Dua lubang ini berbentuk bundar dengan tepian tidak beraturan.
Feng Bujue mengintip dengan lampu minyak dan menemukan ruang sebesar bantal di dalam dinding. Meski kosong, di lapisan kayu belakangnya terlihat tulisan.
Dengan kunci pipa, dia memperlebar lubang dengan memecah papan di antara keduanya. Saat memasukkan kepala dan lampu minyak, tulisan di dinding tetap tidak terbaca.
Hanya dua kata teratas yang terjemahannya tertulis 【Mantra】. Beberapa baris di bawahnya berukuran mikroskopis seperti sayap lalat, hanya tampak seperti garis hitam.
Feng Bujue langsung paham, di sini harus pakai 【Kaca Pembesar】.
【Dia menarik kembali kepalanya dari dinding, tidak menjulurkan badan, hanya mengangkat kaca pembesar dan menyapukannya di atas teks-teks itu. Benar saja, seketika itu juga dia bisa melihat terjemahan tulisan tersebut dari Menu, meski matanya berada agak jauh.】
【HAKUNA……MATATA……mulai sekarang……tidak ada kekhawatiran……HAKUNA，MATATA！Mudah diingat……terus nyanyikan……mulai sekarang……kamu tak perlu khawatir……tak seperti dulu……pasrah pada takdir……HAKUNA……MATATA……】
Di belakang kalimat ini tertulis catatan penjelasan: Pepatah Afrika kuno dan magis, terbukti ampuh.
Feng Bujue selesai membaca semua ini lalu melemparkan kaca pembesar ke lantai: "Bego banget sih ini! Ajaib apaan! Tiba-tiba muncul konten kayak gini di quest yang suram dan menjijikan ini, lu gila ya!
Afrika apaan! Afrika urusannya apa di sini! Dengan serius bilang 'dinding yang dikendalikan mantra', ternyata dipecahkan pakai pepatah Afrika!
Ngomong-ngomong adegan tadi tuh maksudnya apa sih! Kalau aku tutup pintu dan nggak ngijinin orang itu masuk, bakal dapet notifikasi kayak gimana? Apa setelah buka pintu langsung ada babi hutan dan kucing luak nyanyi-nyanyi anterin aku ke lantai dua!
Ini quest macam apa sih! Adegannya sangat mengganggu penglihatan, efek suaranya memekakkan telinga, ke mana-mana bau seperti kotoran... Worldview settingannya tidak jelas, banyak adegan ekstrem, puzzle-nya gila, aturan teka-teki berubah seenaknya, petunjuk yang diberikan semakin tidak masuk akal!
Dia mengumpat keras sambil terengah-engah, banyak kata-kata kasar yang keluar, sepertinya HAKUNAMATATA benar-benar membuatnya trauma...
Setelah sepuluh menit, barulah dia pulih, merapikan diri, lalu berdiri di pintu tangga lantai dua sambil mengulangi kalimat tadi.
Lingkaran sihir berkedip-kedip beberapa kali, disusul suara kaca pecah. Beberapa detik kemudian, dinding daging yang terbuat dari potongan mayat ini runtuh seperti longsor...
Feng Bujue mengira penghilangan mantra akan membuat penghalang jalan ini lenyap, tak disangka malah begini jadinya.
Tanpa persiapan, dia terkubur di bawahnya. Dari hati terdalam terucap: "Madefakker!" (Silakan terjemahkan ke bahasa Inggris) lalu merangkak keluar. Dia sangat bersyukur punya peralatan wajah dan memilih mode tampil. Andai tidak, bau menjijikkan ini pasti membuatnya mengumpat sepuluh kali lebih banyak.
Bagaimanapun, lorong menuju lantai dua sudah terbuka. Setidaknya ini kemajuan.
Feng Bujue menyesuaikan suasana hatinya, sambil melantunkan mantra tadi dengan melodi, ia mulai naik melalui tangga.
Tata letak ruangan di lantai dua sedikit berbeda dengan lantai satu. Tepat di atas ruang depan, terdapat sebuah kamar berpintu, sedangkan tata letak dan luas ruangan lainnya kurang lebih sama.
Semua pintu ruangan itu tertutup rapat. Feng Bujue tidak terburu-buru menjelajah. Ia mengikuti jejak darah di lantai terlebih dahulu, ingin melihat ke mana humanoid sintetis tadi pergi. Akhirnya ia langsung tiba di ruangan yang terletak tepat di atas ruang depan itu.
Desain pintu ini sangat berbeda dengan semua pintu lain di rumah ini. Dua panel pintu yang menyatu terbuat dari logam berkualitas. Bahkan orang awam pun bisa melihat ini adalah logam yang sangat mahal, sangat kontras dengan pintu besi berkarat dan murahan di basement lantai 2. Tinggi pintu ini melebihi 2,5 meter, bingkai atasnya hampir menyentuh langit-langit, sedangkan lebarnya hampir sama dengan koridor.
"Hm... Ukuran seperti ini... Jelas-jelas dirancang untuk memungkinkan monster masuk-keluar ya..." gumam Feng Bujue sambil meraih dua pegangan pintu dan menariknya beberapa kali. "Sudah kuduga, tidak bisa dibuka."
Ia sudah memperkirakan bahwa ruangan semacam ini baru bisa dimasuki di fase akhir permainan. Maka, ia kembali ke area tangga dan mulai mencari dari ruangan yang paling dekat dengan pintu tangga.
Saat ini, Feng Bujue tidak memiliki status "peringatan kematian", jadi kemungkinan menghadapi situasi "pembunuhan saat pintu terbuka" tidak bisa diabaikan. Oleh karena itu, dia membuka pintu perlahan dengan hati-hati dan mengambil tongkat besi dari tasnya lagi untuk memeriksa apakah ada jebakan di dalam ruangan.
Setelah melakukan ini, barulah dia masuk sambil membawa lentera.
Yang terlihat adalah sebuah kamar tidur yang terlihat cukup rapi. Tempat tidur bersih, seprai dan selimut terlipat rapi; bingkai foto terletak di meja samping tempat tidur, dua lemari pakaian berdiri di tepi dinding. Sama seperti lantai bawah, jendela tertutup dan gelap di luar. Di ambang jendela ada pot bunga kecil yang hanya berisi tanah - ada dua dugaan yang masuk akal: Pertama, tanaman di dalamnya telah berubah menjadi tanah; Kedua, tanaman itu bermutasi menjadi hewan tertentu lalu pergi sendiri...
Feng Bujue langsung menuju ke meja samping tempat tidur dan mengambil bingkai foto tersebut. Di dalamnya terdapat foto yang sudah memudar dan menguning, kali ini menampilkan tiga orang: dua remaja laki-laki berusia 15-16 tahun dan seorang ibu berusia sekitar 40 tahun.
Sama seperti yang terjadi di ruang belajar, setelah Feng Bujue melihat foto tersebut beberapa detik, sebuah rekaman visual muncul tepat pada waktunya.
Kilat di luar jendela menunjukkan bahwa itu adalah malam hujan badai.
Di dalam ruangan ini, seorang remaja berambut coklat duduk di kursi sebelah tempat tidur ini. Seorang wanita terbaring di tempat tidur dengan wajah pucat dan mata cekung. Tangan mereka saling menggenggam erat, mata wanita itu dipenuhi air mata.
"Arthur... Ada sesuatu yang harus ibu beritahukan padamu..."
"Aku tahu." Arthur membalas, "Aku adalah suku Xingzu, anak... angkat..."
Mendengar itu, sang ibu terdiam beberapa detik: "Tidak, kau adalah anakku. Meski bukan darah dagingku, tapi..."
"Cukup, Mama. Tak perlu mengatakan ini. Aku tentu anak Mama, selamanya." Arthur meraih tangan ibu dengan erat.
"Kau sangat cerdas dan kuat. Mama sangat percaya padamu, kau selalu bisa menjaga diri." Sang ibu menghela napas: "Tapi adikmu... terlalu baik hati, terlalu lemah. Dia..."
"Tenang saja, Mama. Aku hanya punya satu adik." Arthur menyela, "Aku pasti akan menjaganya." Kepalanya menunduk, seolah tenggelam dalam kesedihan.
Kilat kembali menyambar. Kali ini, kamera menyorot close-up sudut bibir Arthur.
Dia... sedang tersenyum...
