Tengah hari, pukul dua belas tepat.
Lautan tenang, matahari bersinar terik.
Saat ini, mayat tanpa kepala yang belum tuli telah menjadi makanan hiu; sedangkan kepalanya dibawa kembali ke kapal selam oleh Greybeard... Kemungkinan akan disimpan sebagai souvenir (atau mungkin dekorasi).
Di pantai, genangan darah besar memancarkan bau amis di bawah terik matahari, membuat para bajak laut di sekitarnya mengerutkan kening.
Tapi mereka tetap harus bertahan di posisi, membentuk formasi pertahanan, menanti kedatangan dua puluh dua orang dari pulau.
"Kawan-kawan, waspada." Tak lama kemudian, seorang pemimpin kecil bajak laut yang tajam matanya pertama kali melihat bayangan manusia di hutan. Dia langsung berteriak mengingatkan teman-temannya untuk bersiap.
"Santai..." Max di barisan belakang menimpali dengan nada tenang-tenang saja, "Ini transaksi, bukan perang, mereka hanya ingin keluar hidup-hidup." Dia berhenti sebentar, "Lihat... Mereka bahkan tidak membawa senjata."
“Pada saat dia berbicara, Harlirs sebagai pemimpin geng muncul dari hutan di tepi pantai, sementara yang lain berbaris dalam garis lurus di belakangnya.”
“Formasi berjalan ini juga telah dipertimbangkan matang... Jika tiba-tiba bajak laut berkhianat dan menembak, area tembakan yang terkena formasi ini akan sedikit lebih kecil, memberi kesempatan orang di barisan belakang untuk melarikan diri.”
“Merupakan kehormatan bertemu Anda, Tuan Harlirs.” Max yang pertama maju menyapa, “Aku fansmu.”
“Anak... aku...” Harlirs memandang Max dengan ekspresi kompleks, “...terima kasih atas dukunganmu, tapi...”
“Hehe... Tak perlu diucapkan, aku mengerti.” Max tersenyum menjawab, “Dicemburui oleh tokoh seperti teroris pasti perasaanmu campur aduk. Dalam situasi seperti ini, diam saja... Aku tidak akan tersinggung.”
“Ya, Arsenal juga memperlakukanku seperti ini.” Detik ini tepat Laden melintas di samping mereka, Paman Laden menyela percakapan dengan santai...
Harlirs dan Max terdiam beberapa detik, memandang siluet punggung Laden yang menyimpan segudang prestasi, perasaan meskipun tidak mengerti tetapi kagum muncul tiba-tiba...
“Ehem... Pokoknya...” Beberapa detik kemudian Max kembali berbicara, “Tuan Harlirs... Isi transaksi pasti sudah dijelaskan Tuan Carbon, tentang detail naik kapal tak perlu kuulangi lagi kan.”
"Tenang saja." Balas Clambers sambil mengeluarkan sebuah tablet (setidaknya terlihat seperti itu) dari tas di pinggangnya (tas ransel besar sudah diganti dengan tas selempang). "Stephen menyuruhku menyerahkan ini langsung ke tanganmu. Dia akan menghubungimu melalui ini."
"Oh..." Max mengangguk, menerima tablet. "Eh? Kenapa tablet ini aneh? Tidak ada merek, port-nya juga tidak lengkap..."
"Ini bukan tablet." Kali ini Gilang yang melintas menyela. Ia melirik Max lalu berkasual, "Ini cuma... uh... aku juga bingung menyebutnya. Intinya, aku copot layar LCD dari toilet markasmu, dimodifikasi sedikit jadi bisa dipakai seperti tablet."
"Ha... haha..." Kedua pipi Max berkedut. "Waktu renovasi... seharusnya tidak memasang barang ini di balik partisi toilet..."
"Nak, suatu hari kau akan sadar menonton kartun saat BAB itu tidak ada masa depan." Bu Bo yang lewat kemudian menyelipkan sebungkus ganja ke saku jaket Max. "Simpan baik-baik. Tidak usah berterima kasih."
Menyaksikan parade orang-orang aneh ini, Max hanya bisa bergumam dalam hati: "Dasar sekumpulan orang sinting..."
Zzzzt—— Zzzzt——
Tiba-tiba suara gelombang elektromagnetik pecah di udara.
Harles menoleh dan melihat para bajak laut di samping kapal pesiar sedang menggunakan pemindai T portabel (perangkat untuk menggeledah tubuh, dapat mendeteksi peralatan elektronik tanpa kontak fisik) yang mengeluarkan suara tersebut.
"Bukan tidak percaya pada kalian, hanya langkah antisipasi." Max segera menjelaskan setelah melihat reaksi Harles.
"Ah... aku tahu." Harles menundukkan kepala ke arah Max, "Aku juga tahu... sejak kesepakatan tercapai hingga sebelum James dibunuh, kalian sudah melakukan pemeriksaan serupa di seluruh Kapal Pesiar Dolphin dan membersihkan semua perangkat komunikasi."
"Hehe... kamera pengawas di kapal pesiar itu ternyata memang sudah berada di bawah kendali kalian..." Max tertawa.
"Benar." Jawab Harles terus terang.
"Jawabanmu cukup blak-blakan..." Gumam Max.
"Stephen bilang, kamu pasti sudah menyimpulkan hal ini jadi tak perlu disembunyikan." Balas Harles.
"Sial... menyebalkan." Gerutu Max dalam hati.
Harles melanjutkan, "Aku harus berterima kasih... karena tidak menyuruh anak buahmu mencopot kamera-kamera itu selama proses pemeriksaan."
"Tak usah berterima kasih." Max mengangkat alisnya, "Aku juga ingin transaksi ini berjalan lancar."
“Mereka berdua mengerti, kamera di kapal harus dibiarkan. Hanya dengan begitu Stephen Carbon yang berada di markas bisa memastikan—tidak ada bajak laut yang bersembunyi di kapal, juga tidak ada barang seperti bom yang tersembunyi.”
“Sebenarnya... dalam transaksi yang berbasis 'saling ancaman' seperti ini, tidak ada yang namanya kepercayaan. Untuk mencegah pihak lain mengingkari janji setelahnya, ini semua harus dilakukan.”
“Kalau begitu... jangan buang waktu, saya juga akan naik ke kapal.” Clarles melihat yang lain telah melewati pemeriksaan satu per satu, lalu bersiap menyusul.
“Semoga lancar perjalanannya, Tuan Clarles.” Max tersenyum mengucapkan selamat tinggal.
Clarles tidak bisa tersenyum, dia hanya mengangguk dan pergi dalam diam.
……
Satu jam kemudian, di geladak kapal Parrot.
“Berapa lama lagi kita harus menunggu? Sialan!” Greybeard duduk di meja bundar, tangan kiri memegang pisau, tangan kanan... kosong (memang sejak awal berbentuk kait), sambil mengetuk meja berteriak, “Aku hanya ingin makan siang di geladak, sesulit apa itu?”
“Tenanglah, Ayah.” Max yang duduk di samping ayahnya dan juga menunggu makan menyahut, “Tadi kita sudah menggeledah kapal, menggeledah orang, menghukum mati, mengantar tamu... tenaga kerja kurang. Jadi aku menyuruh semua orang dari dapur ikut membantu. Setengah jam lalu kapal Dolphin menarik jangkarnya, barulah mereka kembali ke dapur sibuk bekerja.”
“Hmph... Sekumpulan orang tak berguna.” Janggut Abu-abu sedikit melunak setelah dinasihati putranya, tapi langsung mengalihkan pembicaraan, “Dulu ketika aku bekerja di kapal, hanya butuh lima menit untuk menyiapkan hidangan lezat.”
“Sashimi?” Max menyambut dengan senyuman.
“Uh...” Pesona Janggut Abu-abu justru terletak pada ketidakmampuannya membalas ketika dihujat...
Kreek—— gesek——
Tepat di saat itu, terdengar suara gangguan sinyal.
Ekspresi Max berubah tegang, tangannya segera meraih "tablet kamar mandi" di atas meja.
Seperti diduga... Tiga detik kemudian, sosak Stephen Carbon (Feng Bujue) muncul di layar.
Ia masih duduk di markas itu, dengan santainya menatap kamera.
“Hi, bocah, sudah tak sabar ya?” Feng Bujue tersenyum, “Hehe... Sebenarnya aku ingin menghubungimu lebih awal, tapi tadi saat menambang, kebetulan bertemu burung beo menyebalkan yang berani melemparkan kotoran ke arahku. Aku langsung mengambil bijih yang baru ditambang dan memberinya pelajaran keras.” Ia mengangkat bahu, “Singkatnya... Sedikit tertunda.”
“Kau... Tadi meninggalkan markas...” Ekspresi Max penuh ketidakpercayaan, “Kau bohong siapa?” Senyuman sinisnya mengembang, “Bukan hanya kau, bahkan seorang idiot pun tak mungkin meninggalkan monitor di momen kritis sebelum kapal berangkat untuk melakukan hal lain... Tak takutkah jika saat kau lengah, kami habisi semua penumpang dan menyerbu pulau...”
"Tentu saja aku tidak takut." Feng Bujue berbicara tanpa ekspresi menyela lawan bicaranya, "Ada dua alasan kenapa aku tidak takut." Dia segera melanjutkan penjelasannya, "Pertama, hak pengawasan atas pulau dan kapal pesiar, serta hak inisiatif komunikasi antara kita berdua...semua ada di tanganku. Dari sisimu...sama sekali tidak mungkin mengetahui apakah aku sedang duduk di depan layar monitor atau tidak. Jadi apakah aku duduk di sini, atau tidak...sama-sama bisa memberimu tekanan." Dia memiringkan kepalanya, "Hehe...Max, menghitung orang pintar sepertimu jauh lebih mudah daripada menghitung orang bodoh seperti ayahmu...karena semua gerakanmu sudah kuantisipasi."
"Sial..." Ekspresi Max berubah garang, "Dasar sok tahu...kau lebih baik berdoa agar kubuat matimu dengan..."
"Kedua!" Feng Bujue mengabaikan perkataannya, langsung berdiri dan mendekati kamera, "Hehe...HAHAHAHA..." Tiba-tiba dia tertawa dengan suara seram, tawanya membuat bulu kuduk merinding, "Lebih baik kuberitahu langsung ke hadapanmu."
Saat kata-kata itu terucap, gambar tiba-tiba terputus.
"Apa..." Max baru sempat mengeluarkan satu suara, ketika sesuatu yang tak terduga terjadi.
"Kedua..." Suara Jue Ge tiba-tiba terdengar dalam jarak dua meter, "Kukatakan lagi, aku sama sekali tidak peduli dengan hidup mati orang-orang itu."
Pada detik itu, ketakutan seperti sepasang tangan tak kasatmata mencengkeram jantung Max dan Janggut Abu-abu. Darah di seluruh tubuh mereka seakan membeku dingin.
Tampak sosok Jue Ge yang berpakaian bajak laut (agak janggal karena masih membawa tas ransel) telah berdiri di tepi meja bundar, memegang nampan bundar di tangannya.
"Kau... kau ini..." Greybeard dan Max gemetar seperti melihat hantu, kata-kata terpotong-potong keluar dari bibir mereka.
"Makan siangmu sudah datang, Kapten." Feng Bujue tersenyum manis melihat duo ayah-anak Greybeard sambil membuka tutup nampan, "Hidangan utama hari ini adalah... Granat Tangan Tipe Mark II!"
Sebelum suara gema hilang, kedua tangannya sudah menyambar dua granat di nampan dan membawanya ke mulut.
"Tidak! Jangan--" Max mengaum histeris, berusaha mencegah.
Sayang... sudah terlambat.
Detik berikutnya, Jue Ge menggigit kedua ring pin sambil menyeringai: "Hihi... surprise!"
