Dia melihat kawanan serigala bergerak... Berbondong-bondong berlari menuju arah tempatnya dan Baima berada... Dengan reflek Lushan mengencangkan perut kudanya, ingin memacu kuda untuk meninggalkan tempat ini... Jika tidak peduli pada kawanan domba, dengan mengandalkan kuda tua yang tidak terlalu kuat ini, masih ada secercah harapan untuk lolos dari kepungan serigala.
Jika tidak bisa, dia merasa dirinya akan tanpa ragu melompat turun dari kuda, mengurangi sedikit beban sang kuda, membiarkan gadis yang laksana dewi ini beserta bayi kecil yang dipeluk erat di dadanya lolos dari kepungan serigala.
Pada momen ini, Lushan merasakan nuansa heroik dalam dirinya, namun tanpa penyesalan... Bahkan dia membayangkan dirinya bertarung tangan kosong melawan kawanan serigala, lalu tubuhnya sobek-sobek dalam adegan yang mengenaskan.
Tapi dengan cara ini, sang dewi kecil ini akan mengingatnya dalam ingatan seumur hidupnya, bukan? Lushan berpikir demikian, merasakan sisa-sisa ketakutan terakhirnya telah menghilang.
Sang kuda gelisah menghentakkan kakinya... Saat Lushan hendak memacu kudanya, tiba-tiba pergelangan tangannya dicengkeram gadis itu. Seketika Lushan seperti tersambar petir, reflek ingin menarik kembali lengannya. Dia takut mencemari citra dewi dalam hatinya, tapi sang gadis justru menggenggamnya lebih erat. Ketika menoleh kembali, matanya begitu jernih: "Bukankah kita sudah sepakat untuk saling percaya?"
"Hmm." Lushan mengangguk berat. Saat itu juga kawanan serigala telah sampai di samping mereka.
“Aku pernah berpikir tak ada lagi hal di dunia ini yang bisa memberiku ketenangan hati melebihi mata Baima, tahu? Cheng Yi, dulu kukira aku telah kehilangan ketenangan hati... Sampai bertemu kalian, barulah aku menemukannya kembali. Mari kita kembali ke peristiwa saat itu... Dalam situasi berbahaya seperti itu, aku malah lupa untuk lari. Mata Baima-lah yang memberiku ketenangan luar biasa. Rasanya seakan di depan adalah jurang, asal Baima bilang itu aman, aku akan melangkah tanpa ragu.” Suara Lushan penuh keteguhan.
Saat itu, kurasakan perasaannya pada Baima bukan sekadar cinta, tapi bahkan seperti keyakinan beragama.
Bagaimana mungkin seorang anak kecil seperti Lushan kala itu memilih tidak melarikan diri, malah mempercayai gadis kecil yang mungkin lebih muda darinya, dalam kondisi genting dikepung kawanan serigala? Mendengar ini saja sudah membuatku terkejut.
Di usia belia, mungkin cinta belum dipahami... Yang jelas Baima pertama-tama memberinya keyakinan. Dialah keyakinan dalam hati Lushan.
“Lalu bagaimana?” Angin malam berhembus seolah meredakan ketegangan dalam cerita dengan sentuhan keakraban.
“Sesudahnya, haha...” Tiba-tiba Lushan tersenyum.
Kejadian berikutnya benar-benar di luar dugaan... Kawanan serigala itu justru berlari melewati mereka tanpa menyerang, malah menjauh ke arah lain. Sang serigala alpha bahkan berhenti sebentar di samping kuda tua Lushan.
Dan gadis kecil itu tiba-tiba menyerahkan bayi dalam pelukannya kepada Lushan untuk digendong... Kemudian langsung melompat turun dari kuda, berjalan menuju serigala alpha itu.
Lushan melirik bayi dalam pelukannya. Pipi bulatnya putih bersih seperti si gadis kecil, wajahnya manis meski tak setakjub penampilan gadis itu. Entah kebetulan atau bukan, saat Lushan menatapnya, tiba-tiba sang bayi tersenyum lebar padanya.
Lushan membeku. Bukankah anak-anak seharusnya terus menangis? Mengapa bayi ini begitu tenang? Tak terdengar tangisannya... Bahkan malah tersenyum saat dia memandanginya?
"Hehehe..." Senyuman gemerincing tiba-tiba memutus renungan Lushan. Ia berbalik... Menyaksikan gambar yang terukir dalam rohnya: Di bawah sinar matahari, tertiup angin sepoi-sepoi, di tengah ilalang bergoyang... Seorang gadis agung bagai dewi, dengan senyum paling naif dan murni, memeluk leher serigala alpha raksasa.
Serigala alpha yang seharusnya beringas itu kini menunjukkan ekspresi lembut seperti anjing peliharaan. Dengan kepala berbulu lebat, ia menggesekkan wajahnya ke pipi gadis itu. Gambar ini terpatri dalam dasar hati karena merupakan personifikasi penaklukkan kejahatan oleh kemurnian.
"Pada saat itu Lushan kembali terpaku, sementara gadis kecil itu menatapnya berkata: 'Adik laki-laki saya menyukaimu.'"
"Adik laki-lakimu?" Lushan tak mengerti.
"Adik laki-laki saya ada di pelukanmu. Kenapa kau selalu suka melamun?" Gadis kecil itu melepaskan serigala alpha, berdiri... Serigala alpha itu berjalan sejenak sambil terus menoleh-noleh, akhirnya berlari menyusul kawanan serigala yang telah menjauh. Sebuah krisis terselesaikan dengan santai oleh gadis kecil ini.
"Apakah kau seorang dewa?" Lushan akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya.
"Haha... Aku bukan dewa. Aku Baima, namaku Baima! Siapa namamu?" Ia menatap Lushan dengan tatapan akrab karena adiknya menyukai Lushan.
"Aku... Aku Zeren." Lushan pun menyebutkan namanya.
Sejak saat itulah pertemuan mereka dimulai, perkenalan pertama...
"Ingin tahu siapa bayi kecil itu?" Di tengah cerita, Lushan tiba-tiba berhenti dan menoleh padaku.
"Sebenarnya aku bisa menebaknya, tapi ceritakanlah." Sebenarnya, setelah melihat perlindungan dan perhatiannya pada Tao Bai, masihkah aku tak bisa menebak? Bayi itu pasti Tao Bai.
"Pertemuan kali itu bukan sekadar pertemuan antara Lushan dan Baima, tapi juga pertemuan Lushan dengan Tao Bai... Senyuman Tao Bai itu, apakah menandakan jodoh sejak saat itu? Takdir hidup-mati dimana mereka harus hidup bersama?"
Takdir benar-benar sesuatu yang sulit dipahami.
"Sebenarnya aku tidak menjual teka-teki, Cheng Yi. Kau pasti sudah menebak? Bayi itu adalah Tao Bai, tepatnya adik laki-laki Baima... Mereka adalah Sang Suci dan Pangeran Suci kuil itu... Dan kuil yang kumaksud, kau pasti tahu, kuil yang pernah memburu kami - Kuil Lagang." Lushan akhirnya mengungkapkan... Kali ini termasuk rahasia latar belakang Tao Bai.
"Lalu kalian? Bagaimana bisa menjadi bawahan Jiang Yi? Dan ayah Baima, dia...?" Saat itu, berbagai misteri langsung membanjiri hatiku, aku sama sekali tak bisa menyambungkan benang-benang ini menjadi alur kehidupan Lushan dan Tao Bai.
"Dengarkan baik-baik sampai selesai." Lushan tidak terburu-buru. Kali ini dia tidak mengeluarkan rokok, tapi menarik kendi dari dalam jubahnya dan meneguk arak.
“Kuil Lagang, sebenarnya adalah kuil yang sakral, di manakah pernah lahir biksu paling belas kasih dan termulia dalam lingkaran praktisi spiritual... Jangan kira biksu merujuk pada biksu dari Tibet, sebenarnya tidak banyak biksu yang layak menyandang gelar 'lama'! Tapi semua ini kemudian berubah... Perubahan itu bermula dari generasi sebelumnya kepala biara di Kuil Lagang yang misterius ini, sebut saja kepala biara agar lebih mudah kau pahami.” Lushan menjelaskan.
Aku menyimak dengan serius... Kurasakan Lushan sedang membongkar rahasia besar yang bahkan mungkin berkaitan erat dengan masa depan kami, karena Guruku pernah berkata untuk mencari Penglai di sini, dan membuka Pintu Gerbang Penlai memerlukan pusaka suci dari suatu kuil.
“Mari kita bicara tentang Baima dulu... Sampai hari ini, aku tak pernah menanyai Baima mengapa ia begitu kebetulan muncul di balik tumpukan mani saat itu. Aku hanya yakin takdir mempertemukan kami. Karena saat itu, adik laki-lakinya, Tao Bai, memberiku senyuman... Baima langsung merasa dekat denganku. Di hari itu juga, setelah mengatasi krisisku, ia tak buru-buru pergi malah menggembala domba bersamaku.” Suara Lushan kembali terdengar jauh.
Dari seorang Dewi yang selalu tersenyum penuh belas kasih kepada semua orang... Setelah menunjukkan kehangatan lebih kepada Lushan, aura kesuciannya memudar, berubah menjadi lebih seperti gadis kecil biasa.
"Menggembalakan domba adalah pekerjaan yang melelahkan, tapi bagi Baima semuanya terasa begitu baru... Dalam proses menggembala yang menyenangkan, Lushan perlahan mulai melepaskan rasa takutnya untuk mendekati Baima, dan menjadi lebih berani berbicara.
Mereka juga mengobrol, membicarakan banyak hal... Lushan bahkan bercerita tentang perasaannya yang ingin berani menyelamatkan Baima saat kawanan serigala datang. Perkataan spontan ini tanpa sengaja membuat Baima merasa lebih dekat dengan Lushan.
"Kalau begitu, aku akan datang menemanimu menggembala setiap beberapa hari." Saat akan pergi, Baima berkata demikian kepada Lushan.
"Benarkah?" Tidak ada yang lebih membahagiakan Lushan dari ini. Ia yang awalnya tenggelam dalam kesedihan karena akan berpisah, tiba-tiba disirami kebahagiaan.
"Ya." Baima mengangguk dengan penuh keyakinan.
Saat itu, di padang rumput yang disinari cahaya matahari terbenam... Semua takdir bermula dari momen itu.
Gadis yang jatuh dari langit, mendarat di tengah kehidupan penuh cobaan Lushan.
