Ruxue jelas tak menyangka aku akan mengajukan permintaan sekuat ini. Seluruh tubuhnya kaku sejenak……Mungkin di hatinya, hubungan ini telah menjadi sebuah tabu……Dia gadis yang sangat keras kepala, begitu yakin melanjutkan hanya akan melukai, maka akan memaksa diri sendiri.
Memikirkan ini, hatiku kesakitan untuk Ruxue……Dia selalu memaksa diri seperti ini……Berjaga di desa, hingga akhirnya berjaga di Makam Naga……Berapa banyak yang telah dia tanggung? Tak lebih sedikit dariku.
Jika dulu, dengan sifatku yang bertele-tele, aku pasti akan menjaga diri untuk tidak melampaui batas saat Ruxue bersikap demikian……Tapi kini nyawaku tinggal kurang dari tiga hari, apa lagi yang perlu kuperhitungkan.
Jadi, melihat Ruxue yang terduduk lesu, tiba-tiba aku tersenyum... Tak lagi kusimpan semua perasaan dan kelembutan, kutatap Ruxue lalu terjatuh di batu keras, menepuk-nepuk sisi tubuhku, berkata pada Ruxue: "Nyawa kita sesungguhnya begitu singkat, sebulan lagi akan ada pertempuran hidup-mati... Ruxue, Cheng Yi bisa saja lenyap kapan saja, buat apa pelitkan sebuah lagu? Anggap saja aku sahabat lama atau sekutu... Tolong nyanyikan lagi untukku."
Ruxue menatapku dalam-dalam. Pada detik itu, senyumanku disambut kepedihan di hatinya. Ia tak bersuara, rupanya duduk di sampingku.
Bertahun-tahun lalu, kami sering duduk berjuang bersama seperti ini... Kini, di malam bertabur bintang yang jernih ini, saat Ia mendekat lagi, aku merasa seperti dalam mimpi... Tak ingin lagi memikirkan pertimbangan apapun, dengan alami kuletakkan tangan di pinggangnya, lalu dengan sedikit tekanan kupeluk Ia ke dalam pelukanku.
Tubuh Ruxue langsung kaku seketika, Ia berbisik: "Chen Cheng Yi, kau lupa pada perjanjian kita dulu?"
"Ruxue, jangan bergerak, biarkan seperti ini." Tak kujawab pertanyaan-Nya, hanya menatap jauh ke batas langit dan air yang menyatu, sulit membedakan antara langit bertabur bintang dan danau, kukatakan dengan suara lirih.
Tubuh Ruxue masih kaku, tapi dengan reflek tak bergerak lagi.
Aku tak peduli apa yang sedang Ia pikirkan saat ini, hanya berbisik: "Kau mungkin menganggapku lancang, mungkin menganggapku melupakan perjanjian... Yang ingin kukatakan, aku tak pernah melupakan perjanjian itu. Alasan tak melupakannya, tak lain karena tak pernah melupakan dirimu, juga tak melupakan diriku sendiri..."
Sampai di sini, suaraku tercekat... Selama bertahun-tahun mengenal Ruxue, tak pernah sekalipun aku terang-terangan mengucapkan 'aku mencintaimu' padanya. Hingga kini pun tetap tak kuasa mengatakannya, tapi kurasa Ia pasti memahami maksudku... Karena kurasakan tubuhnya gemetar halus.
Kemudian kudeteksi perlawanan kecil darinya, lalu Ia berkata: "Cheng Yi, Ingat atau lupa, konsekuensinya telah ditakdirkan. Buat apa kau bersikeras seperti ini?"
"Ruxue, bagaimana jika Chen Cheng Yi akan lenyap? Masihkah kau tega bersikukuh seperti ini? Mengapa tak biarkan aku bermimpi di akhir hayat?" Tatapku tertuju padanya, memancarkan kesedihan... Meski tak menyebut detail, kupikir tatapanku cukup menjelaskan segalanya.
"Apa yang kau omongkan? Hanya karena satu pertempuran besar, kau merasa pasti akan..." Ruxue yang biasanya dingin dan tenang, kali ini tak mampu menahan kemarahan kecil dalam tatapannya.
Kutersenyum pahit: "Entah ada pertempuran atau tidak, entah apapun itu... Biarkan aku bermimpi... Sejak kepergianmu hingga kini, aku sengaja melupakan hitungan tahun. Karena tak ingin mengingatnya... Apalagi mengungkap betapa rindunya aku pada setiap detil dirimu. Bertahun-tahun ini, ada kebencian, ada dendam... Karena kau begitu tega tak mau bertemu. Tapi ujung-ujungnya tetap mencintai... Anggap saja sebagai hadiah perpisahan, atau hiburan terakhir. Masihkah kau tega tak memberi satu mimpi pun?"
Ruxue menatapku, tiba-tiba berhenti bicara. Sebentar kemudian, ia perlahan bersandar di bahuku, persis seperti tahun-tahun silam...
"Cheng Yi, kau takkan kehilangan... tak mungkin..." Tak kusangka Ruxue langsung bersandar di bahuku. Segenap perasaan dalam hatiku tiba-tiba bergejolak, belum reda, tangannya yang dingin sudah menggenggam tanganku, berbisik lirih.
Sebelum sempat kubicara lagi... ia sudah menutup mulutku dengan jemari halus. Lalu dengan suara merdu ia mulai bernyanyi: "Semi yang setengah hangat... merangkulmu perlahan, memandangi liukan cahaya... dedaunan merah yang berhamburan ditiup angin..."
Kembali suara itu bergema di telinga. Suara yang menghantui mimpi-mimpiku selama bertahun-tahun akhirnya kudengar lagi... Tenggorokanku terasa mengganjal.
Pemandangan malam begitu mempesona... Angin malam mengusik permukaan danau, menciptakan riak-riak kecil yang berkilauan oleh pantulan bintang, indah sampai membuat orang terengah-engah... Andai bisa, kuingin waktu berhenti di detik ini, tanpa perlu esok... Tapi siapa sanggup menghentikan sang waktu?
Lagu "Liuguang Feiwu" telah usai. Di tengah panorama danau dan pegunungan ini, kami berdua masih terpaku cukup lama. Mungkin angin malam terasa dingin, tapi selama masih ada kehangatan satu sama lain, bukankah itu cukup?
Tapi sebuah mimpi, akhirnya hanyalah mimpi. Jika aku masih punya pilihan, hanya memilih untuk mengakhirinya dengan lebih aktif, mungkin hatiku tak akan sesakit ini... Awalnya ingin memberitahu Ruxue tentang Dao Tongzi dan Wei Chaoyu, karena kini terlihat Ruxue tak tahu apa-apa... Tapi akhirnya aku tak mengatakannya.
Kenangan menyakitkan di masa lalu, cukup satu orang yang mengingat dan satu yang tahu... Buat apa membuat Ruxue menderita karenanya? Bahkan saat Chen Cheng Yi menghilang, ia tak akan tahu bahwa tanda lahirku selain disebabkan indera spiritualku yang kuat, juga membawa capnya ke dunia ini.
Sambil berpikir begitu, pelan-pelan kulepaskan Ruxue dan berdiri... Berkata dengan keluwesan yang dipaksakan: "Sudah larut, Ruxue... Aku harus pulang. Terima kasih untuk Liuguang Feiwu-mu. Mimpi ini indah, setidaknya dalam mimpi selain cahaya bintang, hanya ada dirimu. Angin malam dingin, jangan berlama-lama di sini."
Setelah mengucapkan itu, aku berbalik pergi... Nyawa hanya tersisa tiga hari, mungkin bisa membuatku sedikit kurang ajar. Tapi kekurangajaranku bukan berarti ingin memberi Ruxue kesedihan seumur hidup. Jika ia menyadari sesuatu, orang yang paling mungkin menemukan Dao Tongzi bukanlah aku, pastilah Ruxue.
Karena Dao Tongzi takkan pernah menatap Ruxue sambil tersenyum kekanakan seperti ini.
Tapi setiap dua langkahku, lengan bajuku tiba-tiba ditarik... Kubalik badan, melihat Ruxue yang menarik lenganku. Tak mengerti maksudnya, kutanya: "Ruxue...?"
Tapi ia diam seribu bahasa, tiba-tiba menghantam dadaku dan memelukku erat-erat.
Aku terdiam kaku, beberapa detik kemudian baru sempat bereaksi, lalu memeluknya erat-erat... Ia tak mengangkat kepala, hanya menunduk dalam pelukanku sambil berbisik, "Cheng Yi, masa-masa di Makam Naga tak mengenal waktu, karena hidup yang dingin dan sepi ini... Aku tak pernah menyesal, tapi tetap butuh pegangan. Yang selalu menopangku adalah keberadaanmu. Mungkin sikapku yang keras telah memisahkan kita, sebab kenyataannya, bahkan jika aku tak bersikeras, kita sudah ditakdirkan berpisah... Begitu masuk Makam Naga, aku telah meninggalkan dunia fana. Bagaimana mungkin aku memberatkanmu?"
"Ruxue." Tak tahu harus berkata apa, kupererat lagi pelukanku.
"Cheng Yi, aku tak berani menemuimu... Tapi, kau tak boleh tiada! Seperti kataku tadi, keberadaanmulah penyanggahku... Cukup dengan membayangkanmu hidup di sudut dunia fana ini, aku merasa diberi keberanian. Jadi jangan pernah lagi kau ucapkan 'Chen Cheng Yi jika tiada'." Suara Ruxue lirih, meski perasaan seintens ini diungkapkannya dengan datar.
Hatiku teriris-iris. Bagaimana harus kujawab kalimat ini? Takdir seolah tak bisa dibalik... Tapi Ruxue pun tak butuh jawabanku. Diamku ini mungkin sudah dianggapnya sebagai sebuah jawaban.
Ia menatapku, tiba-tiba bibirnya menyentuh bibirku... Kurasakan air mata dinginnya. Di saat ini, tak tahan lagi kumerangkulnya erat... Lalu menciumnya balik.
Sudah bertahun-tahun berlalu. Urusan perasaan begini, bukanlah hal yang bisa dengan mudah ditekan hanya karena kesepakatan kita...
Dalam pergumulan dengan Ruxue, aku seolah melupakan waktu... Ciuman seperti ini membuat hidupku terasa sempurna sepenuhnya... Akhirnya, Ruxue perlahan mendorongku pergi, lalu berbalik pergi tanpa menoleh, hanya sepenggal kalimat yang melayang di angin: "Malam ini, juga adalah mimpiku."
Di sela bibirku, masih terasa sisa aroma Ruxue... Kutatap punggungnya tanpa memanggilnya. Aku sangat bersyukur di penghujung hidupku ia mengungkapkan perasaan dan memberiku keutuhan. Tak ada lagi yang penting, bahkan alasan mengapa ia bisa muncul dua kali tanpa alasan pun tak kuinginkan jawabannya.
Seharusnya aku tak meninggalkan kesakitan untuknya... Biarpun hari-hari di Makam Naga dingin dan sepi, jika ia tetap hidup dengan baik, itu juga menjadi hiburan bagiku.
Desiran angin membawa pergi helaan nafasku, malam telah larut.
