Feng Bujue terus berjalan menyusuri terowongan ke bawah. Pemandangan mengerikan sebelumnya tidak berpengaruh padanya, dia masih berjalan normal tanpa tekanan.
Tak lama kemudian, dia sampai di ujung terowongan - sebuah gudang bawah tanah sempit dan lembab.
Di gudang terdapat pintu penjara besi. Ini tidak aneh, karena di era yang lebih kuno, gudang bawah rumah besar seperti ini memang biasa digunakan sebagai penjara untuk tujuan jahat. Kini berubah menjadi tempat penyimpanan peti mati. Lantai dan dinding koridor dilapisi pelat tembaga dengan rapi. Pintu besi berat itu mengeluarkan bunyi engsel yang luar biasa mencekik saat dibuka. Di tengah ruangan berdiri peti mati yang bahkan dari kejauhan dengan sorot senter terlihat jelas bahwa tutupnya tidak dipaku dengan benar...
Dengan santai Feng Bujue mendorong pintu besi masuk. Tapi dia tidak buru-buru membuka tutup peti, melainkan menyorotkan senternya ke dinding sekeliling. Di salah satu dinding ditemukannya lagi fragmen "Istana Hantu" yang kali ini ditulis dengan darah:
【Namun raja iblis berjubah duka,
Membunuh sang raja mulia;
（Ah! Mari kita ratapi, fajar takkan menyinarnya lagi, sungguh nestapa!）
Kemegahan yang menyelimuti kediamannya,
Pernah berkembang bak bunga mekar,
Kini menjadi kenangan suram,
Ingin dikubur zaman.】
“Hmm… bagian kelima ya.” Feng Bujue bergumam pelan setelah selesai membaca.
Suara notifikasi sistem berbunyi:【Update Progress Tugas Sampingan】
Informasi di kolom tugas berubah menjadi:【Temukan enam bagian "Istana Hantu", progres saat ini 3/6】
Feng Bujue mendekati peti mati, satu tangan memegang senter, tangan lain mengepal longgar mengetuk papan peti mati tiga kali seperti mengetuk pintu: “Tok-tok-tok. Hei, Nona Madeline, masih di situ?” Entah bagaimana dia tahu nama itu.
……
Seiring waktu, nilai teror Yongzhe Wudi perlahan naik ke 15% dan stabil di angka itu. Paniknya bukan karena bertemu monster nyata, tapi karena setelah beberapa waktu mencari, dia tak bisa menemukan jalan keluar dari lantai dua…
Setiap koridor, setiap ruangan, lukisan di dinding, lampu dinding, hingga dekorasi terasa asing namun sekaligus familiar.
Bangunan ini menunjukkan anomali ruang yang jelas. Interiornya jauh lebih luas dari yang terlihat dari luar. Panjang koridor seolah terus berubah-ubah. Menghitung pintu di kedua sisi koridor selalu menghasilkan jumlah berbeda. Hingga saat ini, Yongzhe Wudi juga belum pernah mencapai ujung koridor manapun. Setiap kali sampai di ujung suatu bagian, dia selalu menemukan belokan baru atau persimpangan berbentuk T.
"Melakukan aktivitas berjalan biasa, konsumsi stamina sangatlah kecil. Hanya dengan berjalan 'dalam waktu lama' baru akan terjadi penurunan stamina yang signifikan. Hal ini cukup mirip dengan kondisi di dunia nyata. Jika Anda menyuruh seseorang berjalan kaki terus-menerus selama lebih dari 20 menit, mereka akan mulai merasa sedikit lelah. Lebih dari 40 menit akan terasa pegal di kaki. Jika lebih dari satu jam, pasti harus berhenti untuk istirahat. Tentu saja contoh ini berlaku untuk orang biasa, bukan atlet profesional."
Kelelahan ini terakumulasi secara bertahap, semakin lama semakin nyata. Di bawah erosi rasa takut, reaksi percepatan Yongzhe Wudi (Pemberani Tak Terkalahkan) semakin menjadi-jadi. Ketika melihat nilai stamina mulai turun dengan kecepatan yang terlihat, alih-alih memilih beristirahat dengan tenang, malah memilih untuk mempercepat langkah...
Dia bukan lagi sedang menjelajah, melainkan sedang melarikan diri.
Ada isyarat psikologis kuat yang diterimanya: jika tidak segera melakukan sesuatu, bukan hanya terjebak, ketika stamina turun sampai tingkat tertentu, mungkin ada sesuatu dalam kegelapan yang akan menghampirinya...
"Haah... haah..." Napas Yongzhe Wudi menjadi berat. Dia melihat menu permainan, stamina-nya masih sekitar 1000, dan dia tidak sedang berlari, hanya berjalan cepat. Seharusnya tidak seperti ini.
Dia berhenti, kedua tangan menopang lutut, mengatur napas, menelan ludah. Saat itu tiba-tiba dia merasa ada sesuatu yang aneh di perutnya, tapi tidak bisa menjelaskan sensasi apa sebenarnya.
“Ada apa ini…” Yongzhe Wudi bergumam pelan, monolog dalam hati sedikit mengurangi efek rasa takut dan membantunya fokus.
Tiba-tiba matanya menangkap sesuatu. Ia memalingkan wajah dan terkejut menemukan cermin besar setinggi 2 meter berpigura kayu berukir sederhana namun apik, tertanam di dinding koridor.
“Aneh… Tadi ada ini?” tanyanya tak percaya, raut bingung terpancar di wajahnya.
Yongzhe Wudi sudah lama berjalan membungkuk dengan pandangan kosong ke ujung koridor, tak lagi memperhatikan pintu-pintu samping maupun ornamen seperti lukisan, lampu dinding atau patung. Tapi cermin sebesar ini di koridor yang tidak terlalu lebar seharusnya langsung menarik perhatiannya.
Saat pertama melihat cermin, posisinya masih setengah membungkuk dengan tangan menopang lutut. Namun saat memfokuskan perhatian ke cermin, refleks tubuhnya langsung tegak dan menghadap penuh ke kaca. Gerakan ini membuat nyaris pingsan.
Bayangan di cermin tampak sama dengan aslinya, kecuali bagian perut: seluruh rongga perutnya terbuka tanpa kulit maupun pakaian, usus terlihat jelas bergelantungan.
Pahlawan Tak Terkalahkan langsung menarik napas tajam, wajahnya pucat pasi, mundur beberapa langkah hingga punggungnya menempel di dinding seberang koridor. Matanya membelalak, napasnya terhenti hampir sepuluh detik.
"Ilusi... Ini ilusi..." Setelah sedikit tenang, ia mendekati cermin dengan wajah garang, "Mau nakuti siapa... Cuma lihat organ dalam sendiri." Meski bicara begitu, nilai ketakutan tak bisa dibohongi, tetap saja dia ketakutan. Tapi saat ketakutan memuncak, reaksi manusia berbeda-beda - marah dan bersikap kasar adalah salah satunya.
Pandangan Pahlawan Tak Terkalahkan tertarik ke bagian perutnya di cermin. Terlihat ususnya seolah masih bergerak-gerak. Diamati lebih seksama, detail menyeramkan mulai terlihat...
Penampang melintang usus itu semakin aneh... Itu terlihat seperti... seperti sebuah koridor!
Tulang punggungnya serasa diguyur air es, lehernya kaku tak bisa menoleh. Dua detik kemudian, dengan teriakan marah ia menendang cermin itu hingga pecah, lalu berbalik ingin pergi.
Tak disangka, saat berbalik koridor dihadapannya kini dipenuhi cermin-cermin serupa. Semua pintu kamar telah lenyap, digantikan cermin yang ada di mana-mana.
“Ah！！！” Wu Di-ge menderu, menatap lurus ke depan sambil berlari sekuat tenaga. Ia tak tahu apakah ini halusinasi atau perubahan nyata pada rumah besar itu, namun ia merasakan ketakutan dan bahaya. Tak sedetik pun ia ingin berlama-lama di koridor-koridor ini.
Brak! Sebuah siluet manusia menabrak kaca jendela hingga pecah, menerobos keluar dari lantai dua rumah besar.
Saat terjatuh dari udara, Yong Zhe Wu Di sama sekali tak siap. Sedetik sebelumnya matanya masih melihat koridor tempatnya berlari di bagian tengah, jalan di depan jelas terbuka. Sedetik berikutnya, rasa sakit akibat pecahan kaca yang melukai kulit dan benturan tiba-tiba datang. Seolah menabrak sesuatu, tubuhnya langsung kehilangan keseimbangan dan mulai terjatuh.
Pada momen singkat sebelum kematiannya, ia melihat pemandangan di luar rumah.
Tembok batu berlumut, pepohonan kering yang mengelilingi, serta bayangan hitam besar yang terdistorsi di kolam mati pegunungan. Aura menyeramkan merembes dari air kolam, dinding gunung, dan kedalaman rumah besar. Kegelapan menyelimuti dunia materi maupun jiwa.
Dalam kesunyian tak berwujud, Yong Zhe Wu Di jatuh ke kolam pegunungan di luar rumah. Rawa-rawa berhawa setan itu menelannya bulat-bulat. Tak setitik pun suara keluar dari tenggorokannya. Rumah megah itu bagai siluman dingin yang memandang jatuhnya nyawa lain.
Yang terakhir terekam di mata pemain profesional ini... bulan darah redup yang tenggelam di ufuk barat.
……
【Anggota Tim: Pahlawan Tak Terkalahkan, telah meninggal, sebuah barang quest dipindahkan】
Suara notifikasi sistem berbunyi, membuat Wang Tanzhi dan Long Aomin terkejut.
"Apa mungkin! Pemain profesional level 15 langsung mati begitu saja!" seru Wang Tanzhi. Ia sengaja membuka menu permainan untuk memeriksa kolom tim. Benar saja, nama pemain di sana berubah abu-abu dengan tulisan "Bertahan hidup" berganti menjadi "Telah meninggal".
Saat ini, Long Aomin dan dia telah menjelajahi banyak ruangan, tapi tidak menemukan petunjuk berarti selain beberapa jebakan lantai ambruk dengan paku di bawahnya. Tak ada petunjuk maupun hadiah.
"Kalau kita berpisah dan bertindak sendiri, bahaya yang tadi kita hadapi mungkin juga mematikan," balas Long Aomin. "Aku khawatir apakah Brother Feng juga dalam bahaya kalau bertindak sendirian."
"Soal Brother Jue... jangan khawatir. Karena dia sendiri yang mengusulkan berpisah, pasti sudah memperhitungkan risikonya," kata Wang Tanzhi. "Ngomong-ngomong, tadi di ruang login kubaca penjelasan game: kalau pemain mati membawa barang quest, item itu akan muncul secara acak di dekat rekan setim."
Long Aomin yang lebih berpengalaman dalam quest tim menjawab, "Ya, aku tahu. Mari kita cari sekarang."
Keduanya segera mencari di sekeliling, namun seperti pepatah "tak sengaja menanam willow malah tumbuh subur", mereka tidak menemukan surat itu, justru menemukan puisi Istana Hantu di bawah tumpukan barang-barang:
【Pelancong di lembah sukacita,
Melalui dua jendela bercahaya terlihat:
Peri menari gemulai mengikuti irama,
Bersama denting kecapi yang merdu,
Mengelilingi singgasana sang raja,
"Akal Budi" Yang Mulia,
Berwibawa dan agung,
Penguasa negeri, penuh kewibawaan.】
【Pembaruan Kemajuan Misis Sampingan】
【Temukan semua enam bagian "Istana Hantu", progres saat ini 4/6】
