Saat mendorong pintu kuil, Feng Bujue mengira akan mendengar suara kayu berderit dan disambut debu beterbangan.
Nyatanya, pintu itu terbuka dengan lancar sekali, poros kayu kedua daun pintu hampir tidak bersuara seolah masih baru. Pemandangan di dalam juga tidak dipenuhi sarang laba-laba atau debu tebal.
Di dalam terdapat ruang ibadah Buddha tanpa pintu atau ruangan lain. Cahaya dari luar menyelinap melalui celah jendela, membuat pemain tetap bisa melihat jelas tanpa senter.
Ruangan memiliki dua balok langit-langit dan empat pilar. Lantai dari batu bata abu-abu kebiruan, dinding terbuat dari kombinasi bata dan kayu.
Di kedua sisi ruang Buddha, terdapat dua rak kayu berlapis perunggu berwarna merah yang menempel di dinding. Rak-rak ini memiliki empat tingkat, setiap tingkat dipenuhi lilin putih. Namun saat ini, semua lilin tersebut belum dinyalakan.
Di ujung ruang Buddha yang berseberangan dengan pintu utama, hanya terdapat satu patung Buddha yang dipuja - sebuah patung Buddha tanpa kepala.
Tubuh patung Buddha berdiri tegak, tangan kanannya membentuk mudra dengan telapak tangan menghadap ke depan. Sedangkan tangan kiri dan kepalanya telah hilang tak berbekas.
"Hmm... Sulit menentukan dewa mana ini hanya dari posturnya." Feng Bujue bergumam sambil berjalan mendekat, "Patung lacquer kering dengan teknik Jia Zhu ini... Barangkali berasal dari Dinasti Yuan..."
Tiba-tiba, tangan Siyu menekan bahu Feng Bujue dan menariknya mundur. Persis pada saat itu, gumpalan asap hitam muncul dari lantai tak jauh di depan mereka.
Sebelumnya, perhatian Feng Bujue tertuju pada patung Buddha sehingga tidak menyadari bahaya di kakinya. Andai bukan karena tarikan Siyu, mungkin dia sudah menginjaknya.
Asap hitam itu berkumpul tanpa menghilang, kemudian dari dalamnya muncul sosok manusia.
Sosok yang muncul dari asap itu adalah seorang biarawan tua berjubah kasaya. Kulitnya keunguan, janggut putih, pupil mata hitam pekat, penampilannya mengerikan meski wajahnya terkesan tegas dan berwibawa, tidak seperti penjahat.
"Kalian siapa? Apa maksud datang ke Kuil Cangling?" tanya biarawan jahat itu.
"Kami hanya orang yang lewat," jawab Feng Bujue. "Kami dengar ada arwah penasaran yang mengganggu di sini, jadi datang untuk menyelidiki."
“Orang yang lewat? Hmph…” Biksu Iblis itu melanjutkan: “Lao Na melihat kedua tuan telah membuka kesadaran spiritual, mungkin bukan manusia biasa?”
“Kulihat wajahmu keunguan, penuh aura iblis, mungkin bahkan bukan manusia?” Feng Bujue membalas bertanya.
“Ha... Hahahaha…” Biksu Iblis itu tertawa terbahak: “Bagus, benar-benar 'bahkan bukan manusia'...”
Jendela kuil tiba-tiba diselimuti kabut hitam, menghalangi cahaya luar sepenuhnya. Namun kegelapan pekat ini tidak bertahan lama, seketika lilin-lilin di sekitar menyala serentak memancarkan cahaya hijau terang.
Dalam peralihan gelap-terang itu, penampilan Biksu Iblis telah berubah total menjadi sosok raksasa mengerikan. Tingginya menjulang hingga 3 meter, otot-otot berotot menegangkan pakaian, jenggot dan rambutnya berubah merah. Wajahnya penuh aura jahat, mata melotot menatap Feng Bujue.
Melihat situasi ini, Siyu hendak mengangkat pedang untuk melawan, tapi Feng Bujue menghalanginya sambil memberikan isyarat mata seolah berkata... belum perlu bertindak.
“Kau dan pohon itu sama, diubah menjadi bentuk sekarang oleh hantu gadis kecil bernama 'Ling'er', benar?” tanya Feng Bujue.
“Memang kenapa?” Suara Biksu Iblis itu berubah kasar, tak bisa disebut garang lagi melainkan beringas.
"Aku hanya ingin bertanya, apakah kau dengan sukarela mempertahankan kondisi seperti ini." Feng Bujue berkata: "Atau terpaksa, di bawah kendalinya menyerang orang-orang yang mendaki gunung ini?"
"Jika aku dikendalikannya, apakah kau masih bisa berdiri dengan utuh berbicara denganku sekarang?" Biksu Iblis bertanya.
"Kalau begitu kau dengan sukarela menjadi iblis merusak rakyat?" Feng Bujue berkata.
"Aku menjadi seperti sekarang memang karena dendam anak itu. Kecuali dendamnya terlampiaskan, aku... dan semua hantu di gunung ini akan terperangkap selamanya, tidak akan pernah bereinkarnasi." Biksu Iblis menjawab: "Tapi... membunuh orang-orang Desa Cangling itu adalah keinginan kami sendiri."
"Karena penduduk Desa Cangling membunuh Ling'er secara tidak adil?" Feng Bujue mencoba menebak.
"Hmph..." Biksu Iblis mendengus: "Kau pasti juga dukun yang mereka undang untuk memberantas hantu?"
"Tentu tidak. Jika iya, kau pikir kau masih bisa berdiri utuh berbicara denganku sekarang?" Feng Bujue membalas dengan sangat arogan.
"Oh?" Biksu Iblis terkejut, mendekatkan wajahnya: "Anak muda, mulutmu sungguh besar."
"Aku tak punya waktu untuk omong kosong. Cepat jawab pertanyaanku." Feng Bujue berkata: "Mungkin aku bisa membantu kalian."
"Dengan kemampuanmu? Hahaha..." Biksu Iblis tertawa lagi: "Tahukah kau mengapa tempat ini disebut 'Cangling'?"
"Mengapa?" Feng Bujue tidak tahu, jadi langsung menanggapi pertanyaan itu.
"Biksu jahat itu berbalik badan, menggunakan lengannya yang sebesar paha, menunjuk ke patung Buddha tanpa kepala di belakangnya: "Tempat ini awalnya adalah tempat suci seorang Arhat, di kuil ini tersimpan harta rahasia Buddhisme—Vajra Ghanta." Dia menurunkan lengannya, menatap Feng Bujue: "Dan aku adalah satu-satunya biksu di kuil ini." Saat mengatakan ini, sepertinya ia teringat kejadian masa lalu, wajah garangnya menunjukkan sedikit ketakutan: "Tapi sekarang? Lihatlah aku, menjadi seperti apa?"
"Oh? Apakah Vajra Ghanta itu sangat hebat?" Feng Bujue menyilangkan tangan di dada, dengan ekspresi meremehkan, menengadah bertanya.
"Dukun Jianghu tak tahu malu seperti kamu, tentu tidak mengerti kehebatan Vajra Ghanta!" Biksu jahat itu benar-benar terjebak, mulai berbicara panjang lebar: "Vajra Ghanta adalah harta suci aliran Esoterik, bisa menggerakkan kekuatan mantra tak terhitung... ilusi, teknik shikigami, teknik memanggil, teknik boneka, doa keselamatan, doa hujan, pengobatan, penentuan lokasi rumah, penghalau bencana... mengendalikan hantu dan dewa, mencakup segala hal. Bahkan bisa membawa kesialan manusia ke alam pembebasan, menaklukkan roh jahat, melepaskan diri dari nafsu, mengubah takdir lima elemen, yin-yang, dan zodiak yang sudah ditetapkan, membalikkan takdir melawan surga."
"Sekarang benda itu ada di mana?" Wajah Feng Bujue tidak menunjukkan ekspresi apa-apa, tapi dalam hati sudah bersumpah: "Vajra Ghanta, pasti akan jadi milikku."
"Kenapa? Kalian ingin merebut lonceng itu?" Biksu jahat bertanya.
Saat pertanyaan itu keluar, Feng Bujue sudah 70-80% yakin, inilah FLAG quest!
Ia segera menoleh, melirik ke arah Siyu. Yang terakhir ini langsung memahami maksudnya, tanpa berkata-kata hanya mengangguk lemah sebagai persetujuan.
"Benar!" Feng Bujue segera menyahut.
【Progres Misi Utama Diperbarui】
【Masuk ke Lingzhong Jing, cari roh Linger.】
Tepat seperti dugaan, Peringatan Sistem langsung berbunyi. Misi utama dalam menu permainan pun mengalami perubahan.
"Kau bilang mau membantu kami, aku lihat apakah kau benar-benar mampu." Biksu jahat itu tertawa. Sambil berkata demikian, ia menginjakkan kaki di tempat, gayanya bagai guntur menghantam gunung. Batu-batu pualam hijau di tanah langsung retak, membentuk celah sepanjang dua meter. Dari dalam celah terdengar jerit kesakitan yang menyayat, namun saat dilihat ke bawah hanya kegelapan yang terpampang.
"Kalau mau Jingang Ling, tanya sendiri pada anak itu." Biksu jahat itu mengulurkan telapak tangannya. Di tengah telapak terdapat lonceng yang persis sama dengan yang diberikan siluman pohon tadi. "Ambil lonceng ini, lompat saja ke bawah."
Feng Bujue tidak membiarkan Siyu yang maju mengambil. Ia sendiri yang meraih item tersebut lalu menyerahkannya ke Siyu. Kemudian ia berbicara sopan pada monster tinggi besar di hadapannya: "Terima kasih atas petunjuk Guru."
"Jangan banyak bicara. Banyak yang sudah terjun ke bawah, belum ada yang kembali hidup-hidup. Yang kembali... hanyalah loncengnya." Sahut biksu jahat itu.
Feng Bujue merasa alur cerita ini sudah cukup. Ia menoleh ke Siyu: "Itu... mari kita sepakati sebuah slogan, lalu lompat bersama."
"Pertama, saya menolak slogan 'kamu lompat, saya lompat'." Siyu langsung menjawab tanpa basa-basi.
“Cih……” Ekspresi Feng Bujue seperti rencana liciknya terbongkar: “Kalau begitu aku hitung satu dua tiga ya.”
