Guruku menatapku, matanya dipenuhi ekspresi geli dan nostalgia. Ia menepuk punggungku sambil berkata: "Kenapa masih seperti waktu kecil? Setiap ada masalah langsung buru-buru ingin tahu? Tampaknya peribahasa 'penasaran membunuh kucing' tak berguna bagimu."
Ternyata tatapan aneh Guruku tadi adalah karena teringat masa kecilku yang penuh keingintahuan. Jika bukan karena sifat itu, mana mungkin aku mengajak Ruyue dan Surou ke Makam Hantu Kelaparan?
Sebenarnya hidup ini penuh misteri yang tak terpecahkan. Seperti peristiwa waktu kecil saat meritual pelepasan arwah perahu hantu kelaparan... Tiba-tiba menghilang secara misterius di permukaan air. Hingga kini aku masih bingung kemana perginya. Penjelasan Guruku pun sederhana - banyak hal hanya ia ketahui caranya, tapi tak tahu alasannya.
Masalah ini masih membekas di hatiku sampai sekarang. Tampaknya aku memang tipe orang yang ingin tahu segalanya sampai ke akar-akarnya.
Alasannya mungkin karena rasa tidak aman yang kutinggalkan oleh berbagai perpisahan. Selalu merasa baru tenang bila sudah mengetahui semua kebenaran.
Guruku tak terlalu banyak berpikir seperti aku. Ia hanya berkata: "Penglai sebenarnya adalah... adalah... Aku tak tahu bagaimana mendeskripsikannya. Pokoknya ia berpindah-pindah. Jika kau mendekat, kau akan mengerti. Ia adalah jembatan menuju Kunlun. Lebih gamblangnya, dalam istilah modern, Penglai adalah alat transportasi ke Kunlun."
Guruku sampai di sini mengerutkan alisnya, menunjukkan dia juga tidak terlalu yakin akan hal ini.
Aku menarik napas panjang. Dalam legenda Tiongkok, Penglai adalah sebuah pulau dewa di tengah laut... Tapi menurut Guruku, rupanya ia bergerak di atas lautan? Bahkan menjadi alat transportasi menuju Kunlun? Ini benar-benar sangat berbeda dengan bayanganku tentang Penglai.
"Guruku, apa yang ada di Penglai?" Sebenarnya ini pertanyaan yang paling membuatku penasaran. Guruku bilang dia belum cukup memenuhi syarat untuk naik ke Penglai, lalu makhluk seperti apa yang bisa berada di sana?
"Diselimuti kabut tebal, tidak bisa melihat jelas... Saat itu kau tahu kami sedang melacak seekor naga jiao yang sedang bermetamorfosis... Itu merangkak naik ke Penglai! Kurasa di Penglai benar-benar ada Dewa seperti yang diceritakan orang dunia fana, atau berbagai makhluk legenda? Paling tidak, ada sosok seperti Guru leluhurmu... Sebenarnya aku juga tidak tahu, tapi kau bisa merasakan perbedaannya yang mencolok dengan dunia fana, bisa merasakan aura sucinya, bisa merasakan untuk apa tempat itu?" Mata Guruku memancarkan kebingungan yang lebih dalam, serta ekspresi mengingat kembali... Tapi tidak ada kesan kerinduan sama sekali.
Ini membuatku semakin penasaran. Masa iya begitu dekat dengan surga legenda tapi tidak merindukannya? Kutanya: "Guruku, kau benar-benar yakin itu Penglai? Mengapa kau sama sekali tidak terlihat ingin kesana?"
"Aku yakin itu pastinya Pulau Penglai, jangan tanya kenapa... Pokoknya, ketika kau melihatnya, kau akan langsung yakin itu Penglai. Adapun kerinduan, untuk apa aku merindukannya? Aku cuma orang tua tak bernama tanpa ambisi, juga tak punya hati yang mendambakan pencerahan. Hanya ingin setiap gerak-gerikku sesuai dengan Langit, punya batasan diri, cukup dengan tak mengkhianati hati nurani... Surga dewa sekalipun takkan mampu menandingi dunia fana yang masih ada orang yang kuinginkan... Inilah yang disebut tak bisa menembus belenggu duniawi." Sambil berkata demikian, Guruku menyalakan rokok lintingannya. Angin di puncak gunung segera meniup asap rokoknya hingga bubar.
Tapi yang tak bisa dihilangkan adalah bau khas rokok lintingan itu. Meski setelah bergabung dengan Aliran Gunung Salju sudah tercampur sesuatu yang membuatnya sedikit asing.
Kelopak mataku terasa panas. Guruku bicara santai, tapi aku mengerti maksudnya... Dulu saat ke Kunlun, semua orang dekatnya telah tiada. Jika masih ada yang paling diinginkan di dunia ini, yang membuatnya tak tergoda surga mana pun, pastilah hanya aku.
Selain itu, aku juga tahu semua yang dialaminya pasti penuh bahaya, tapi Guruku menceritakannya dengan sangat singkat... Pasti juga agar aku tak khawatir.
Di Penglai, Guruku bertemu dengan sisa roh Guru leluhur, maka semua pertanyaan menjadi mudah dijelaskan. Mengapa Guruku memiliki sisa roh Guru leluhur? Bagaimana Guruku bisa mengetahui begitu banyak hal... Termasuk pembukaan ERA BESAR, generasi muda yang berbondong-bondong turun gunung, bahkan peran krusialku dalam semua ini.
Teringat petunjuk yang diberikan Jiang Yi waktu itu, aku tak kuasa menahan pertanyaan.
Dalam keheningan ini, kususun satu per satu pertanyaan.
Kira-kira apa maksud sebenarnya dari bagian-bagian tersirat Guruku dalam DVD itu?
Di salah satu DVD, Guruku terluka. Saat itu kami mengamati gelombang di permukaan air...
Bagaimana akhirnya Guruku muncul di dimensi misterius Teluk Hantu? Mengapa mengatakan umurku tinggal setahun?
Lalu apa arti kewaspadaan Guruku terhadap Jiang Yi? Jika bukan kewaspadaan, bagaimana mungkin Beliau membuat gerakan isyarat untukku dalam DVD?
Saat kuajukan pertanyaan, Guruku tetap hening. Setelah semua pertanyaan kusampaikan, barulah Beliau mulai menjawab satu per satu: "Cheng Yi, keputusanku dulu pergi ke Kunlun bukanlah tindakan ceroboh... Itu dilakukan setelah mendapatkan sejumlah petunjuk dan ramalan dari Paman Li. Bagaimanapun, Guru leluhur adalah bagian dari pertumbuhan kami. Detail-detail kenangan mustahil tak meninggalkan jejak. Selama bertahun-tahun, kukumpulkan dan kupilah-pilah petunjuk itu... Di sela waktu, kutelusuri tempat-tempat yang pernah disinggahi Guru leluhur... Banyak hal semakin jelas."
"Lalu bagaimana dengan Paman Li...?" Ekspresi wajahku tiba-tiba menjadi serius. Sekarang kami semua berada di aliran Gunung Salju, sementara kuburan sepi Paman Li masih di Pondok Bambu. Apakah dia merasa kesepian? Seharusnya tidak juga, itu adalah lokasi pemakaman yang dipilihnya sendiri. Dengan pendampingan adik seperguruan perempuan yang belum pernah kukenal, pastinya sangat tenang disana?
Hanya saja... di saat semua orang penting berkumpul, hanya Paman Li yang tidak hadir. Hati ini tiba-tiba merasa sedih tanpa alasan ketika teringat... Pria tegap, serius, dan berwajah tampan yang tak lekang dimakan waktu itu, yang diam-diam memperhatikanku bahkan tahu berapa kali aku membolos kuliah... Bagaimana pemandangan yang akan tercipta jika dia masih ada sekarang?
Sebenarnya, aku tahu... Dia sejak lama sudah diam-diam membenarkan posisi Guruku dan aku sebagai inti yang diikuti semua orang dalam keturunan Lao Li... Dan kejadian tahun itu yang membuatnya kecewa pada Guruku, mungkin juga sudah lama dimaafkannya.
Jika tidak, bagaimana mungkin dia begitu memperhatikan kelakuanku, semua hal tentangku?
Setiap kali menyebut Paman Li, hatiku serasa tertindih... Tapi ada satu orang yang lebih tertekan dariku, yaitu Guruku... Beliau yang biasanya selalu tenang, saat menyebut nama Paman Li, bahkan tangan yang memegang pipa rokok lintingan pun bergetar, seakan-akan pipa rokok lintingan yang ringan itu memiliki beban yang luar biasa berat, hampir-hampir tak sanggup diangkatnya.
Berbeda denganku, Guruku jarang menangis... Pada tingkat kedewasaan mentalnya, terdapat kebebasan besar yang menganggap hidup-mati hanyalah reinkarnasi tak perlu disesali. Namun di bawah cahaya bintang ini, kulihat jelas kelopak matanya memerah. Ia terengah-engah lama sebelum akhirnya perasaannya tenang kembali.
"Paman Li dulu juga ingin mencari Guru leluhur... Dia yatim piatu, diangkat sejak kecil oleh Guru leluhur. Pernah dia bilang, kalau bicara perasaan... rasa sayangnya pada Guru leluhur lebih dalam dari siapa pun. Itu sekaligus guru dan orang tua, mana bisa dilepas? Tapi, dia juga bilang, kalau kami semua pergi mencari Guru leluhur, konsekuensinya belum pasti... Nanti adik seperguruan perempuan sendirian pasti kesepian... Jadi dia memilih menunggu di sini, menjaga kedatangan kami. Cheng Yi, waktu itu Paman Li sudah tahu nyawanya tak lama lagi. Dengan jimat pengamanku, paling hanya bertahan kurang dari 10 tahun... Toh dia sudah lama mendalami dua aliran ramalan (), jadi punya firasat tentang Langit..." Di sini suara Guruku tercekat. Desahan halusnya bercampur suara 'grok' dari tenggorokan yang tersedak membuatnya tak sanggup melanjutkan.
Aku sendiri tidak tahu perasaan apa yang ada di dalam hatiku. Tak berani menanyakan kisah masa lalu Paman Li dan adik seperguruan perempuan... Bertanya pun nggak sopan, tapi kedalaman perasaan mereka, orang bodoh pun bisa merasakannya.
Dulu pernah kurasakan hidup ini bagai reinkarnasi, warisan takdir dari generasi ke generasi... Guruku mengikuti jejak Guru leluhur, sedangkan kami di belakang para guru, menelusuri langkah mereka... Saat itu, ikatan antara Paman Li dan adik seperguruan perempuan, setelah puluhan tahun bereinkarnasi, terulang lagi pada Kak Cheng Qing dan Chengyuan...
Seperti jodoh antara Guruku dan Nenek Ling Qing, juga mempertemukan aku dengan Ruxue... Aku berpikir, seandainya aku Paman Li, akankah kuambil pilihan yang sama? Mungkin iya... Tapi saat terpikir ini, tak kuasa aku bertanya pada Guruku: "Guruku, tadi kau bilang Paman Li sisa hidupnya kurang dari 10 tahun, tapi... misal delapan tahun? Kok bisa sejak dulu dia..."
"Sederhana saja. Diam-diam dia membakar nyawa sebagai pengorbanan untuk meramal... Katanya, kalau tak bisa ikut mencari Guru, biarlah niatnya ini membuat Guru tahu kerinduannya... Sebab takdir aslinya memang begitu, jimat pengaman itu pun hasil paksaan... Lebih baik pasrah pada takdir langit yang sudah mengatur segalanya." Sampai di sini, wajah Guruku akhirnya menitikkan dua aliran air mata jernih.
Dia tak banyak berkomentar lagi... Tapi aku bisa merasakan betapa pedih hatinya saat tahu Paman Li diam-diam meramalkan jalan untuk mereka.
Aku pun linglung kembali ke hari itu, saat para guru menghilang... Pemandangan bayangan yang hunpo tidak lengkap menggendong kotak abu manusia Paman Li menuju Pondok Bambu.
Hujan rintik-rintik... Sejak dahulu kala, perpisahan selalu menyedihkan... Ribuan tahun pun tak mampu menembus makna perpisahan yang ternyata hanya akibat kekuatan perasaan manusia yang begitu dahsyat... Tapi mengerti pun buat apa? Hari berhujan rintik-rintik tetaplah hari berhujan, perpisahan yang menyedihkan akan selalu menyedihkan.
Dewata meminta manusia untuk menembus tabir, tapi menurutku, Dewata tidak ingin kita sekadar menembus, melainkan agar kita semakin mencintai... mencintai hingga menyayangi orang tua kita dan orang tua orang lain, menyayangi anak kita dan anak orang lain.
Inilah, barangkali, hal yang paling berharga di dunia fana.
