Sepanjang hidup manusia selalu ada kenangan yang tak ingin dihadapi. Banyak atau sedikit tak ada polanya, tapi coba tilik hati nurani, bukankah setidaknya ada satu momen yang benar-benar tak ingin diingat?
Kuyakin saat ini adalah kenangan paling tak ingin dihadapi Dao Tongzi... Meskipun ini kedua kalinya aku menyaksikan adegan ini.
Puncak gunung, tebing sepi, dalam kabut... Pipi tertutup kain... Mata yang berubah dari sukacita menjadi keputusasaan.
"Kukira kau akan menghilang selamanya, tak kusangka kau benar-benar datang?"
"Apa kau marah karena terakhir kali aku tiba-tiba pergi? Masak sih boleh marah?"
"Kalau kau tak datang, aku sudah memutuskan untuk terus menanti di sini... Sudah kuduga kau pasti akan datang."
“Kenapa kau diam? Apa kau tak senang aku memakai kerudung lagi? Benar, dulu kau pernah bilang, yang tak tertembus adalah hati manusia, bukan wajah. Buat apa pakai kerudung? Jangan marah, hanya selainmu, aku tak ingin ada orang asing lain yang melihat rupaku.”
Dao Tongzi berhenti sekitar 10 meter dari Wei Chaoyu. Angin di tebing sepi menerpa baju keduanya hingga berkibar... Juga menerbangkan kerudung putih salju Wei Chaoyu, memperlihatkan sudut bibirnya yang tersenyum di balik kain.
Apapun ekspresi orang di hadapannya, diam atau bicara... Kedatangannya ke sini sudah menjadi hal yang membahagiakan. Wei Chaoyu bukan tipe yang pandai menyembunyikan perasaan. Menangis ya menangis, tersenyum ya tersenyum... Selalu begitu.
Ia terus bicara tak henti, bagai letusan gunung api yang lama terpendam... Gunung api cinta ini memang ada di hati Dao Tongzi, juga di hati Wei Chaoyu. Pertemuan mereka kali ini hanya memicunya kembali.
Kalau tidak, mengapa Wei Chaoyu begitu bersemangat? Dan mengapa kuku di tangan Dao Tongzi yang tersembunyi dalam lengan nyaris menusuk telapaknya?
Satu penuh sukacita, satu penuh kepedihan... Semua berawal dari sehuruf 'cinta'... Aku sebenarnya tak ingin menyaksikan ini lagi. Di kanvas kenangan yang tergambar hingga kini, sudah jelas akhir seperti apa? Aku selalu teringat Ruxue... Tapi di antara sepasang kekasih, yang lebih kejam dari perpisahan adalah saling memusnahkan.
Dao Tongzi ternyata memilih jalan ini.
10 meter, 8 meter, 5 meter... Jarak yang begitu pendek. Wei Chaoyu mendekati Dao Tongzi langkah demi langkah. Hanya sejengkal, mungkin Ia akan menyambar tubuhnya. Katanya Dia tidak suka Ia memakai kerudung. Dalam proses berjalan mendekat, Ia bahkan buru-buru melepaskan kerudungnya sendiri.
"Aku ingin bertarung ilmu denganmu." Kalimat yang sudah kuketahui... Aku ingin menutup mata dengan putus asa. Aku dan Dao Tongzi sebenarnya satu entitas. Bagaimana mungkin saat ini aku tidak tahu pikiran Dao Tongzi? Dia merasa hubungan ini adalah masalah yang dipicunya sendiri, maka cara mengakhirinya adalah dengan metode kejam ini - cukup buat kedua pihak merasakan keputusasaan yang menyayat hati.
Bertarung sekali, bukankah semua ikatan persahabatan akan lenyap?
Di momen ini, untuk pertama kalinya kurasakan kenaifan Dao Tongzi. Dalam hal cinta, Dia bahkan lebih polos dari anak kecil paling kekanak-kanakan... Mengira dua orang bertarung lalu berkhianat adalah tindakan kekanak-kanakan. Tapi yang tidak Dia pahami adalah: Anak-anak bertengkar tapi tidak menyimpan dendam, tetap bisa bermain bersama.
Kekasih mungkin lebih terluka... Tapi terkadang, meski terluka hingga mati rasa, cinta tetaplah cinta... Walau tiada kesedihan yang lebih besar daripada kematian hati, kesedikan jenis ini pasti tidak bisa muncul hanya dari sekali pertarungan.
"Jika nanti aku bertarung tanpa ampun, mungkin Ia akan putus asa padaku?" Hati Dao Tongzi terasa pahit, sakit seperti tusukan pisau yang mengoyak jantungnya... Karena Wei Chaoyu yang sedang berlari ke arahnya mendengar kalimat ini, tiba-tiba menghentikan langkah. Ia memandang Dao Tongzi dengan ekspresi tak percaya.
Pertarungan Ilmu……Konsep di sini merujuk pada metode yang dipilih oleh orang-orang dengan perseteruan tak terdamaikan. Setelah Pertarungan Ilmu, baik menang maupun kalah, umumnya mereka memilih untuk tak berhubungan lagi seumur hidup.
Mengapa Dao Tongzi yang baru datang justru ingin bertarung dengannya? Pada momen ini……seberkas duka muncul di mata Wei Chaoyu. Begitu banyak hari yang dihabiskan bersama, begitu banyak kenangan……dan malam di jurang itu dengan langit berbintang dimana kami berpelukan, apakah akhirnya hanya berujung pada pertarungan ini? Ataukah hasil yang ia inginkan adalah memutus ikatan persahabatan ini melalui Pertarungan Ilmu? Hingga tak berhubungan lagi selamanya?
Aku sungguh tak tega menyaksikan, tapi di sini……aku bahkan tak bisa menutup mata. Aku tahu apa yang akan terjadi berikutnya. Benar, akhirnya tak berubah. Dao Tongzi melangkah maju, dengan tekad tak tergoyahkan berkata: "Aku ingin bertarung ilmu denganmu."
Pada detik itu, angin menghembus awan bergulung……lapisan awan tebal menumpuk, cuaca menggelap……tapi kesedihan dari takdir langit ini, tak mampu menyaingi kepiluan ribuan tahun yang membeku di mata Wei Chaoyu saat ini.
Tubuhnya mundur dua langkah tanpa sadar……menghadapi Dao Tongzi yang tanpa ekspresi, hanya mengucapkan dua kali lembut: "Oke... Oke..."
Dao Tongzi mengira dirinya takkan sedih, Ia menyetujui... bukankah itu juga berarti ia rela memutus semua ikatan dengan dirinya? Bukankah seharusnya seperti itu? Tapi, tetap saja ada kesakitan hati dan kesedihan tanpa alasan! Selain itu, ada kemarahan yang tak terungkapkan - bagaimana bisa Ia begitu mudah mengatakan "oke"? Yang tak pernah Dao Tongzi pahami adalah, cinta berasal dari hatinya sendiri. Apapun yang Wei Chaoyu lakukan, mencintai atau tidak... semuanya tak ada hubungannya dengan perasaan dalam hatinya.
Seperti yang diramalkan Sang Yang Mulia, tanpa disadarinya ia telah menapaki jalan yang ekstrem.
Namun dalam gejolak perasaan rumit dan kemarahan tanpa sebab ini, Dao Tongzi sudah tak punya jalan mundur. Ia hanya memberi hormat dengan gerakan kepalan, lalu seketika itu juga... tangannya mulai membentuk segel tangan... Saat Dao Tongzi melakukan ini, Wei Chaoyu hanya menatapnya dengan keputusasaan. Setelah beberapa detik memandangnya dalam-dalam, jemarinya pun mulai membentuk segel tangan.
Saat air mata mengalir di wajah Wei Chaoyu... Dao Tongzi menutup matanya rapat-rapat.
Proses Pertarungan Ilmu itu tak kupunyai hati untuk menyaksikan. Mataku hanya tertuju pada awan putih yang melayang di balik gunung, kabut tebal yang menyelimuti... Menunggu akhir cerita dengan kematian rasa... Bukankah akhir Dao Tongzi adalah awal perjalananku? Sementara tatapan Dao Tongzi pada Ruxue, teriakan "Ia!" darinya - bukankah nasib Wei Chaoyu adalah permulaan kisah Ruxue?
Meski aku tak sengaja melihat... tapi setiap gerak-gerik Dao Tongzi bisa kurasakan. Dalam Pertarungan Ilmu ini, Dao Tongzi memilih ritual serangan yang ganas, sementara Wei Chaoyu hanya bertahan, membentengi diri... Tak sekalipun ia mengambil inisiatif menyerang. Air matanya tak pernah berhenti, pandangannya tak sedetik pun lepas dari Dao Tongzi.
Rasa sakit di hati ini... membuat Dao Tongzi seperti orang gila, api kemarahan tanpa alasan hampir menelannya. Ia tak mengerti harus membenci siapa? Hanya berteriak: "Kau lawan? Kenapa kau tak melawan? Kau meremehkanku? Atau tak mengerti kataku? Aku mau kau bertarung! Jika tak melawan, kita akan bertarung hidup-mati!"
Pertarungan hidup-mati!! Cara yang hanya dipilih antar musuh... Untuk pertama kalinya, mata sedih Wei Chaoyu memancarkan keputusasaan yang membuat dasar hati menggigil.
"Oke, aku akan melawan." Akhirnya, kerudungnya terlepas saat pertarungan sengit... Ia mengucapkan kalimat ini.
"Bagus..." Segel tangan Dao Tongzi tak berhenti, dalam kemarahan mutlak... Ia lupa caranya semakin ganas, bahkan aku bisa merasakan Wei Chaoyu sudah mengalami sakit dalam dan guncangan dalam pertahanannya, tapi ia tak sadar sama sekali.
Sementara Wei Chaoyu mengatakan akan membalas, segel tangannya pun mulai berubah... Keduanya sering berlatih Sihir bersama-sama, saling mengenal cara masing-masing dengan baik. Dao Tongzi langsung menyadari bahwa teknik yang digunakan Wei Chaoyu hampir merupakan jurus andalannya yang paling mematikan.
"Dia benar-benar tak lagi menunjukkan belas kasihan, mungkin lebih baik begini." Dalam kepedihan yang dahsyat, sebuah pikiran muncul di hati Dao Tongzi. Ia mengira ini adalah pembebasan... Tak disangka pikirannya justru terguncang hebat, getaran ini membuat darah segar membanjiri tenggorokannya, dipaksa ditelan dengan susah payah.
Seseorang yang sampai muntah darah karena kemarahan, terluka hingga muntah darah... Pasti bukan rekayasa. Jika belum mencapai tingkat ini, berarti kesedihan dan kemarahan belum cukup... Dao Tongzi sudah malas merenungkan hal-hal ini. Dari segi kemampuan teknis, ia lebih unggul daripada Wei Chaoyu... Ia hanya mencari ritual yang tepat untuk menetralisir jurus "paling hebat" Wei Chaoyu, lalu memberinya luka kecil sebagai pelajaran. Mungkin dengan begitu hubungan mereka akan benar-benar putus?
Tapi yang tak terpikir oleh Dao Tongzi... Jika ritual ini gagal dinetralisir, maka ilmu yang ia gunakan sekarang cukup untuk menghancurkan seorang praktisi spiritual.
Gerakan segel tangan berlangsung cepat... Dalam Pertarungan Ilmu ini, tibalah momen ritual mencapai puncaknya... Setelah menyelesaikan segel terakhir, Dao Tongzi melepaskan energinya sambil berbisik dalam hati: "Inilah akhirnya?"
Namun seketika itu juga, saat ia menatap Wei Chaoyu, tiba-tiba ia menjerit histeris penuh keputusasaan: 'TIDAK!!'
Karena senyum Wei Chaoyu pada Dao Tongzi, di detik terakhir ia secara mengejutkan melepaskan segel tangan dengan paksa. Karma balasan sihir membuatnya memuntahkan darah... Kemudian ritual Dao Tongzi menghantam dengan dahsyat.
Terlambat, semuanya sudah terlambat. Saat Dao Tongzi memeluk Wei Chaoyu erat-erat, meski menanggung sebagian kecil efek ritual, tetap saja terlambat... Wei Chaoyu terbaring di pelukan Dao Tongzi, berbisik: "Cheng Dao, tahukah kau? Ada keputusasaan bernama 'jika tak bisa bertemu lagi, jika tak bisa bersama, maka setiap hari dalam hidup akan kehilangan seluruh arti. Aku... mencintaimu sepenuh hati sejak pandangan pertama."
