Inilah waktunya... Perasaan tak terucapkan menggelora di hatiku. Kuputar badan dan kulihat cahaya menyilaukan di langit miring dekat kuil tua itu... Ruang yang semakin terdistorsi, seolah ada sesuatu yang akan menerobos keluar dari kehampaan!
Ruxue dan Ruyue telah sampai di sampingku, Qiangzi pun datang... Kukira kali ini mereka tak akan ikut, ternyata tetap akan menemani perjalananku.
“Betapa aku ingin memeluk Ruyue, ingin berbicara beberapa patah kata lagi dengan Ruxue... ingin menghibur Qiangzi yang sedang heboh... Tapi di saat seperti ini, hanya tersisa SATU hal yang bisa kulakukan: menerjang ke depan tanpa peduli apapun!
Jalur kecil yang terselip di antara batu-batu berantakan itu terlihat jelas sekali di saat seperti ini... Aku melompat turun dari batu shi, tak lagi memandang medan perang yang ricuh, menunduk dan langsung berlari menuju jalur kecil itu!
Angin menderu menyapu telingaku... Disertai teriakan pilu terakhir yang bergema dari depan... Kujalani jalur itu, persis melihat di seberang medan perang... Seorang prajurit nekat menerjang Yang Sheng, berusaha memeluknya... Tapi tubuhnya tertembus tinju Yang Sheng yang menggema... Ia berteriak, kedua tangan mencengkeram erat... Namun ditolak dengan kejam oleh Yang Sheng, mayatnya terjatuh ke tanah... Yang Sheng meremehkan menggoyangkan butiran darah di tinjunya.
"Kau tidak mau menungguku, Chen Cheng Yi?" Yang Sheng melirikku, tiba-tiba berkata begitu.
Baru berjalan beberapa langkah... Aku langsung merasakan energi spiritual yang mencengangkan menerpa... Diikuti tekanan yang sama sekali berbeda dengan dunia fana ini meremukkan tubuhku... Seolah tiba-tiba berada di tempat dengan gravitasi 1-2 kali lipat dunia biasa, tekanan ini tak hanya menghimpit raga fisik tapi juga meremukkan roh.
“Bertahanlah, beradaptasi dengannya, kalau tidak bagaimana kau bisa bertarung di tempat ini? Sampaikan pesan ini kepada semua orang.” Pada saat ini, kekuatan jiwaku tiba-tiba menerima transmisi kehendak yang mulai mengingatkanku tentang situasi di sini, di tengah kebingungan perasaanku yang begitu kompleks.
Itu Guru leluhur... Sisa roh Guru leluhur yang selama ini tidur lelap akhirnya menunjukkan reaksi di saat-saat genting ini...
Aku berduka untuk prajurit itu, hingga kini bertarung, dia adalah satu dari tiga prajurit tersisa... Tak disangka akhirnya mati di bawah tinju Yang Sheng... Kemarahanku menghadapi provokasi Yang Sheng memuncak, namun kata-kata yang keluar dari mulutku berubah menjadi: "Bertahanlah di sini, usahakan beradaptasi, kalau tidak tak ada cara untuk bertarung."
Pada titik ini, hampir seluruh diriku telah menjadi pemikiran Chen Cheng Yi, namun tanpa kusadari. Kecuali sedikit rasa kaku yang tersisa, apa bedanya aku dengan Chen Cheng Yi?
Alam semesta berubah warna, di langit... Serangga Gu yang beterbangan mulai menghilang, berubah menjadi warna-warni... Serangga Gu terdepan bertemu dengan burung elang tua raksasa itu...
Di tanah... Gerombolan ular berwarna-warni bertabrakan dengan kawanan serigala yang maju terdepan, terlibat perkelahian sengit...
Di tengah semua ini, Yang Sheng tampak sama sekali tak terpengaruh, sekali lagi nekat berlari ke depan... Seorang prajurit lagi menerjang ke arah Yang Sheng...
Hasilnya sama: darah berceceran, mayatnya roboh lemas ke tanah... Kembali Yang Sheng mengibaskan darah di tinjunya dengan sikap meremehkan... Lalu melanjutkan perjalanannya.
Hatiku tiba-tiba mulai dilanda kesedihan, gigiku nyaris remuk. Mengapa tak bisa lebih cepat? Aku ingin berlari menggunakan tangan dan kaki... Tapi jalan berkelok-kelok ini jaraknya cukup jauh... Semakin mendaki, tekanan yang dirasakan semakin besar.
Sampai saat ini, aku masih belum mengerti mengapa begitu banyak generasi muda mengelilingiku, mendaki jalan setapak ini bersamaku... Aku hanya tak bisa menahan kesedihan yang menyiksa. Sementara aku berjuang mendekati kuil itu, kulihat Biksu Hui Jue selangkah demi selangkah menghampiri Yang Sheng.
Pecahan cahaya Vajra yang berlinang air mata jatuh ke tubuh Biksu Hui... Lapisan sinar emas itu mengecat seluruh tubuhnya menjadi keemasan... Di balik kilau itu, terlihat otot-otot aerodinamis yang membuatku baru pertama kali melihat sisi penuh kekuatan dari Biksu Hui.
Di belakangnya bukan satu melainkan tiga Vajra bermata menyala... Aku teringat tato tambahan di tubuhnya.
Tiba-tiba kusadari, sepertinya perjuangan Biksu Hui sampai saat ini semata untuk menghadang Yang Sheng di momen ini... Seperti dikatakan Pemimpin Jenny, sesepuh aliran merencanakan segalanya hingga mengorbankan nyawa tiga tetua aliran ramalan... Semua telah diatur sedemikian rupa.
Yang Sheng awalnya sedang menyentak ke arah jalan setapak ini... Melihat Biksu Hui yang mendekatinya selangkah demi selangkah, perlahan ia mengurangi kecepatan dan mulai berjalan menghampiri sang biksu...
Pada saat itu, salju kembali terdengar... tanpa alasan jelas berubah menjadi serpihan es halus bercampur tetesan hujan tipis... Angin menderu 'huuuh' menerpa... Membawa suara Paman Chen: "Kakek Hui Jue, aku sudah siap... Kau bisa bertarung sepenuh hati, Kakak Jiang akan menjemputmu."
"Oke!" Balasan untuknya adalah suara Hui Dàye yang penuh semangat heroik... Di saat ini, Hui Dàye tiba-tiba mempercepat lari... Tinjunya terkepal, menerjang Yang Sheng tanpa menoleh.
Dari belakangku terdengar desahan tertekan Huigen... Dua aliran air mataku akhirnya tak tertahan lagi, mengalir dari kelopak mata...
Orang tua itu yang pertama kali muncul dalam hidupku, berpenampilan seperti pejabat tua... Yang menyayangiku seperti guruku, suka curang saat main catur, tergila-gila pada telur ayam... Yang penuh kekuatan, selalu berada di garis depan medan perang...
Itulah Hui Dàye!
Di saat ini, pukulan pertamanya akhirnya menghantam tubuh Yang Sheng... Yang Sheng mundur setengah langkah... Tapi pukulan kilatnya juga mengenai tubuh Hui Dàye... Kilau emas di tubuh Hui Dàye seperti lapisan yang pecah, darah memancur dari mulutnya, mundur tiga langkah.
Kekuatan Raja Mayat! Setidaknya Yang Sheng memiliki kekuatan setara Raja Mayat...
"Lagi!" Teriak Hui Dàye... Melompat ke atas dan kembali menyerang Yang Sheng, sementara Yang Sheng dengan ekspresi datar juga melompat menyambutnya.
Gerakan mereka sangat cepat……Suara benturan kekuatan mereka bagaikan tabuhan tambur besar……Seluruh gerombolan ular dan kawanan serigala yang terjerat di bawah tubuh mereka, semuanya menghindar……
Aku menyeka air mata dengan kasar, tapi kulihat tubuh Paman Chen terus-menerus bergetar……Air mataku kembali menetes……
‘Boom’, sekali lagi terjadi tabrakan yang menggegerkan……Kakek Hui Jue terguling dan jatuh di tanah……Di hamparan salju kosong itu, Kakek Hui Jue terbaring sambil melolong panjang ke langit……Tiba-tiba ia bangkit dan berlari menghantam Yang Sheng……
Kali ini situasi lebih buruk……Tinju Yang Sheng bagaikan senjata mesin paling ganas, bertubi-tubi menghujam tubuh Kakek Hui Jue……Menghadapi kekuatan dahsyat ini, Kakek Hui Jue hampir tak bisa melawan……Tapi dia tetap bertahan, setiap ada kesempatan, tinjunya menyambar memberi pukulan balasan pada Yang Sheng……
Angin masih membawa erangan Huigen yang berkeliaran……Lalu terdengar desahan berat Kak Cheng Xin……Aku tak berani menoleh……Aku takut melihat mata berkaca-kaca Kak Cheng Xin.
Kulihat tubuh Paman Chen bergetar hebat……Lalu tiba-tiba duduk bersila dengan punggung melengkung……Kepalanya terkulai, kudengar suaranya seakan keluar dari dalam rohnya.
“Kakek Hui Jue, aku sudah tak sanggup, sampai di sini saja……Minumlah obatmu.” Kalimat itu mengambang di medan perang……Tubuh Paman Chen sudah membeku dalam posisi duduk bersila.
Di hadapannya adalah pecahan keramik yang berserakan... Rambutnya yang seluruhnya memutih, berkibar dalam tiupan angin...
Aku tak bisa melihat ekspresi Hui Dàye, tak bisa melihat ekspresi Guruku... Tak bisa melihat raut Paman Chen yang sedang sibuk menyusun formasi di depan Guruku... Kudengar isak tangis pilu Kak Cheng Xin, aku ingin menoleh, tapi dia berkata: "Jangan bergerak, maju terus!"
Air mata ini terasa panas... Membakar hingga roh gemetar tak terkendali... Hui Dàye tiba-tiba menengadahkan leher menelan sebutir pil, lalu kembali menerjang ke arah Yang Sheng...
Lagi-lagi pertarungan yang tak seimbang... Hui Dàye hampir kehabisan tenaga... Tangannya tak mampu lagi mengepal... Hui Dàye tiba-tiba mengaum bak harimau, memeluk erat-erat Yang Sheng dengan sekuat tenaga menghalangi langkahnya...
Formasi besar dari kedua pihak membuat awan dan angin berubah warna... Energi yang semakin menggila terkumpul... Siluet Hui Dàye di tengah semua ini terlihat begitu lemah... Namun juga begitu agung...
"Lepaskan..." Tinju Yang Sheng menghunjam punggung Hui Dàye, darah segar menyembur dari mulutnya, tapi pelukan itu tak kunjung lepas...
"Lepaskan..." "Lepaskan..." "Lepaskan..." Pukulan bertubi-tubi Yang Sheng menghantam tubuh Hui Dàye... Lapisan demi lapisan kilau emas berhamburan pecah...
Itu setara kekuatan minimal Raja Mayat...
"Guru, lepaskanlah." Huigen di belakangku menangis tersedu-sedu, namun tak berani menghentikan langkah... Kukekang tubuh Huigen, telapak tanganku yang bergetar menempel di kepalanya.
Akhirnya... Tubuh Hui Dàye meluncur lemas ke tanah... Aku tak berani memastikan apakah saat ini aku telah kehilangan dia...
Tapi kulihat Yang Sheng kembali mengangkat tinju ke arah tubuh Hui Dàye yang tak bergerak di tanah!
"Jangan! Guruku!" Teriakan Huigen... menggema... Tinju Yang Sheng menghunjam.
Tubuh Hui Dàye menggeliat keras sekali, lalu rebah tak bergerak... Jantungku serasa terpotong seribu pisau... Sakitnya sampai hampir menghancurkan gigiku!
