yang mencapai puncak keindahan, dan di pagi berhujan ini, hati Dao Tongzi pun mencapai puncak gejolak perasaan.
Emosi ini terlalu kompleks untuk diungkapkan dengan satu kata sederhana... Kerinduan, rasa sakit di hati, kecemasan, keinginan... Berbagai rasa bercampur-aduk, bahkan dewa sekalipun bisa dibuat gila karenanya.
Dalam siksaan ini, Dao Tongzi tak lagi bisa tinggal tenang di pintu gerbang gunung... Di bawah rintik-rintik hujan, akhirnya setelah tiga bulan, untuk pertama kalinya ia melangkah keluar dari pintu gerbang.
Hanya ingin berjalan-jalan di gunung... Begitulah Dao Tongzi menghibur diri. Tapi yang sengaja dilupakannya adalah hari ini adalah hari pertemuan dengan Wei Chaoyu... Dan 'jalan-jalan santai' itu tanpa sadar mengarah ke lokasi pertemuan mereka.
Pemandangan gunung masih sama, tapi dalam rintik hujan, terlihat lebih mempesona. Dalam hujan, segala keresahan mudah bergolak... Terbungkus perasaan seperti inilah Dao Tongzi berjalan linglung menuju tempat janji.
Tebing terpencil di puncak gunung... Di sana tak ada penghalang. Dari kejauhan... Dao Tongzi melihat siluet putih berkibar-kibar. Ia tak memandang jalan setapak, tapi terpaku menatap pemandangan di luar tebing, entah dalam pikiran apa.
Saat ini, aku tak bisa mengerti pikiran Dao Tongzi... Hanya melihatnya tiba-tiba berhenti. Jubah birunya basah kuyup, siluetnya terlihat letih dan kesepian... Juga melihat sosok di tebing itu penuh kegelisahan...
Dua siluet nyaris tumpang tindih di mataku... Hanya menggoreskan penderitaan dari satu karakter 'cinta'.
Wei Chaoyu tidak menoleh ke belakang. Mungkin kekecewaan yang berulang kali ditunggu membuatnya tak lagi percaya bisa menanti Dao Tongzi kali ini... Sementara Dao Tongzi juga tidak menghampiri. Ia hanya memandang siluet Wei Chaoyu dari kejauhan sejenak, lalu berbalik pergi dengan tegas.
Saat itu, hujan di langit seolah semakin deras... Bertemu namun tak saling mengenal, sedekat langit dan bumi... Inikah jarak terjauh di dunia fana? Begitu jauh hingga hujan langit pun ikut menghela napas sedih?
Setelah pandangan jarak jauh dalam hujan ini, hari-hari Dao Tongzi tampak kembali normal... Hanya aku yang tahu, setiap hari perjanjian tiba, ia pasti keluar dari pintu gerbang gunung. Kebiasaannya menipu diri sendiri: hari itu hanya pergi jalan-jalan melepas penat, lalu tanpa sadar melangkah ke tempat perjanjian.
Wei Chaoyu tak pernah sekalipun mengecewakan Dao Tongzi. Di setiap tempat perjanjian, Dao Tongzi selalu melihat siluem putihnya yang kesepian... Namun setiap kali, ia hanya melirik dari kejauhan lalu pergi.
Tiga bulan berlalu dalam kebiasaan ini... Cuaca semakin panas, perasaan Dao Tongzi bagai udara yang kian menyengat, makin dilanda kegelisahan... Ia tampak seperti hunpo tidak lengkap. Jangankan mempelajari sihir seperti dulu, kini bahkan ritual pagi dan sore pun mulai tak didengarnya.
Hari ini tidak berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Dao Tongzi seperti biasa dalam keadaan hunpo tidak lengkap. Baru saja menyelesaikan ritual pagi, ia berjalan langkah demi langkah menuju rumah kecil berpagarnya.
Yang tak disadarinya, baju hijau yang dikenaknya sudah tiga hari tidak diganti. Bagi sosok yang biasanya sangat teliti dengan setiap kebiasaannya yang teratur seperti diatur mesin, ini benar-benar sesuatu yang tak wajar.
Namun saat tiba di depan pintu rumah kecilnya, Dao Tongzi terpaksa berhenti... Ia membeku memandang ke depan, lalu secara reflek berseru: "Yang Mulia."
Aku bisa merasakan perasaan Dao Tongzi terhadap Yang Mulia - kerinduan seperti pada seorang ayah, disertai rasa hormat yang mendalam pada mentornya... Emosi ini setara dengan perasaanku terhadap Guruku. Maka ketika melihat lagi ekspresi kekecewaan Yang Mulia, aku benar-benar memahami betapa peliknya perasaan itu.
Yang aneh bagiku, sosok Yang Mulia ini sudah kulihat berkali-kali, tapi wajahnya tetap samar... Bahkan auranya pun tak bisa kurasakan. Keberadaannya di sana terasa selaras dengan alam, seperti batu bata atau rumput yang memang seharusnya ada di tempat itu - seolah ia tak memiliki napas kehidupan sama sekali.
Sebodoh-bodohnya aku, aku tahu itu adalah keadaan meditasi tingkat tinggi... Bahkan Wu Tian, ahli terhebat yang pernah kulihat semasa hidupnya, takkan mampu menyaingi! Meski Wu Tian juga bisa menyatu dengan alam semesta, tekanannya masih terasa - tidak seluwes dan senatural ini.
"Cheng Dao, Jalan Tao-mu semakin tidak stabil. Belum juga kau temukan alasan di baliknya?" Suara Yang Mulia memiliki rasa sejuk dan elegan seperti aliran air di pegunungan tinggi... Justru karena kesan alaminya yang demikian, orang tak sadar akan menganggap ucapannya sebagai kebenaran sejati.
"Kupikir aku sudah memahaminya." Dao Tongzi kembali teringat pada Wei Chaoyu, kepahitan tak terelakkan di hatinya. Namun dengan sikap khidmat, ia tetap membungkuk hormat sambil berkata, "Yang Mulia."
"Khawatirnya kau yang terjebak dalam pusarannya hanya melihat kulit luarnya. Ketahuilah, karma berasal dari hukum Alam Semesta. Bahkan aku tak bisa ikut campur. Hanya dengan menemukan esensi sejati melalui pengalamanmu sendiri, barulah sanggup kau lepaskan sebab-akibat ini. Kembalikan kemurnian hati nurani, teguhkan Jalan Tao-mu. Jangan sampai kau menyimpang ke jalan sesat." Yang Mulia tak sedikitpun menyalahkan Dao Tongzi, malah seperti guru sejati yang terus memberikan bimbingan.
Mendengar kata "jalan sesat", gejolak dalam hati Dao Tongzi semakin tak terkendali... Ia termangu bagai patung, tak tahu harus menjawab apa.
Yang Mulia memandangnya sebentar, lalu tiba-tiba menghela napas pelan. "Ini adalah bencana yang harus kau hadapi. Bila orang lain ikut campur, bisa jadi justru menjadi penyebab baru yang mempercepat karma. Sebagai gurumu yang membesarkanmu sejak kecil... Tak mungkin aku berdiam diri. Sudahlah... Kini aku pun telah menjadi bagian dari sebab ini, kelak akan kunyah sendiri konsekuensinya."
Usai berkata demikian, sosok Yang Mulia melayang pergi ditengah gema helaan napas yang menggantung di udara, enggan sirna begitu saja.
Tradisi spiritual mendengar helaan napas ini, teringat urusannya sendiri, Yang Mulia bahkan harus menanggung karma, hatinya tak bisa tenang lagi. Tak tahan lagi, ia berteriak ke punggung Yang Mulia: "Tidak, aku benar-benar sudah tahu sebab akibatnya. Guruku, dulu kau pernah bilang kalau ragu-ragu malah akan kena masalah... Aku tahu harus bagaimana."
"Semoga kau benar-benar memahami esensi ketidakstabilan Jalan Tao." Suara Yang Mulia tak terlihat, namun ucapannya melayang mendekat.
Dao Tongzi yang berdiri di pintu rumah kecil berpagarnya tertegun, tinju tersembunyi dalam lengan baju perlahan terkepal... Besok adalah hari lain yang telah ia sepakati dengan Wei Chaoyu... Jika penyebab hubungan mereka adalah kesalahannya sendiri, maka biarlah dia yang memutuskan konsekuensinya.
