20 November, pukul dua siang, rumah Feng Bujue.
"Akhirnya... tibalah momen penentu takdir ini..." Saat mengucapkan ini, Feng Bujue menyimpan kedua tangannya di saku, kaki terbuka selebar satu langkah, berdiri tegak; Ia menyandarkan kepalanya pada sudut 45 derajat, wajahnya memancarkan tiga bagian melankolis, tujuh bagian keseriusan, dengan nada suara... penuh tekad bak prajurit yang akan menghadapi pertempuran besar.
"Ya... Kita berdua sudah tidak punya jalan mundur lagi." Li Ruoyu berdiri dua meter di depan Jue Ge, wajahnya dingin seperti air, suaranya tajam bagai es. Posturnya tegak laksana paviliun, tatapan matanya memancarkan tekad yang tak pernah terlihat sebelumnya.
"Aku penasaran seperti apa anak mereka nanti..." Pada saat yang sama, Arthas yang tengkurap di sandaran sofa menatap kedua orang itu dengan ekspresi menyebalkan, dalam hati menggerutu.
"Jue Ge~ Film ini sudah kami tonton bersama Xiao Ling. Gimana kalau ganti yang lain?" Dua detik kemudian, Wang Tanzhi yang duduk di sofa menoleh sambil bergumam.
"Iya, film jelek begini enggak mau ditonton ulang." Xiao Ling yang bersandar di sebelah Xiao Tan ikut memalingkan wajah menyetujui.
"Film usang dari sudut tersembunyi saja sudah kalian tonton. Kayaknya lain kali harus cari film Tiongkok." Bao Qing yang duduk di sisi lain segera menimpali.
Saat ini, Wang Tanzhi, Gu Xiaoling, Bao Qing, An Yueqin, dan Ouyang Jian sedang duduk di depan home theater ruang tamu, menatap layar sambil ngemil makanan ringan dan menyeruput teh hangat.
Hanya Jue Ge dan Ruo Yu yang masih serius berdiri berhadapan di belakang mereka...
"Hei!" Jue Ge menoleh berteriak mendengar percakapan mereka, "Kalian sebenarnya kemari buat apa?"
"Yang jelas... Aku kemari buat nagasin naskah." An Yueqin menjawab tanpa menolehkan kepala.
Bao Qing dengan wajah bingung menjawab, "Hm? Bukannya hari ini jadwal Maraton film sampah?"
"Aku juga mau nanya..." Ouyang Jian lalu menoleh, memandang Jue Ge dengan tatapan sinis, "Tarif kerjaku hitungan per menit, ratusan rupiah per menit. Ngapain sih lu manggil aku?"
"Dasar pelupa!" Feng Bujue membelalakkan mata, memandang mereka, "Aku kan sudah bilang minggu lalu? Hari ini duel taruhan antara aku dan Ruo Yu. Aku tantangan ikat simpul, dia pake sumpit... Eh~ Eh! Ngapain sih lo?"
"Aku pulang dulu." Saat mengucapkan ini, Ouyang Jian sudah bangkit dari sofa dan bergegas ke ambang pintu.
"Jangan pergi dong!" seru Feng Bujue, "Saksi itu butuh kredibilitas. Ada pengacara di sini beda tipis..."
"Feng Bujue." Ouyang Jian sambil memakai sepatu menyela, "Hubungan kita kan udah cukup dekat. Aku titip pesan: Tolong... jangan pernah..." Dengan gesit mengikat tali sepatu, ia menepuk bahu Jue Ge, ekspresi serius, "Kalo lu dan Li Ruoyu mau bikin Protokol pranikah nanti... JANGAN... cari aku. Bayar berapa pun gak mau!"
Setelah mengucapkan kalimat penuh kesetiaan ksatria ini, si pengacara ulung itu melirik sekeliling ruangan, "Dah semuanya!" lalu melesat keluar pintu dengan langkah cepat...
"Hei~ Apa maksud orang ini?" Feng Bujue berdiri di ambang pintu selama beberapa detik, menggerutu dengan nada kesal sebelum akhirnya berbalik.
Namun, saat berbalik, pandangannya langsung bertemu dengan An Yueqin.
"Sepertinya hari ini kamu sangat sibuk." Ucapnya sambil sudah memakai sepatu, "Lebih baik aku datang lain kali saja."
"Eh~ Kamu juga..." Feng Bujue baru hendak menghentikannya ketika Bao Qing juga menyusul mendekati pintu.
"Wei wei wei... Pak Bao!" Jue Ge langsung melesat menghampiri Bao Qing, melupakan niat menghentikan Nona An, "Apa maksudmu kali ini?"
"Bujue~ Aku juga pernah melewati ini." Pak Bao menjawab dengan nada bijak, "Percayalah, semua ini untuk kebaikanmu." Ia menepuk bahu Jue Ge lembut sebelum menyusul An Yueqin keluar.
"Kakak sepupu, kami juga akan pulang." Xiao Ling sudah menggandeng tangan Xiao Tan mendekati pintu, tersenyum manis ke arah Ruo Yu.
"Tunggu..." Ekspresi Ruo Yu berubah halus, "Jika kalian semua pergi, siapa yang akan menyaksikan taruhan ini..."
"Ahya~ Urusan ini kalian saja yang atur." Xiao Lang menyela sebelum kalimat selesai, langsung menarik Xiao Tan kabur.
"Jue Ge, untuk hari ini sampai di sini, lain kali kami main lagi ya." Xiao Tan tak lupa melontarkan kalimat itu saat melewati Feng Bujue.
Sejak SD sampai sekarang, hampir setiap kali meninggalkan rumah Jue Ge, dialognya selalu sama persis tanpa perubahan...
“Meong~” Puluhan detik kemudian, tepat saat Feng Bujue hendak menutup pintu, Arthas tiba-tiba muncul di ambang pintu sambil mengeong.
“Kau juga ikut-ikutan ramai ya?” Karena tidak ada orang lain, Feng Bujue langsung berbicara pada kucing itu sambil menunduk.
“Aku mau jalan-jalan, malam ini mungkin tidak pulang Meong~” Jawab Arthas, “Jangan tinggalkan pintu untukku Meong~”
Setelah mengatakan itu, dia pun pergi.
Dalam waktu kurang dari lima menit, ruangan yang awalnya diisi tujuh orang dan seekor kucing kini hanya menyisakan sepasang pria dan wanita yang sendirian.
Feng Bujue menutup pintu, kembali ke ruang tamu, dan saling memandang dengan Ruo Yu selama beberapa detik.
“Hmph! Tidak apa-apa juga!” Setelah berpikir sebentar, dia berkata, “Meski tanpa saksi... kita semua orang berintegritas, asal...”
“Sudahlah.” Ruo Yu memotongnya sebelum dia selesai bicara, “Aku menyerah.”
“Hah?” Feng Bujue terdiam sejenak, “Apa katamu?” Seolah tidak percaya dengan apa yang didengarnya.
Ruo Yu tidak mengulang tiga kata itu, malah melanjutkan: “Aku memang tidak pandai memakai sumpit, dan selama seminggu ini sama sekali tidak berlatih.” Sambil berbicara, dia mengambil sepasang sumpit yang sudah disiapkan, perlahan mendekati Feng Bujue dan menaruhnya di tangan Jue Ge.
“Kalah taruhan harus bayar hutang.” Ruo Yu menundukkan kepala sambil menghindari pandangan Jue Ge, “Sesuai perjanjian, sepatumu nanti...”
"Ha ha ha..." Feng Bujue tidak membiarkannya menyelesaikan kalimat. Tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak dan menyambung, "Bagus! Sebenarnya minggu ini aku juga tidak berlatih membuat simpul!" Sambil berkata demikian, ia mengambil tali di sebelahnya dan secara sembarangan melilitkan kedua sumpit itu, membuat beberapa simpul mati paling sederhana namun kokoh, "Kalau begitu kita seri ya?"
Setelah mengatakan itu, ia tersenyum mengambil sumpit yang sudah terikat simpul mati dan tak terpisahkan itu, lalu mengembalikannya ke Ruo Yu.
Di tengah kesepian ruangan ini, dua orang yang tidak mahir mengekspresikan perasaan ini... meski masih canggung, setidaknya mereka telah berusaha sekuat tenaga untuk menyampaikan isi hati mereka.
"Hmm..." Ruo Yu mengangguk perlahan mendengar perkataan itu.
Ia menerima sumpit yang dililit tali itu seolah mendapat hadiah berharga, menggenggamnya erat di telapak tangan.
Di wajahnya yang jarang menampakkan emosi, kini terukir senyum manis.
