Aku harus bersukacita untuk Guru... Tapi harus bersedih untuk perasaanku sendiri.
Guru tidak akan Hancur lebur, itu akhir terbaik... Meski aku tak yakin apakah setiap orang di dunia fana ini benar-benar memiliki reinkarnasi, seperti kehidupan lampau dan sekarangku dengan Dao Tongzi yang tak bisa jadi bukti universal adanya siklus kelahiran kembali...
Aku juga tidak tahu apakah benar ada alam bawah yin atau surga dewa-dewi... Tapi aku selalu percaya, roh di dunia fana pasti punya tempat tinggal... Ada tingkatan berbeda yang ditentukan Langit, entah terangkat atau benar-benar musnah.
Aku tahu banyak tentang kehidupan Guruku... Menurutku, Guru seharusnya bisa mendapatkan harapan lebih besar di perjalanan barunya...
Di dunia ini, banyak orang percaya orang baik tidak panjang umur, sementara bencana bertahan ribuan tahun... Praktisi spiritual dari aliran benar biasanya mengejek pandangan ini... Karena kalau kehidupan adalah film panjang, bisakah disebut akhir hanya dengan menonton sepuluh menit?
Di dunia ini, aku yakin setiap orang sedang menjalani tempaan reinkarnasi, kompetisi seleksi alam sejati untuk hati... Baik Buddhisme maupun Taoisme, tak pernah hanya melihat kehidupan ini, terobsesi pada masa kini... Karena belitan karma begitu dalam, bahkan dewa pun tak bisa memahami setiap helai sebab-akibat.
Kau tak bisa memastikan apakah berkah orang jahat di kehidupan ini sedang menghabiskan semua berkahnya dari kehidupan-kehidupan sebelumnya... Lalu berujung kehancuran total.
Kau juga tak bisa memastikan apakah cobaan orang baik di hidup ini adalah ujian berulang dari takdir langit untuk pengangkatannya? Orang-orang zaman dulu sudah paham prinsip ini... Saat Langit memberikan tanggung jawab besar, pasti...
Prinsip-prinsip ini sangat kupahami... Sungguh, harusnya aku bahagia untuk Guru... Tapi tubuh yang bergetar membuktikan, perasaan sedihku benar-benar menguasai seluruh hatiku.
Perasaan adalah penderitaan terbesar di dunia fana... Akhirnya aku merasakan makna kalimat ini.
"Cheng Yi, jangan sedih lagi... Mari kita saksikan matahari terbit bersama Guruku, mungkin ini terakhir kali dalam kehidupan ini... Meski ucapanku terdengar menyedihkan, tapi kau masih ingat perkataanku dulu? 'Merindukan tapi tak bisa memiliki, menginginkan tapi tak bisa mewujudkan'... Itu pahit, tapi orang yang ditakdirkan mungkin sedang menunggumu di persimpangan berikutnya, akan menemani perjalananmu... Selama takdir belum berakhir, manusia takkan berpisah... Baik kehidupan lampau, sekarang, maupun kelahiran berikutnya... Jalan ini sangat panjang, sangat panjang..." Suara Guruku bergema di telinga. Dia meletakkan tas yang dibawa di punggung, mengeluarkan kompor arang dari dalamnya.
Cahaya api yang hangat menyala, kehangatan perlahan mencairkan es di ujung jariku... Entah karena kata-kata Guru atau kehangatan kompor kecil ini, kesedihan di hatiku akhirnya sedikit mencair... Sebenarnya aku juga mengerti, perpisahan adalah keniscayaan. Yang harus kuhargai bukan lamanya waktu, melainkan setiap kehangatan yang kita bagi.
Aku sudah memiliki banyak...
Malam ini, Guru bercerita begitu banyak... Dari masa kecilku hingga masa kecilnya sendiri... Baik kenangan bahagia maupun cobaan hidup... Setelah semua dilalui, kisah-kisah ini bisa diceritakan dengan sedikit canda dan kedamaian hati.
Air mataku perlahan mengering... Senyuman mulai muncul di wajahku, aku pun mulai mengobrol santai dengan Guru... Di bawah cahaya api yang hangat... Waktu seolah melesat mundur, Guru berubah menjadi sosok 20 tahun lalu, sementara aku kembali menjadi Chen Cheng Yi yang masih belia...
Dan latar belakang di sekitar seakan ikut buram... perlahan-lahan transparan, membawa kami seolah telah melewati ribuan gunung dan sungai... kembali ke Pondok Bambu yang terus menghantui pikiran... Aku seakan mencium aroma daun bambu, mendengar gesek-gesek rumpun bambu... gemericik air bah itu memberi kedamaian dalam hati.
"Guruku, kurasa aku seperti kembali ke Pondok Bambu..." Di ujung langit, mulai muncul semburat merah yang luar biasa indah... memabukkan, tanpa terasa aku dan Guru telah berbincang semalaman.
"Ya kan? Hati berada di mana... disanalah manusia sejatinya berada... Tutup mata, dan itulah tempat perlindungan jiwa, jadi tak masalah jika raga mengembara." Guru tertawa lebar, suaranya penuh kejernihan tak terbatas.
Tiba-tiba, sang surya merah akhirnya melompat dari ujung barisan gunung di sebelah... membawa kilau emas yang terpecah-pecah, menyinari seluruh Tanah... juga jatuh di mata kami berdua.
"Lagi-lagi matahari terbit." Guru bangkit berdiri... angin mereda... cahaya kompor kecil pun berangsur redup hingga lenyap, hanya menyisakan kabut tipis yang mengepul.
Dalam kabut tipis itu, aku ingin tersenyum pada Guru... tiba-tiba suara penuh penyesalan bergema dalam dasar hati: "Chen Cheng Yi, maafkan, aku terus berusaha menekan, ingin membuatmu dan Guru lebih lama bersama, tapi usahaku sudah maksimal."
Dao Tongzi……Sudut bibirku terasa pahit, kemudian……Aku mulai merasakan kehendakku sendiri semakin buram, seolah ada orang lain yang menguasai otakku, ribuan memori kacau mulai menyatu denganku……Kesadaranku mulai memudar……Bahkan aku tak lagi paham siapa diriku sebenarnya?
Siluet Guruku masih terselubung kabut tipis……Namun seolah semakin menjauh dariku……Tapi aku takkan pernah lupa, dialah Jiang Lichun, Guruku……Pilar terkuat dalam hatiku.
"Chen Cheng Yi, saat kau sepenuhnya menyatu dengan memoriku……Kehendakmu sendiri akan semakin memudar. Kau akan mengira dirimu adalah aku, menggunakan metodelaku, memandang dunia dengan tatapanku……Saat itu, kehendakmu pun akan……Maaf, sebenarnya antara kita, aku pun tak bisa membedakan kehendak siapa yang lebih baik. Ini semua takdir……Tapi aku berharap kau jangan menyerah. Ucapan gurumu juga kudengar. Benar tetaplah benar……Salah tetaplah salah……" Suara Dao Tongzi terdengar terputus-putus dalam komunikasi denganku.
Setelah ledakan ini, kita tak mungkin lagi hidup aneh seperti kepribadian ganda, dua jiwa dalam satu tubuh yang masih bisa berdialog……Seperti dikatakan Dao Tongzi, aku akan benar-benar tenggelam, lalu perlahan melebur……Bagaikan boneka salju di musim dingin.
Aku takkan menyerah……Tapi bagaimana caranya? Tak ada jawaban dalam hatiku……Namun saat ini, di bawah kendali Dao Tongzi, tiba-tiba kuangkat lenganku. Ingin kuraih Guruku……Seperti merengkuh sandaran paling hangat.
"Cheng Yi..." Guruku tiba-tiba menoleh, melihatku yang setengah mengangkat lengan namun terkunci kaku di tempat.
Kurasakan tatapan Dao Tongzi ke arah Guruku penuh penyesalan... Namun terkadang, betapa rindunya aku memanggil "Guru" sekali lagi, mata ini kembali dipenuhi kesedihan...
Guruku melangkah maju, menggenggam tanganku erat. Awalnya tangannya bergetar... Tapi kemudian menjadi sangat tegas. Dia hanya berkata: "Cheng Yi, kutunggu kau kembali merawatku. Tak kumau orang lain, hanya kau... Karena kaulah muridku! Aku yakin kau akan kembali, dan tak akan lama."
"Kakek Jiang, maafkan..." Dao Tongzi membuka mulut penuh penyesalan, tak sadar bahwa saat ini kehendakku tiba-tiba melesat ke langit... Kugenggam erat tangan Guru, menatapnya. Sebutir air mata mengalir di pipi. Terkadang keyakinan tertentu justru menjadi beban?
Akhirnya kusebut perlahan: "Shi... Guru..." Tapi seketika itu, rohku dan Dao Tongzi merasakan penderitaan yang sama... Seperti palu godam menghantam jiwa... Tubuh kami yang menyatu merasakan sakit kepala dahsyat. Serentak kami menutupi kepala dan menjerit memilukan...
Perlahan dunia mulai gelap... Cahaya emas fajar punah satu per satu. Wajah Guru yang khawatir namun tenang, menjadi gambar terakhir yang kulihat... Lalu, rasa sakit yang tak tertahankan membuat kami pingsan...
Hanya dalam kesamaran, kudengar Guruku berkata padaku: "Ayo, Cheng Yi, Guruku akan membawamu turun gunung."
Turun gunung? Medan yang begitu curam... Dia akan membawa aku turun?
※※※
Waktu mulai kehilangan konsep... Dalam tenggelam yang tak berujung, aku terus mencari diriku sendiri... Tak kukenal asal kelahiranku, hanya tahu di suatu malam ketika salju turun lebat, dalam keadaan kelaparan hingga pingsan, aku diselamatkan oleh seorang Yang Mulia yang juga dipuja di sini.
Tak ada tempat yang benar-benar surga... Mungkin ada, tapi setidaknya bukan di sini... Hanya kusadari tempat ini mungkin lebih dekat dengan Langit, lebih sarat kesempatan... Berkat akumulasi berkah dari banyak kehidupan, manusia bisa mencapai sini.
Tapi, berkah apa yang kumiliki? Tak kenal orang tua, tetap kelaparan. Benarkah ini tempat yang didambakan banyak orang? Setelah sekian lama di kuil Tao Yang Mulia... Aku masih sering merenung: bukankah pernah kutanyakan pada Beliau? Namun Beliau selalu menyuruhku mencari jawaban sendiri, sambil tersenyum tanpa kata.
Hanya sekali Beliau berujar: "Ujung Tao adalah surga. Sampailah di sana, maka kau akan bebas... Kau paham? Jika surga yang kau inginkan adalah keadilan mutlak, meresapilah Jalan Suci maka kau akan melihat keadilan di balik segala ketidakadilan."
Kata-kata Yang Mulia selalu begitu misterius, tapi saat itu menanam benih Tao dalam hatiku... Ingin kuraih ujung Jalan Suci itu, kulihat tempat di mana keadilan mutlak bersembunyi di balik ketidakadilan...
Meski pengalaman kelaparan di masa kecil telah menanamkan bayangan begitu dalam di dasar jiwaku, membuatku memiliki ketergantungan yang hampir seperti pemujaan terhadap makanan... tapi kupikir akhirnya aku akan terbebas.
"Karena keteguhan Jalan Tao-mu, sepenuh hati mewarisi Tao... lebih baik gelar Tao-mu adalah Cheng Dao (Pewaris Tao)."
Ya, nama ku Cheng Dao... ini adalah gelar Tao-ku, juga nama untukku si yatim piatu tak bernama sejak saat ini!
Cheng Dao? Tidak... Namaku Chen Cheng Yi!!
Tiba-tiba muncul pergolakan batin yang hebat... Sepertinya ada banyak ingatan masa lalu yang kacau... Kepalaku sakit... Aku tak ingin memikirkannya lagi... Aku bergulat dan tiba-tiba terbangun.
Ini adalah gua tanah yang sederhana... Aku terbaring di lantai, semuanya terasa asing? Di mana aku? Aku hanya bisa memikirkan pertanyaan ini... Soal siapa diriku, untuk sementara kulepaskan!
"Pingsan selama tiga hari... Akhirnya kau sadar, Pemimpin Tertinggi?" Suara dingin yang terdengar tua terdengar di telingaku.
Kubalikkan kepala, seorang kakek dengan jubah putih yang sudah sangat kotor hingga warnanya nyaris tak bisa dikenali... Tapi aku tak asing dengannya, pernah kulihat...
Tak kubesarkan pikiran siapa dia, dengan reflek kutanya: "Aku pingsan selama itu?"
"Secara waktu, tidak lama... Tapi secara situasi, sudah sangat lama... Seiring dengan dikeluarkannya token Aliran Gunung Salju, sebelum pertempuran besar yang sesungguhnya, bentrokan-bentrokan kecil dari berbagai pihak telah dimulai. Waktumu tidak banyak."
