Cinta... Kata yang tak pernah diucapkan Dao Tongzi dan Wei Chaoyu. Betapa indahnya kata ini, di baliknya tersirat janji seumur hidup bersama, saling menguatkan di masa sulit, berbagi kehangatan...
Tapi mengucapkan kata 'cinta' di saat seperti ini, bukankah terlalu kejam... Dao Tongzi seorang praktisi spiritual. Meski Wei Chaoyu masih bernapas dalam pelukannya, ia bisa merasakan nyawanya mengalir pergi tak tertahankan.
'Bruk!' Darah menyembur dari tenggorokan Dao Tongzi. Darah yang sebelumnya ditahannya, kini tak bisa lagi ditahan saat hatinya remuk redam.
"Darah segar menggenangi ujung jubah Dao Tongzi, bercak-bercak merah... Juga mengenai wajah Wei Chaoyu. Ia mencengkeram ujung jubahnya, lembut namun erat, bertanya: 'Kau... mencintaiku?'"
"'Ya, aku mencintaimu.' Dipeluknya perempuan itu. Di tengah pikiran kacau balau, hal yang tak pernah terpikir sebelumnya justru tampak terang benderang."
Pada detik ini, Jalan Suci seolah telah menjauh... Andai diberi pilihan lagi, Dao Tongzi bertanya pada diri sendiri: Akankah di saat pertama bertemu dengannya, ia rela melepaskan Jalan Suci yang selama ini dikejarnya, hanya untuk menghabiskan sisa hidup bersamanya?
Tapi Dao Tongzi bingung tak punya jawaban... Bagaimanapun Jalan Suci adalah pencarian seumur hidupnya. Menyuruhnya melepaskan terasa munafik. Tapi Wei Chaoyu dalam pelukannya, apakah rela ia lepaskan?
"Keterlambatanmu memanggilku batu... Kurasakan ajal mendekat, baru kau berhenti menjadi batu... Karena itu, aku membencimu." Kesadaran Wei Chaoyu mulai kabur, tangan yang mencengkeram jubah Dao Tongzi perlahan melonggar.
"Bencilah sepuasmu. Jangan bicara. Aku ingin menyelamatkanmu. Selama kau hidup... itu sudah cukup." Dao Tongji menggendong Wei Chaoyu menuruni gunung dengan langkah cepat... Suaranya gemetar. Andai masih ada harapan, itu terletak pada Yang Mulia - sosok mahakuasa dalam keyakinannya.
“Aku tak bisa hidup lagi……Aku tahu, aku hanya menyesal dalam kehidupan ini tak sempat sehari pun hidup bersamamu sebagai kekasih. Di kehidupan selanjutnya, aku ingin kau sangat sangat mencintaiku……Ingin menjalani hidup bersamamu seperti mimpi cinta yang selalu kuidamkan. Tapi aku sama sekali tak mau menemanimu seumur hidup, aku ingin kau tahu bagaimana rasanya menunggu, ingin kau tahu keputusasaan yang lebih hampa dari ketidakhadiran setelah penantian.” Tangan Wei Chaoyu perlahan melemas……Kesadarannya semakin kabur.
Dao Tongzi tersedu-sedu, ia merasakan Wei Chaoyu tak akan bertahan lama lagi. Dengan tergopoh-gopoh ia menggendong Wei Chaoyu, berlari kencang di jalan gunung……Saat ini, lapisan awan yang terkumpul tak kuasa menahan beban, butiran hujan sebesar kacang mulai jatuh……Angin bertiup……Yang tak tersapu adalah kepedihan yang tak bisa dicuci air hujan.
“Inilah caraku membencimu, tahukah kau? Di hidup ini aku tak berdaya, hanya bisa membenci di kehidupan berikut. Sedalam cinta, sedalam pula kebencian.” Wei Chaoyu yang terbaring di punggung Dao Tongzi bergumam tak karuan, di detik-detik nyawa hampir melayang ini, apa lagi yang tak bisa diucapkan?
Cinta dan benci meluap sepenuhnya pada momen ini, jika tak diungkapkan pada orang yang hendak bertarung ilmu ini, mungkin tak akan ada kesempatan lagi.
“Ah……” Di tengah hujan deras, Dao Tongzi berlari sambil mengeluarkan raungan panjang. Hanya beginilah cara untuk melampiaskan perasaannya. Bisakah dia berlari lebih cepat lagi? Sudah seluruh tenaga dalam seumur hidup dikerahkan, sayangnya dia tak bisa terbang. Dia hanyalah seorang anak pelayan biasa, belum sebanding dengan para makhluk tingkat tinggi... Setelah lebih dari dua puluh tahun belajar Tao, dirinya masih terlalu kekanak-kanakan di hadapan Jalan Suci yang maha luas, dengan cara-cara yang terbatas.
“Tapi, Cheng Dao, aku tak tahu... Tak tahu apakah cintaku lebih besar dari kebencian, atau kebencianku melebihi cinta... Meski telah menunggu begitu lama, yang kudapat hanya ucapanmu yang membuatku putus asa—ingin bertarung ilmuku denganmu. Tapi jika di kehidupan selanjutnya kau menungguku, akankah tega kubuatmu kecewa? Jika kau tetap menjadi dirimu, jika aku masih menjadi aku... Aku tak yakin bisa melakukannya?” Dalam raungan panjang Dao Tongzi, Wei Chaoyu berkata demikian.
Saat ini, Dao Tongzi sudah terlihat histeris, sementara yang ingin meratap dalam kesakitan hati adalah aku... Apa maksud Wei Chaoyu? Tentang aku dan Ruxue? Masa saling mencinta adalah pengabulan penyesalannya, lalu keengganan untuk menemani seumur hidup adalah kebenciannya... Lalu akankah penantianku ini...
Dua kehidupan terjerat beginikah? Tamatnya kisah mereka, mulainya cerita kami!
“Sejak pertama melihatmu, aku sudah menyukaimu... Masih ingat? Waktu itu kau sendirian, terlihat sangat serius. Mataku tak bisa berpaling... Di kehidupan berikutnya, akankah kau langsung menyukaiku saat bertemu?”
Ya, di kehidupan berikutnya, saat pertama melihatmu, langsung sangat menyukaimu... Sejak detik pertama memandangmu, inikah yang disebut pertemuan tak kebetulan, pandangan pertama telah menggandeng?
"Cheng Dao, aku kedinginan... Aku harus pergi... Terlalu dingin, aku hanya takut pergi sendirian. Selama ini aku selalu takut kesepian. Di kehidupan berikutnya, aku benar-benar ingin menjadi orang yang tak takut kesepian. Meski harus berjalan sendirian, aku tak ingin merasa takut."
Ya, di kehidupan berikutnya, kau benar-benar tak takut kesepian. Seorang diri menjaga desa, begitu hening hingga terasa membeku... Pada akhirnya, kau pergi dalam kesendirian. Hanya meninggalkan bayangan punggung, teriakan srr-ku yang tak berkesudahan pun tak mampu memanggilmu untuk menoleh.
Dao Tongzi berlari dalam hujan dengan air mata mengalir deras, dan pada saat ini aku ikut menangis bersamanya.
Akhirnya, Wei Chaoyu tak berkata apa-apa lagi... Tangannya terlepas dari punggung Dao Tongzi, tubuhnya tiba-tiba limbung. Air mata Dao Tongzi seakan habis terkuras di saat ini, hanya berlari dengan mati rasa, terus berlari... Perlahan, pintu gerbang gunung sudah di depan mata.
Ia tetap tak mau melepaskan tubuh Wei Chaoyu. Di depan pintu gerbang, sekali lagi ia memeluknya dalam dekapan, melangkah satu per satu menuju gerbang... Ekspresinya semakin membeku. Setiap perkataan Wei Chaoyu tak bisa ia tanggapi, juga tak tahu cara menanggapinya.
Karena bagaimana memilih... Ia pun tak mampu memilih, apalagi menanggapi cinta tulus dan mendalam dari Wei Chaoyu ini.
Sedangkan Yang Mulia, saat ini... tengah berdiri di depan pintu gerbang gunung.
Dalam derasnya hujan, Dao Tongzi yang menggendong Wei Chaoyu berhenti melangkah... Memandang Yang Mulia... Saat ini pun aku masih tak bisa melihat wajah Yang Mulia, namun bisa merasakan sejenis helaan sedih yang seolah terpancar dari tubuhnya.
“Cheng Dao, kali ini kau salah. Kau memang telah menyimpang.” Suara Yang Mulia sampai ke telinga Dao Tongzi.
Ia menatap Yang Mulia, berkata kata demi kata: "Seumur hidupku aku menghormatimu, mencintaimu, menganggapmu sebagai ayah, sebagai Guru. Katamu Jalan Tao-ku goyah... Aku harus menyelesaikannya."
"Apakah kau marah padaku?" Suara Yang Mulia seolah membawa helaan napas yang tak teruraikan.
Dao Tongzi menggendong Wei Chaoyu di pelukannya, perlahan menguatkan genggaman. Ia menatap Yang Mulia dengan sudut bibir yang terkunci keras kepala, menolak berbicara.
"Cheng Dao, dulu pernah kuceritakan sebuah cerita. Dengarkanlah baik-baik cerita ini sekali lagi, lihat apakah kau bisa memahami Jalan Tao yang ingin kusampaikan... Dahulu ada seorang yang sejak kecil sangat suka makan daging babi. Tapi di tempat mereka, orang-orang menganggap daging babi itu kotor, hanya dimakan oleh kalangan rendahan. Mereka lebih suka daging sapi karena dianggap mulia... Maka orang itu pun berpura-pura sangat menyukai daging sapi agar terlihat sama mulianya dengan orang lain, padahal diam-diam tetap makan daging babi setiap beberapa hari..." Dao Tongzi tetap diam di tempatnya. Kesedihan di hatinya sama sekali tak bisa sirna. Tapi karena kebiasaan, ia tetap mendengarkan cerita Yang Mulia - kebiasaan yang telah mendarah daging untuk selalu memperhatikan setiap kata Yang Mulia dalam situasi apapun.
Jantungku saat ini sama sedihnya dengan Dao Tongzi. Dua kehidupan yang terjerat - aku adalah dia, dia adalah aku... Maka kesedihan kami pun serupa tak terbedakan.
Tapi, aku tak mengapa Yang Mulia memilih saat ini untuk menceritakan kisah tak masuk akal. Apa hubungan daging babi atau sapi dengan kesedihan kami sekarang?
Namun Yang Mulia seolah tak melihat kesedihan kami, melanjutkan ceritanya: "Karena kekuatan omongan orang, dia juga merasa makan babi adalah hal buruk. Tapi hasrat dalam hatinya tetap ingin makan babi? Bagaimana ini bisa diubah? Dia memaksa diri untuk berpikir dan berusaha pantang babi, tapi tak sanggup... Akhirnya dengan sakit hati di siang hari dia berpura-pura sangat suka daging sapi, tiap beberapa hari diam-diam tetap makan babi. Rahasia ini hanya dijaganya sendiri. Saat itu semua orang mengira dia manusia mulia pencinta daging sapi, bahkan dirinya hampir terkecoh... Tapi kenyataannya tetaplah dia penyuka babi."
"Akhir cerita ini, aku masih ingat... Kau bilang, suatu hari nanti, orang ini secara kebetulan melihat babi hidup berguling di tumpukan kotoran. Tiba-tiba dia merasa sangat jijik, dan langsung tak mau makan daging babi lagi. Dia bingung, lalu sengaja memasak daging babi untuk dimakan. Tapi kali ini, daging itu tak semanis biasanya, malah ada bau aneh yang tak bisa dijelaskan... Sejak itu, dia benar-benar berhenti makan daging babi dan berubah jadi pemakan daging sapi. Tapi sampai sekarang, kau bisa jelaskan mengapa?" Suara Dao Tongzi penuh kesakitan, tapi cerita yang pernah disampaikan Sang Guru itu masih bisa diingatnya dalam situasi seperti ini.
"Mengapa? Waktu itu, kau menjawabku. Aku bilang inti cerita ini terletak pada pengalaman pribadi yang harus dirasakan sendiri untuk bisa berubah... Saat itu aku hanya tersenyum tanpa bicara... Sekarang bisa kuberitahu, jawabanmu waktu itu salah semua... Jawaban sebenarnya adalah: manusia hanya bisa mengikuti suara hatinya. Keputusan hati adalah SATU, pura-pura kuat takkan mengubahnya jadi DUA... Kecuali ada kesempatan untuk mencapai pencerahan, baru bisa terjadi perubahan. Cheng Dao, sekarang kau marah karena kukoreksi ketidakstabilan Jalan Tao-mu. Tapi jika kau ingin melihat cabang takdirmu, kau akan pahami bahwa hatimu sudah menulis SATU... Entah aku ingatkan atau tidak, akhirnya kau tetap menulis SATU... Kecuali kau mendapat kesempatan pencerahan." Suara Sang Guru terdengar sangat sedih. Di saat ini, kurasakan dia sedang menahan kesedihannya.
"Apa maksudnya?" Dao Tongzi tak mengerti.
“Itulah... jika aku tidak menjadi penyebab ini, konsekuensimu tetap sama! Jika kau terus menjalin hubungan dengan perempuan ini, apapun yang terjadi, berapapun waktu yang berlalu... selama hatimu belum memahami, akhir kalian akan tetap seperti ini. Kau mengambil jalan menyimpang, tapi kau sendiri tak menyadarinya. Takdirmu tak bisa kucampuri, semuanya bergantung pada pilihanmu sendiri. Sekalipun aku menghargaimu dan tak tahan untuk mengingatkan... tapi pada akhirnya kau tetap memilih jalan sesat. Jika tak percaya, ikutlah aku, mari kita lihat bersama anak sungai takdir ini.” Setelah berkata demikian, Yang Mulia menghela napas panjang.
Sementara Dao Tongzi memeluk Wei Chaoyu dengan pandangan kosong, seluruh tubuhnya terpaku. Apapun yang terjadi, berapapun waktu yang berlalu... apakah akhirnya memang selalu seperti ini?
