Gunung salju nan luas, jika dilihat dari jauh, sungguh indah... Kau pun takkan merasa ketinggiannya sesuatu yang menakutkan.
Tapi saat berada di dalamnya, bebatuan tajam mengganjal kaki, angin gila menderu di telinga... barulah kau sadar menatap puncak gunung adalah hal yang begitu menekan, bahkan menimbulkan ketakutan di dasar hati.
Aku dan Guruku bukanlah pendaki profesional... Tak ada peralatan pendakian, satu-satunya andalan hanyalah status kami sebagai praktisi spiritual, tubuh yang lebih kuat dari orang biasa, cara bernapas khusus... Selain itu, tak ada keuntungan lain.
Di hadapan Alam semesta dan prinsip alamiah, kau akan lebih merasakan kesetaraan... kesetaraan Makhluk hidup... Karena setiap makhluk berhak atas kelahiran, dan setiap makhluk akan menuju kematian... Alam semesta takkan mengubah secuil pun keindahannya untuk menjilatmu, meski kau memiliki identitas mulia dan kemampuan luar biasa.
Pun takkan menghalangimu mengagumi keagungannya, meski kau beridentitas rendah dan berkemampuan biasa...
Seperti mendaki gunung - jika harus menapak dengan patuh langkah demi langkah... praktisi spiritual pun tak punya keuntungan berarti...
Angin gunung menderu, udara semakin tipis seiring ketinggian. Aku berhemat setiap jengkal kekuatan. Aku bersyukur Guruku tak memaksaku menaklukkan Puncak Everest... Kalau tidak, hari terakhir dalam nyawaku mungkin akan menghilang bisu di antara deretan pegunungan ini.
Berangkat pagi-pagi, saat Tengah Hari kami telah mencapai lereng gunung. Yang membuatku takjub, Guruku ternyata sangat berpengalaman. Sepanjang jalan ia memberiku petunjuk, persis seperti setiap hari di waktu kecil ketika ia tak henti mengajari.
Tapi Guruku memang sudah tua. Di sepertiga jalan awal, aku terus menatap punggungnya yang bergerak maju. Di bagian selanjutnya, akulah yang memimpin sementara ia memberi arahan... Kadang aku harus menarik tangannya.
Aku tak mengerti maksud Guruku menyuruhku mendaki ini... Tapi saat istirahat Tengah Hari ini, ketika ia mengeluarkan bekal dari tubuhnya, aku tahu semua ini telah direncanakannya sejak awal.
Mendaki gunung membutuhkan stamina fisik yang besar untuk dipertahankan... Saat beristirahat, awalnya aku pikir Guruku akan berbicara denganku. Tapi di tengah hembusan angin gunung yang menusuk ini, dia hanya menyuruhku untuk tidak bersuara, menghemat setiap jengkal stamina, lalu makan bekal bersama dalam keheningan.
Hampir muncul keinginan untuk mundur dalam pikiranku... Karena aku takut waktuku belum cukup, entah kapan aku akan menghilang? Mungkin tengah malam ini, atau saat cahaya fajar pertama menyingsing besok pagi? Aku ingin menyisakan waktu, banyak yang ingin kusampaikan pada Guruku... Melihat ke puncak gunung yang seolah tak terjangkau... Tapi Guruku tak memberiku kesempatan untuk tetap berada, hanya menyuruhku terus memanjat ke atas.
Akhirnya, sekitar pukul 6 lebih sedikit di sore hari... Akhirnya aku sampai di puncak gunung. Aku mengulurkan tangan pada Guruku, dia mencengkeram tanganku, dan kami bersama-sama mencapai puncak.
Saat itu, masih tersisa cahaya matahari terbenam yang memantulkan warna Merah yang memesona di puncak gunung salju putih bersih. Di bawah, terhampar seluruh tempat perlindungan jiwa aliran Gunung Salju, lebih jauh... rangkaian pegunungan yang tak putus mengepung aliran Gunung Salju, setiap puncak gunung disaputi lapisan merah menyala ini.
Indah, sungguh mempesona... Pemandangan yang membuat sesak napas ini ingin kusimpan selamanya, inilah arti terbesar penemuan kamera oleh manusia... Tapi sehebat apa pun kamera, takkan bisa menyaingi rekaman sepasang mata. Pemandangan yang sama, terasa berbeda di mata tiap orang.
"Jadi, banyak tempat masih harus dikunjungi sendiri baru bisa bilang sudah melihat... Seperti banyak hal, harus dialami sendiri baru bisa menempa hati dunia."
"Apa setelah melihat pemandangan ini, semua susah payah selama perjalanan terasa berharga?" Guruku berdiri di sampingku, membiarkan angin gunung menerbangkan rambutnya yang sudah berantakan semakin tidak karuan.
"Hmm." Setiap kali berhadapan dengan alam, selalu ada pelajaran berbeda. Dengan rakus menikmati keindahan ini, aku merasa bicara pun jadi tak perlu.
Guruku tersenyum, duduk di batu sembari menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan aku untuk ikut duduk.
"Waktu kecil, saat mengikuti Leluhur... Beliau suka mengajak kami para murid mendaki puncak... Katanya: 'Bukan supaya kalian berdiri tinggi, melihat jauh, juga bukan merasakan jadi manusia superior yang memandang rendah makhluk hidup. Aku hanya ingin kalian merasakan penaklukan.'" Di lereng gunung, anginnya kencang. Tapi di puncak ini, angin justru melemah... Meski begitu, suara guru tetap terbawa jauh.
"Penaklukan? Menaklukkan puncak gunung?" Aku duduk di samping guru. Udara di sini sudah cukup tipis, tapi bagi kami berdua, pengaruhnya tidak signifikan.
"Tidak, ini adalah pengalaman awal dalam menaklukkan kehidupan... Hari-hari yang mulus bagai dataran, sementara hari penuh kesulitan seperti gunung tinggi yang tiba-tiba menjulang di tengah dataran, tanpa jalan... Jadi, kau hanya bisa memanjatnya! Atau, bersembunyi di bawah kesulitan itu, tetap berada selamanya, jangan pernah melewatinya." Guruku berbicara sambil menatap kejauhan, menyipitkan mata, dan menggigit kembali pipa tembakau lintingannya.
Aku justru memahami makna tersirat dalam kata-katanya. Rasa pahit dalam pendakian, takkan pernah dimengerti oleh mereka yang belum benar-benar mengalaminya... Stres psikologis di pusatnya, kemalasan yang berulang kali ingin menyerah, semuanya adalah perasaan nyata. Pikirkanlah, ini tak berbeda dengan kesulitan yang dihadapi dalam kehidupan.
Aku mengangguk pelan. Di sudut bibir Guruku mengembang senyum tipis. Ia tidak menatapku, namun berkata: "Gunung ini tidak tinggi... Tapi cukup membuatmu merasakan rasanya. Kehendak Dao Tongzi adalah puncak gunung dalam hidupmu. Tapi kau muridku, aku takkan membiarkanmu menyerah di kaki gunung begini saja."
"Guruku, maksudnya apa?" Aku tak kuasa bertanya. Sebenarnya aku benar-benar ingin menyerah... Aku tahu, dibandingkan kehendak, aku tak sebanding Dao Tongzi. Aku selalu 'lemah' karena berbagai alasan, sementara tekad Dao Tongzi mengejar Tao terlihat begitu perkasa.
Dia adalah sosok dengan kehendak yang hampir tak tergoyahkan, mungkin karena itulah tragedi Wei Chaoyu terjadi!
"Apa maksudnya? Kau paham dalam hati... Yang akan lenyap hanyalah yang ditekan, ini adalah kehidupan Chen Cheng Yi-mu, tubuhmu, rohmu... Meski sebagai inkarnasi Dao Tongzi, tapi semuanya milikmu. Katakan mengapa kehendakmu bisa gagal?" Guruku berbalik menatapku, matanya memancarkan cahaya keyakinan yang mantap.
"Tapi aku..." Kemunculan Dao Tongzi memang tidak terlalu awal, namun bagaimanapun perbedaannya, jika kehendak dipisahkan dari sumber energi asli, sebenarnya kami sama. Meski kini aku belum tahu di letak persamaan itu, tapi aku merasa memahami Dao Tongzi justru karena persamaan ini.
Seperti kata Guru, kehendaknya benar-benar bagai gunung tinggi yang menghadang di depanku. Kurasakan tak mampu melewatinya, justru karena memahami, semakin kusadari ketidakberdayaan ini.
"Cheng Yi, suatu hari kau akan mengerti, kelemahan yang kau anggap itu justru akan menjadi kekuatanmu... Dalam hidupku ada dua harapan. Pertama, menemukan Guru leluhurmu. Kedua, menyaksikan pertumbuhanmu. Tapi di masa lalu, harapan ini terasa kontradiktif - mencari Guru leluhur berarti mengorbankan masa yang seharusnya kuhabiskan di sisimu. Kini, meski telah menemukan beberapa jawaban, tetap saja aku mungkin tak bisa lagi menyaksikan proses kedewasaanmu." Guruku kembali menatap ke kejauhan, suaranya merendah saat berbicara padaku.
"Guruku? Kau sedang mengkhawatirkan pertempuran besar itu? Menurutku tidak perlu. Jika itu adalah takdir keturunan Lao Li kita, mari kita sambut..." Aku berdiri, memandang pemandangan di bawah gunung. Entah karena berada di puncak yang tinggi, suaraku terdengar lebih heroik.
Guru tertawa terbahak-bahak... Kemudian berkata: "Cheng Yi, kata-katamu membuatku lega. Tapi Jiang Lichun ini bukanlah orang yang mengkhawatirkan perang... Sebenarnya, aku hanya ingin lebih lama menjagamu di sampingku. Melihatmu melangkah maju selangkah demi selangkah, seperti nyawaku sendiri yang berjalan maju... Kaulah pewarisan ku, tidak hanya mewariskan ilmu Tao dan teori, tapi lebih dari itu mewariskan semangat... Ini adalah hubungan yang lebih kuat dari ikatan darah! Cheng Yi, karena itu kau harus melewati puncak di hadapanmu ini... Dan meski guruku pergi, tak akan ada penyesalan lagi. Karena saat itu tiba, aku tahu tak ada lagi yang bisa menghalangi langkahmu. Bahkan jika benar ada rintangan yang tak bisa kau lampaui, setidaknya kau sudah berada di jalan yang benar."
"Guru..." Aku segera menoleh, memandang guru yang terdiam dalam tiupan angin. Postur duduknya tampak malas, tapi ekspresi wajahnya tenang... Saat aku kecil, kesannya bagiku seperti pria paruh baya yang penuh kenangan. Kini, masa-masa telah mengukir jejak yang dalam di wajahnya. Akhirnya ia benar-benar terlihat seperti orang tua sejati.
"Walau begitu, aku masih serakah ingin menahannya... Saat aku tiada, biarlah Dao Tongzi mewujudkan keinginanku... Tapi sekarang, mengapa hatiku begitu ciut nyali."
"Guruku telah menghilang selama bertahun-tahun, pasti kau ingin tahu apa yang terjadi padaku? Kau tidak bertanya, hanya tak ingin mengupas luka masa-masa perpisahan yang menyakitkan... Tapi kehidupan kita sudah terikat sejak pertemuan itu, mewariskan juga termasuk berbagi titik-titik pengalaman dan perjalanan hidupku... Sudah saatnya kuberitahu, Cheng Yi!" Guruku menatapku, hendak menyalakan rokok lintingannya.
Angin gunung bertiup kencang, segera kuhalangi Guruku dari terpaan angin dingin yang menusuk... Guruku menyalakan rokok lintingannya, memandangku dengan kehangatan yang tak terucap... Aku justru memalingkan muka, berbisik pelan, "Guru, bisakah kita bicarakan nanti?"
Selalu saja kurasakan kegelisahan yang tak biasa.
"Bicarakan nanti? Cheng Yi... Masihkan kau akan menyembunyikan kondisimu dariku? Nyawaku hanya tersisa setahun saat kau menemukanku... Sepertiku, kecuali Ling Qing, semua orang seperti ini! Apa kau mau mendahului gurumu ini? Menurutmu aku akan mengizinkan?" Suara Guruku tenang, namun bernada tuduhan.
Aku yang berdiri di puncak gunung itu, mendengar kabar ini nyaris terjatuh. Guruku segera menarik lenganku.
“Berapa lama lagi umurmu? Kau harus memberitahuku sekarang... Atau mulai saat ini, kau harus belajar untuk tidak menyerah pada diri sendiri, mempersiapkan diri mendaki puncak gunung. Sebelum itu, aku harus menceritakan semua perihalku... Karena kurasa waktu yang tersisa ini akan menjadi kemegahan terakhir dalam hidupku. Aku ingin mempersiapkan segalanya dengan sepenuh hati.” Guruku menarik tanganku, berkata dengan sungguh-sungguh.
Aku membiarkannya menarikiku... Dengan ekspresi kaku, angin berhembus di antara kami... Apakah nyawa juga demikian? Pada akhirnya tak meninggalkan jejak, ataukah jejak ini akan terus terukir dalam hati kami melalui proses mewariskan dari generasi ke generasi?
