Guruku menarikku kembali ke puncak gunung. Aku duduk dalam hening di sampingnya.
Pikiranku kacau, tapi justru merenungkan pertanyaan tak relevan: Jika di masa kecil, tidak—bahkan sepuluh tahun lalu—guruku memberitahu bahwa umurnya tinggal setahun, reaksi pertamaku pasti nyaris tak bisa kukendalikan: menangis.
Tapi sekarang, mengapa semakin terdiam... Ingin menangis tapi air mata tak keluar, hanya merasakan duka membeku yang begitu besar seakan akan menerpa hempasanku?
Inikah konsekuensi dari bertumbuh? Menjadi hening dimana tersenyum tak lepas, menangis tak tumpah... Tiba-tiba bertanya-tanya: Keadaan meditasi tingkat tinggi yang penuh Ketulusan seperti guruku ini, kedewasaan mental seperti apa yang menyelimutinya? Manusia selalu ingin kembali ke masa lalu setelah melalui berbagai hal, bagaikan manusia dewasa yang merindukan keikhlasan dalam wajah polos masa kanak-kanak.
"Seolah melakukan pekerjaan sia-sia, namun sebenarnya tanpa melewati kenangan yang mengharukan, bagaimana mungkin menyadari nilainya? Panenan sejati adalah 'pemahaman'."
Tangan Guruku yang mengeras mendarat di kepalaku, terhenti tak bergerak. Desiran angin melintas, bagaikan helaan napasnya.
Kekuatan pewarisan terletak pada detail kecil yang tetap diwariskan... seperti kebiasaan Guruku mengelus kepalaku, dan kebiasaanku mengelus kepala Huigen.
"Aku mengembara bertahun-tahun, kau tahu untuk mencari Guru leluhur... Bertahun-tahun ini bisa kukatakan telah bertemu, namun juga belum." Suara Guruku menyusup ke telingaku, kini tanpa gejolak perasaan, hanya kedamaian setelah segalanya terlalui.
Aku duduk bersila mendengarkan dengan tenang, menyadari terlalu banyak hal berharga dalam hidup. Seperti ketenangan saat ini - kapankah akan terulang lagi?
"Kau tentu sudah tahu rahasia sisa roh yang ditinggalkan Guru leluhur?" Guruku bertanya tiba-tiba.
Kutatap Guruku sambil mengangguk pelan: "Ya, di India, seorang kakek bernama Johnny yang merupakan teman Guru leluhur memberitahuku."
"Johnny?" Guruku mengangkat alis.
"Benar. Aku juga melalui banyak hal, ingin Guruku mendengarkan?" Jika sudah harus membuka luka lama, lebih baik bicara sampai puas.
"Baik, ceritakan..." Guruku mengangguk. Angin di gunung menguat seiring memudarnya cahaya senja. Kegelapan malam merayap pelan. Guruku mengeluarkan dua kendi arak dari pelukannya, memberikanku satu.
Aku membuka tutup botol, meneguk satu kali, lalu juga menatap ke kejauhan sambil berkata: "Harus kumulai dari mana ya, Guruku? Mari kita mulai dari malam saat kau meninggalkanku di Pondok Bambu itu..."
Terkadang perjalanan hidup terasa sangat panjang, namun saat kau menceritakannya, ada satu hal yang menakjubkan: perjalanan panjang yang kauanggap berlarut-larut itu ternyata bisa disarikan hanya dalam beberapa jam saat kau bercerita pada seseorang.
Botol arak itu kecil, isinya tak sampai setengah kati. Tapi dengan tegukan yang terputus-putus, saat kisah pengalamanku selesai, masih tersisa sepertiga di dalam botol.
Cuaca cerah kembali menyelimuti, malam harinya tentu langit dipenuhi cahaya bintang. Duduk di puncak gunung memandang bintang-bintang yang seolah bisa kuraih, berkilau layaknya batu permata. Galaksi Bima Sakti di kejauhan membentuk pita perak setengah sadar, menyapu langit dan terhenti di sana.
Setelah mendengar pengalamanku, Guruku terdiam sangat lama. Lama sekali baru ia berkata: "Beberapa tahun ini kau telah melalui banyak penderitaan, namun juga bertumbuh dengan cepat. Aku merasa kesakitan hati, tapi juga legah."
Usai mengucapkan itu, Guruku meneguk arak dalam-dalam... Satu kalimat itu telah mewakili segala kata yang ingin kusampaikan. Aku dan dia telah mencapai tahap kehidupan dimana kata-kata tak lagi diperlukan untuk saling memahami.
“Guruku, Dao Tongzi hanya bisa menekan kehendaknya sendiri selama tiga hari... Setelah itu, segalanya bukan lagi dalam kendalinya... Hari ini adalah hari ketiga, aku tidak tahu apakah malam ini atau besok pagi, kehendakku akan perlahan memudar digantikan kehendak Dao Tongzi. Tapi syukurlah, dia bisa menyisakan memoriku.” Setelah selesai bercerita, aku memaksakan senyum lalu menambahkan, “Sebenarnya rohku juga tersisa, hanya saja kehendaknya telah berubah menjadi milik Dao Tongzi... Sungguh mengkhawatirkan, gaya kerja makhluk itu sepenuhnya berbeda denganku, apakah nanti dia akan membuat semua sahabatku bermusuhan?”
Sambil berbicara, kuangkat kepala dan meneguk arak dalam-dalam, botol arak hampir kosong.
Tangan Guruku yang semula terletak di kepalaku tiba-tiba gemetar. Mungkin takut aku menyadari gejolak perasaannya, dia menarik kembali tangannya sambil berbisik, "Sialan, sekarang aku sudah tak punya tenaga untuk menendangmu... Inti dari roh adalah kehendak. Selain esensi awal, kehendak juga terbentuk melalui lingkungan dan takdir kehidupan... Meski reinkarnasi jiwa tak berubah antara kehidupan lampau dan sekarang, kehendak selalu berubah. Hanya mereka yang terbebas dari siklus ini yang bisa menyaring tempaan setiap kehidupan, menyisakan kehendak yang paling mendekati—atau bahkan sama dengan—hati nurani, meleburkan kehendak setiap zaman! Kehendak ibarat sebuah hati. Jika hatimu saja sudah berbeda, ngapain lagi mempertahankan roh? Seperti manusia yang sudah tiada, buat apa menyimpan pakaiannya? Kau muridku? Barusan aku bilang tentang mendaki puncak, tapi kau malah mau membuang hatimu."
Aku sedikit menengadah, "Jika bisa, kenapa aku tidak mau? Guru, kehendak kuat Dao Tongzi itu di luar jangkauanku—"
"Apaan sih! Kehendak tidak ada istilah kuat atau lemah. Di mataku hanya ada benar dan salah. Kebenaran yang kau pahami di kehidupan ini pasti bisa menutupi kesalahan kehidupan lampau... Jalan Benar tetap jadi arus utama. Bagaimanapun dunia berubah, orang-orang tetap bisa bertahan karena arus utama masih menyuarakan kejujuran dan kebajikan... Manusia tidak hidup untuk diri sendiri, bukan entitas tunggal yang kesepian. Hanya kehangatanlah yang menjadi kekuatan untuk melanjutkan perjalanan, pengikat abadi dari siklus kehidupan." Begilah Guru berujar padaku.
Dan tanpa alasan jelas, di dalam hatiku tiba-tiba terasa tersentuh. Perasaan sedih yang telah membenamkanku selama tiga hari seolah mendapat sedikit kelegaan.
Benar, hal-hal indahlah yang menjadi pengikat akhir. Bahkan binatang pun memiliki naluri melindungi anaknya... Inilah kehangatan keibuan yang dianugerahkan Langit. Jika aku benar, aku menggenggam tinjuku erat-erat... Di hadapan Dao Tongzi, apakah aku benar?
Tinjuku menggenggam hingga kepalanku pucat. Guruku berkata: "Aku percaya padamu. Bahkan selama bertahun-tahun mencari Guru leluhur ini, aku selalu percaya padamu."
Aku tidak menyatakan sikap, malah bertanya pada Guruku: "Mengapa dikatakan bertemu tapi juga tidak bertemu Guru leluhur?"
"Bertemu, kupikir kau harus mengerti... Dalam manik-manik yang kuberikan, terkandung roh Guru leluhur yang telah dimurnikan. Itulah semua sisa rohnya yang tersisa di dunia fana. 'Tidak bertemu' karena bagiku, Guru leluhur adalah manusia hidup yang memberikanku banyak kenangan hangat, bukan sekadar roh terpisah untuk dijaga. Mengertikah kau?" Gumam Guruku datar.
Aku bisa memahami perasaan Guruku, tapi tak mengerti mengapa Pak Johnny pernah memberitahuku secara langsung bahwa rahasia roh Guru leluhur ini hanya dia yang tahu. Bagaimana Guruku bisa menemukannya?
Guruku sepertinya membaca kebingunganku. Beliau menoleh sambil tersenyum: "Sesungguhnya, rahasia ini seperti yang kau katakan tadi - hanya Pak Johnny yang tahu... Tapi sejak melihat Penglai, aku telah memahami segalanya."
Detak jantungku tak bisa tidak semakin cepat, meskipun selama bertahun-tahun ini teka-teki Penglai Kunlun terus menghantuiku, dan juga menjadi jalan yang selalu kukejar... Tapi, di dasar hatiku masih terasa bahwa mungkin aku takkan bisa mencapainya, itu karena rasa hormat terhadap legenda yang tertanam dalam hati.
Karena itu, aku tak tahan menggunakan sisa arak terakhir untuk menenangkan perasaan dalam hati, tapi suaraku tetap gemetar saat bertanya: "Guruku, benarkah kau benar-benar pergi ke Penglai?"
"Penglai?" Cahaya kebingungan muncul di mata Guruku... Seolah sedang mengingat sesuatu, lalu dia mengusap wajahnya sendiri sambil berkata: "Aku melihat, tapi bukan berarti aku pergi ke sana... Karena, pada saat itu tiba-tiba aku mendapatkan pemahaman mendalam bahwa manusia harus berada di tempat yang tepat, tidak, seharusnya segala sesuatu di alam semesta ini punya tempatnya masing-masing, kau mengerti?"
Aku menggelengkan kepala, menunjukkan ketidakmengertian... Padahal Penglai sudah di depan mata, mengapa Guruku mengucapkan kata-kata membingungkan ini? Seandainya aku yang menemukan tempat perlindungan jiwa dalam legenda... Rasa ingin tahu yang membara pasti akan membuatku nekat mendaki Penglai, ingin melihat salah satu sumber legenda Tiongkok Raya.
"Seperti semut harus hidup di sarang semut, singa harus hidup di padang rumput... Aku hidup di tempat ini, dan aku belum cukup diizinkan memasuki Penglai. Sekarang kau mengerti?" Guruku berkata demikian padaku, lalu melanjutkan: "Banyak hal bukan berarti bisa benar-benar disentuh hanya karena sudah di depan mata... Seperti benda dalam air yang selalu terlihat bengkok karena pembiasan, mata pun bisa menipu."
“Kalau begitu Guruku… Maksudmu, bahkan jika Pulau Penglai ada di depan mata kita, sebenarnya ia sangat jauh dari kita?” Aku pun menjadi bingung.
Guruku menggelengkan kepala sambil berkata: “Itu bukan sesuatu yang bisa kujelaskan padamu saat ini… Kau tahu, aku ini gurumu. Jika bisa menjelaskan, pasti sudah kulakukan sejak dulu.”
“Lalu Guruku, mengapa kau bilang dengan melihat Penglai, kau akan mengerti segalanya?” Aku bertanya serius, teringat dokumen dari Jiang Yi yang membuatku punya banyak pertanyaan untuk Guruku.
“Karena sisa roh terbesar Guru leluhurmu sedang berjaga di pintu masuk Penglai. Saat itu… Kukira akhirnya aku bertemu Guru leluhurmu! Dan saat itulah, aku baru mengerti mengapa untuk mencapai Kunlun harus mencari Penglai terlebih dahulu.” Guruku berbisik padaku.
Semua ini membuat seluruh tubuhku gemetar karena takjub.
Sebab betapapun banyak keajaiban yang pernah kusaksikan… Apakah ada yang lebih menggetarkan daripada tempat-tempat dalam mitos ini? Sebenarnya, aku pernah benar-benar mendekatinya – di Desa Miao Heiyan saat Ulat Setan bertransformasi… Kulihat suatu tempat yang diselimuti kabut, dan kini semakin kuyakini itu adalah Kunlun!
Kini… Akhirnya tak kuasa kutanyakan pada Guruku: “Mengapa?”
