"Rumah yang kosong melompong..." gumam Feng Bujue sambil memasuki rumah.
Rumah panjang ini memang sangat kumuh. Dibangun dengan struktur batu dan kayu, tiang-tiang kayu di dalamnya penuh retakan di dinding, beberapa bagian sudah ditambal semen sepertinya belum lama ini. Hanya ada satu jendela selebar satu meter dengan jeruji kayu, bukan kaca. Di atas jeruji terdapat tirai yang digantungkan pada balok kayu sederhana. Jika angin bertiup dari arah jendela, pasti hujan akan langsung menerobos masuk melalui celah jeruji.
Interior rumah terbagi dua ruangan dipisahkan bingkai pintu tanpa daun pintu. Ruang depan bisa disebut ruang tamu seluas sepuluh meter persegi. Lantai kayunya dipenuhi lemari setinggi dada di sudut, meja bundar rendah di tengah ruang dikelilingi tiga tatami.
Langit-langitnya cukup rendah, di tengahnya terdapat bohlam yang digantung dengan kabel, saat ini sedang menyala.
Feng Bujue berjalan ke ruangan sebelah dan mengintip ke dalam. Ruangan itu lebih sempit daripada "ruang tamu", di lantai tergeletak kasur yang sudah memenuhi separuh ruang, di samping bingkai pintu terdapat lemari pakaian. Ruang dalam ini bahkan tidak memiliki lampu, artinya penghuni harus mematikan lampu di ruang tamu terlebih dahulu sebelum meraba-raba masuk ke kasur di ruang dalam saat hendak tidur.
Tentu saja... rumah ini memang minim perabotan, secara teori berjalan dalam gelap tidak akan menabrak apa pun.
"Keterlaluan..." Feng Bujue menutup pintu sambil bergumam, "Hanya ada listrik tanpa air... toiletnya umum semua." Saat masih di luar, dia sudah memperhatikan siluet seperti bilik telepon di halaman deretan rumah panjang itu, diduga itu adalah toilet darurat.
【Tugas saat ini selesai, Misi utama telah diperbarui】
Belum sempat duduk, peringatan sistem berbunyi. Feng Bujue membuka menu dan melihat tanda centang sudah muncul di samping quest 【Pulang ke rumah】, sementara quest baru yang muncul adalah: 【Tinggal di rumah hingga subuh】
"Hah?" Ekspresi Feng Bujue menunjukkan ketidaksenangan: "Harus menginap semalaman di sini?"
Saat itu di luar rumah, badai bertiup kencang disertai petir menggelegar. Meskipun tirai tertutup, angin dingin menyusup melalui jeruji jendela. Bayang-bayang samar di balik tirai bergoyang-goyang, entah itu bayangan ranting pohon yang tertiup angin atau sesuatu yang berkeliaran di luar...
Meskipun ada listrik di rumah ini, satu-satunya barang elektronik hanyalah bohlam lampu. Jangankan televisi, radio pun tak ada. Sekalipun Feng Bujue tidak disiksa oleh rasa takut, kebosanan pasti akan menyiksanya...
"Kukira kesulitan Nightmare hanya berarti tingkat pertarungan yang ekstrim..." Feng Bujue mendekati lemari kayu di ruang tamu, "Ternyata settingannya seperti ini..." Ia membuka pintu lemari ke samping. Di dalamnya terdapat termos air panas, dua cangkir teh, dan teko teh yang tersusun rapi di atas nampan kayu bundar.
Karena semuanya hitam-putih, Feng Bujue tidak bisa membedakan warna benda-benda tersebut. Ia mencoba mengangkat termos yang hampir penuh ini, lalu mengeluarkan semua perlengkapan tersebut dan menaruhnya di meja rendah.
Kemudian ia kembali ke lemari dan menemukan tabung kecil berisi daun teh di rak atas. Pada tabung itu tertulis karakter "" (teh), tanpa keterangan nama, jenis, atau tanggal produksi sama sekali.
"Hmm... Walaupun ini cuma tempat tinggal sementara karena bencana, tapi bisakah benar-benar ditinggali begini..." Feng Bujue berkata: "Air ledeng saja tidak ada, mau ke toilet harus ke luar; kalau mau mandi pasti harus ke pemandian umum; bahkan peralatan makan pun tidak ada... Tapi meskipun ada, setelah makan di rumah ini juga tidak bisa mencuci piring." Dia menggunakan air dari termos untuk membasuh teko dan cangkir, lalu langsung membuang airnya. Kemudian membuka tabung berisi teh, mengambil segenggam kecil dan memasukkannya ke teko, menyeduh minuman tak jelas, lalu menuangkan secangkir untuk dirinya.
Karena dalam quest tidak bisa mengubah peralatan di slot pakaian, artinya tidak bisa melepas baju ini, Feng Bujue terpaksa memeras pakaiannya sebisa mungkin, lalu membiarkannya kering secara alami sambil tetap mengenakannya.
Saat ini dia menyeduh teh panas, menggenggamnya di tangan, setidaknya bisa meredakan kedinginan di tubuhnya.
"Mengurangi informasi dan petunjuk yang diberikan, sekaligus menaruh banyak FLAG kematian instan, plus mengolah tingkat horornya... Inilah ciri khas tingkat kesulitan nightmare." Feng Bujue berpikir: "Pilihan yang tampak sembrono mungkin akan membawa malapetaka." Saat mengingat pengalaman barusan, barulah dia tersadar: "Kalau aku salah bicara atau menunjukkan ketakutan, mungkin Kuchisake-onna langsung membunuhku. Belum lagi monster di tiang listrik tadi..."
Ia menengok ke arah jendela, di luar hujan masih mengguyur deras: "Sepertinya tidak ada batasan waktu dan ruang, tapi kalau benar-benar mengabaikan misi utama dan pergi menjelajah, mungkin baru melangkah ke jalan sudah memicu FLAG acak yang menyebabkan kematian. Dari sudut pandang worldview quest ini, harus memiliki kemampuan bertarung ilmu spiritual yang kuat untuk mendapatkan kebebasan tertentu... Kalau tidak, sulit diprediksi."
Setelah meneguk teh hangat lagi, ia bergumam: "Lebih baik ikuti misi utama dengan patuh... Paling-paling hanya diteror terus-menerus, di sisi pertarungan seharusnya tidak sampai terjebak dalam situasi genting." Ia meletakkan cangkir, "Tapi... sungguh membosankan. Apa aku harus tidur di dalam quest ini? Ngomong-ngomong, bahkan tidak ada koran di rumah ini..."
"Oh—"
Tiba-tiba, terdengar erangan aneh.
"Uuu— ekk—"
Disusul dua suara lagi yang memanjang, terdengar seperti suara nenek sihir tua.
Suara itu berasal dari arah dinding, tepatnya dari rumah "tetangga".
"Ini mau apaan sih..." Feng Bujue memalingkan wajah ke arah sana, "Badai besar sedang melanda... Masih sempat melakukan ritual pemanggilan arwah di dalam rumah?"
Feng Bujue merenung, situasi ini mungkin bagian dari misi utama, seharusnya ia memberikan respons.
"Hey— yang di sebelah sana, kamu baik-baik saja?" teriaknya ke arah dinding.
Seketika, suara itu terhenti mendadak.
“Apa-apaan… mati?” Feng Bujue yang semula duduk bersila di lantai, mendadak terdiam saat suara di seberang hilang. Dengan tangan dan lutut menopang tubuhnya, ia bergerak pelan ke dinding sambil menempelkan telinganya.
Kreek—
Suara pintu membuka, diikuti langkah kaki. Sepertinya tetangga sebelah baru saja keluar rumah.
“Jangan-jangan mau mengetuk pintuku.” Feng Bujue merayap ke belakang pintu kamarnya. Dari sini hanya terdengar deru angin dan hujan. Setelah menunggu cukup lama, tak ada yang datang.
Karena tak merasa takut, Feng Bujue memutuskan membuka pintu untuk memastikan keadaan tetangganya. Dengan kunci pipa di satu tangan, ia perlahan memutar gagang pintu dan mengintip melalui celah sempit…
