Waktuku tidak banyak lagi? Dengan tenang menatap orang yang datang……Dalam ingatan yang berantakan, aku tahu siapa dia, adalah pemimpin sebenarnya Aliran Gunung Salju sebelum aku menerima jabatan sebagai pemimpin.
Kekuatan kakek tua ini tak terukur……Saat dia melangkah mendekatiku selangkah demi selangkah……Dalam hatiku sudah ada penilaian tentang kemampuannya.
Menghadapi pernyataan "waktu tidak banyak", sikapku tetap tenang……Setelah terbangun dari pingsan, aku mulai mengingat apa yang terjadi sebelumnya……Dengan keluarnya token Aliran Gunung Salju, enam hari waktu……Tidak menimbulkan gelombang di komunitas praktisi spiritual luar, itu baru tidak normal!
Awalnya empat kekuatan besar yang dipimpin Yang Sheng sangat dominasi……Di balik empat kekuatan besar, mungkin ada juga yang mendukung keturunan Lao Li, hanya saja lingkaran ini rumit, terkadang sekte-sekte Jalan Benar sudah masuk ke kesalahpahaman, menganggap warisan tradisi spiritual lebih penting dari kebenaran dunia, tak terhindarkan memilih menjaga diri sendiri.
Adapun kekuatan lain yang mungkin juga mengerti, bahkan jika mengabaikan tradisi spiritual, tetap tidak bisa menciptakan riak ombak……Lebih baik diam-diam mengamati, daripada kekuatan kecil mereka sendiri ikut musnah dalam gelombang besar ini……
Kini aliran Gunung Salju telah mengeluarkan kartu komando, ini menjadi sebuah sinyal... Seperti ada pihak yang bisa mengintegrasikan empat kekuatan besar yang masing-masing memiliki agenda tersembunyi... Maka pastinya Jalan Benar juga memiliki kekuatan dominan untuk mempersatukan mereka... Aliran Gunung Salju jelas memenuhi syarat ini... Lebih tegasnya, sinyal ini adalah bentuk sikap... Selain memberi landasan bagi kekuatan yang selama ini mendukung keturunan Lao Li untuk memiliki sandaran yang legitimasi, juga memaksa pihak-pihak netral atau yang sedang menunggu untuk menentukan pilihan... Bagaimana mungkin telur utuh selamat jika sarangnya hancur?
Konflik fisik antar kekuatan besar seperti ini tidak mengizinkan pihak manapun berdiam diri melihat pertarungan harimau... Jalan Benar tidak akan tenang, Jalan Sesat pun demikian... Intinya harus memilih satu pihak untuk melanjutkan perjalanan... Bisa jadi ini baik tribulasi maupun kesempatan di ujung jalan...
Jadi, sebelum dua raksasa benar-benar bertabrakan... Kekuatan-kekuatan yang telah memilih pihak justru sudah saling berbenturan terlebih dahulu... Ini adalah bukti kesetiaan, bentuk konkret dari sikap dan pilihan yang dibuat.
Mengapa ini terjadi enam hari kemudian? Pertanyaan ini agak membingungkan... Setelah keluar dari gua bawah tanah, kuduga aku pingsan selama tiga hari. Lalu apa yang kulakukan selama tiga hari sebelum pingsan?
Ingatanku luar biasa tajam... Ini karena di dunia yang didambakan banyak orang, indera spiritualku juga termasuk yang terunggul, hingga Yang Mulia mau menerimaku sebagai murid... Sebagai anak pelayan pribadinya, mewarisi ilmu dan ajaran... Mengapa justru tiga hari itu yang hilang dari ingatanku?
"Apakah kehendak yang telah tenggelam itu masih memiliki memori yang tak terbuka untukku? Atau mungkin, karena kusarankan dia jangan menyerah... dia benar-benar bertahan? Tapi mengapa aku tak merasakan kehadirannya? Lelaki bernama Chen Cheng Yi itu... membuatku bingung, terkadang terlihat agak konyol."
"Tak kusangka pola pikir Dao Tongzi begitu terstruktur, seandainya aku pasti tak akan mampu memikirkannya." Saat aku merenungkan kemana Chen Cheng Yi pergi, tiba-tiba muncul dalam hatiku pikiran ini... Sekejap itu, aku merasa bingung, siapakah diriku yang sebenarnya? Atau seharusnya kukatakan, versi manakah yang merupakan diriku?
Namun di momen ini... Sesepuh aliran Gunung Salju yang mendekatiku telah berdiri tepat di hadapanku. Tatapannya seakan memiliki daya tembus yang menusuk... Tiba-tiba dia bersuara, "Pemimpin Tertinggi, sepertinya ada yang berbeda padamu."
Suaranya memutus alur pikirku yang kacau... Dalam sekejap, kekacauan dalam kehendak itu mereda. Kuhela napas perlahan... Ternyata Chen Cheng Yi masih ada, tapi agak melemah. Dalam proses penyatuan memori ini... Wajar jika terjadi konflik kehendak, meskipun pasif, kehendak tetap akan melawan...
Chen Cheng Yi... Apakah kau benar-benar melawan secara pasif? Atau tetap menjaga kejernihan, hanya memilih diam demi menghindari kesalahan di saat-saat krusial seperti ini?
Aku mengerutkan dahi sedikit, lalu memberi hormat ke pemimpin tertinggi aliran Gunung Salju itu sebelum berkata: "Memang ada beberapa masalah di pihakku... tapi takkan mempengaruhi tekad yang selalu kujunjung. Untuk saat ini semua itu tak perlu dibahas, kemampuan teknisku memang melemah, banyak hal tak bisa kukuasai... Yang ingin kukatakan..."
"Di sisa hari ini, akulah mentormu... Bukan sebagai guru resmi, tapi kita bisa saling memverifikasi ritual sihir. Selain itu, seluruh sumber daya aliran Gunung Salju terbuka untukmu. Tingkatkanlah dirimu semaksimal mungkin." Yang tak kuduga, sorot mata pemimpin tertinggi itu tenang sekali, sama sekali tak menanyakan kekacauan situasiku, hanya memberi penjelasan singkat seperti ini.
"Itu kabar terbaik. Mohon bimbingan Pemimpin Tertinggi." Hatiku terasa hening, peningkatan kemampuan memang yang paling kudambakan. Sesungguhnya, hatiku telah membeku, hidup-mati tak lagi kupedulikan... Tapi terlalu banyak hasrat terakhir yang ditinggalkan si makhluk itu. Karena dia adalah diriku, aku harus menyelesaikannya.
Meski kusadari... Kematian tubuh ini takkan membebaskannya, sebab roh yang tak musnah adalah energi abadi. Saat barrier hancur, selalu ada kehendak yang harus pudar untuk selaras dengan Langit...
Jika memungkinkan... Berjuanglah dengan DOMINASI, agar kusaksikan makna keberadaanku di hidup yang ini. Biarkan kebingungan dalam hatiku menemukan kejelasan: Di manakah letak kesalahanku sebenarnya?
"Bicara tentang kesalahan, tiba-tiba aku teringat sebelum kehendakku menekan diri sendiri... melihat siluet itu, wajah asing, aura diri yang tak dikenal... tapi di tubuhnya kutemukan aroma roh Wei Chaoyu, meskipun perasaannya bergelombang hebat, sama sekali tak ada hubungannya denganku, hanya terkait Chen Cheng Yi.
Ia tak mengenaliku... meskipun kehendakku sudah muncul... dan pasti ia juga tak ingat apapun dari kehidupan lampau, karena di tubuhnya selain aroma roh yang familiar, tak ada lagi yang dikenal.
Aku sangat ingin tahu semua masa lalu antara dia dan Chen Cheng Yi, memori itu tak pernah kusentuh... tapi tanpa alasan jelas karena teringat Wei Chaoyu, hatiku sakit, rupanya tetap tak kusentuh... Saat pertempuran besar menjelang, mengingat dendam yang terjerat masa lalu, apa artinya?
Saat aku sadar, kudapati pemimpin tertinggi sudah berjalan menuju bagian lebih dalam gua lumpur ini... Baru kusadari, gua tempatku berada ini berbentuk rumah besar, hanya mempertahankan wujud asli tanah dan batu tanpa dekorasi apapun... Meski terbaring di tanah... setidaknya area tempatku berbaring tersusun sangat rapi... Di kedalaman gua besar ini, ada jalur cabang yang sedang dilalui sang pemimpin tertinggi.
"Di manakah aku ini?" Mengikuti langkahnya, aku mulai bicara pelan.
"Puncak aliran Gunung Salju, gua tempat kau lihat aku keluar sebelumnya." Jawab pemimpin tertinggi langsung.
“Ke mana kita harus pergi sekarang?” Di saat ini, barulah aku menyadari bahwa tempatku berada dipenuhi energi spiritual. Hanya saja, di tempat tinggalku sebelumnya, bahkan desa biasa pun seperti ini... Jadi aku tidak pernah memperhatikannya. Tampaknya aku masih belum beradaptasi untuk melihat semua ini melalui pandangan-Nya.
“Tempat bertapa terbaik dari aliran Gunung Salju yang sebenarnya.” Begitu jawab Pemimpin Tertua padaku. Sambil berbicara, dia telah membawaku ke sebuah pintu besi.
Pintu besi itu bergaya kuno, tapi sama sekali tidak memiliki dekorasi... Pemimpin Tertua berhenti di sini. Tidak mendorong pintu maupun melakukan gerakan apapun. Setelah terdiam sejenak, dia menatapku dan berkata: “Dibanding sebelumnya, kau tampak lebih tenang, kalem, memiliki energi seolah ombak menghantam tebing tapi aku tetap tegak tak bergeming... Hanya saja, energi ini lemah karena kau tidak memiliki akar leluhur... Sekali roboh akan hancur berantakan. Sesungguhnya, dirimu yang seperti ini dari segi manapun lebih cocok menjadi Pemimpin Aliran Gunung Salju... Tapi secara pribadi, aku... lebih menyukai dirimu yang dulu.”
Raut wajahku tetap tenang. Masalah siapa yang lebih disukai orang lain sama sekali tidak memengaruhiku... Tapi hatiku tidak tenang. Kerikil yang membuat danau hatiku beriak berlapis-lapis tak lain adalah kalimat itu - karena aku tidak memiliki akar leluhur.
Kalimat ini terlalu familiar... Tahun itu, salju tebal menyelimuti pintu gerbang gunung kami. Sang Yang Mulia yang jarang keluar dari retret tiba-tiba mengajakku menikmati salju... Tapi pemandangan salju bagiku hanyalah awan berlalu di dunia fana. Dengan khidmat aku mengikuti di belakang Sang Yang Mulia, tapi tidak larut dalam keindahan salju.
Dalam pemahamanku, Langit seharusnya merupakan kumpulan aturan mutlak yang adil dan tak bisa diubah. Maka kita harus memandang segala sesuatu dari sudut pandang yang terpisah... Dalam proses mencari Tao, aku harus melepaskan tujuh emosi dan enam keinginan lapis demi lapis, hingga akhirnya menjelma menjadi aturan itu sendiri. Baru dengan begitu aku bisa benar-benar mendekati Jalan Suci, mencapai ujung jalan ini... Karena itu, mustahil bagiku untuk menikmati salju. Kukira ini hanya ujian dari Yang Mulia.
Tak disangka Yang Mulia akhirnya mendeteksi ketidakfokusanku yang mengikutinya dari belakang... Ia pun menghela napas dan berkata: "Cheng Dao, meski terlihat teguh dalam Jalan Tao, kau sebenarnya tak berakar... Sesuatu yang tak berakar, bahkan gunung tinggi yang menjulang di permukaan tanah pun tak punya akar yang menghunjam ke Tanah... Sedikit tribulasi saja bisa membuatmu hancur total... Semakin besar gunungnya, saat roboh akan semakin menggegerkan dan tak tertolong."
Kini, di dunia asing ini... Seorang sesepuh tak dikenal malah mengucapkan kata-kata yang sama. Apa artinya ini?
Aku bukan orang yang merasa bisa memahami segalanya... Tapi Yang Mulia pernah berkata, tak ada salahnya bertanya. Maka kulanjutkan dengan pertanyaan: "Apa sebenarnya makna akar kehidupan itu?"
Sesepuh tua itu tak menoleh. Ia justru mendorong pintu gerbang di depannya. Dalam hempasan energi spiritual yang menerpa, suaranya bergema: "Akar kehidupan adalah hati yang transparan. Bukan hati yang sejak lahir sudah jernih, melainkan hati yang tetap bening setelah berguling dalam lumpur dan tercuci bersih."
