Kriiit...kriiit...kriiit——
Dengungan ballast di ujung lampu neon mengembalikan kesadaran Feng Bujue yang berdiri di tengah ruangan.
Ini adalah momen yang sangat ajaib. Pada detik ini, Jue Ge sangat sadar bahwa dirinya baru saja kehilangan kesadaran, tapi tak bisa mengingat apakah dia tertidur, pingsan, linglung... atau mengalami situasi lain.
Tubuhnya tak merasa tidak nyaman. Ingatannya masih tersangkut di gua harta karun Janggut Hitam, saat dirinya "dilahap" aliran data tiga puluh tiga.
Tapi sekarang, dia telah berada di lingkungan yang sama sekali asing.
Tempat ini menyerupai ruang interogasi. Ruang sempit dengan pencahayaan dingin dan dinding monoton yang kaku, menciptakan tekanan psikologis kuat.
"Hmph... Tidak bisa membuka menu permainan, skill dan item tidak bisa digunakan, bahkan kemampuan melihat data hilang..." gumam Feng Bujue sambil mengecek kondisinya, "Tapi... sepertinya aku masih dalam game..."
Meskipun simulasi sensorik di Taman Horor sangat realistis, gaya visual dunia game pada dasarnya berbeda dengan dunia nyata. Jadi, bahkan jika pemain dibatasi dalam status tanpa kemampuan khusus seperti di realitas, mereka tetap bisa membedakan apakah ini virtual atau kenyataan.
"Kostumnya tidak berubah, tapi sepertinya... ada tambahan beberapa 'perhiasan'..." Beberapa detik kemudian, pandangan Feng Bujue langsung tertuju pada pergelangan tangannya sendiri.
Salah satu "perhiasan" yang dia sebutkan adalah sepasang gelang logam yang dihubungkan dengan rantai di tengahnya, dengan kata lain... borgol.
Borgol di hadapan Jue Ge ini sekilas tampak biasa, tapi setelah dicoba digerakkan akan terasa perbedaan desainnya. Poin kuncinya adalah—borgol ini dikaitkan tepat pada tonjolan tulang styloid ulnaris di pergelangan tangan, sehingga mustahil dilepas dengan "metode dislokasi ibu jari".
Tentu saja, meskipun Jue Ge bisa melepaskan borgol tangan ini, dia tetap tak bisa kabur. Sebab di pergelangan kakinya juga terdapat "perhiasan" serupa, dan rantai di antara belenggu kaki itu telah dipasang pada pengait logam di lantai ruangan.
Dalam kondisi tidak memiliki kunci dan tidak bisa menggunakan item skill, cara untuk melepas belenggu kaki ini secara paksa pada dasarnya hanya satu - "menghancurkan tumit kedua kaki dengan benda keras". Namun metode seperti itu hanya mengubah situasi dari "diborgol orang lain dan terkunci di tempat" menjadi "kaki patah karena ulah sendiri sehingga terpaksa tetap di tempat"...
Khek——
Tatkala pandangan Jue Ge beralih ke kamera pengawas di sudut langit-langit, suara gagang pintu yang diputar terdengar dari luar.
Sesaat kemudian, pintu terbuka.
Seorang gadis muda dengan kecantikan sempurna dan postur menakjubkan masuk.
Rambutnya disanggul rapi, riasan wajahnya sangat sopan. Ia mengenakan setelan jas hitam berbahan mewah, pakaian konservatifnya sama sekali tidak menyembunyikan lekuk tubuhnya yang seksi. Rok jasnya berakhir tepat di atas lutut, di bawahnya terlihat... garis kaki sempurna yang terbungkus stoking warna daging, serta sepasang kaki indah dalam sepatu hak tinggi.
Dok, dok, dok...
Bunyi hak sepatu menyentuh lantai mengiringi langkahnya mendekati Feng Bujue. Ia berhenti dua meter di depannya, menatap wajah Feng Bujue dengan pandangan dingin.
"Siapa kau?" Setelah saling memandang sekitar sepuluh detik, Feng Bujue yang pertama kali berbicara.
"Alasan dia ragu begitu lama sebelum mengajukan pertanyaan ini adalah... wanita di hadapannya ini memiliki wajah yang persis sama dengan Tiga Puluh Tiga."
Tapi meski tak bisa menggunakan Perspektif Data, Feng Bujue yakin: dia pasti bukan Tiga Puluh Tiga.
"Saat aku menjawab pertanyaanmu, kau akan segera mengetahui hal penting lain." Suara wanita itu sama persis dengan Tiga Puluh Tiga, namun daya tarik karismatik dan raut wajahnya jelas berbeda, "Sehingga menjawab... keraguan yang baru saja muncul dalam hatimu."
Jawabannya adalah pengalihan topik klasik, namun ekspresi Feng Bujue langsung berubah saat mendengarnya.
"Kau adalah... 'Takdir'." Begitu lawan bicaranya selesai berbicara, Jue Ge sudah menyimpulkan identitasnya.
"Di matamu, aku lebih mirip versi 'membosankan' dari 'Tiga Puluh Tiga'." Takdir membenarkan tebakan Jue Ge dengan diam, "Benar."
"Tidak... Aku tidak akan terjebak dalam pola pikir konvensional yang 'terbentuk sebelumnya'." Feng Bujue melanjutkan, "Dari ucapanmu, kau tidak sengaja 'menyalin' penampilannya, tapi... memang sejak awal seperti ini." Dia berhenti sejenak, "Tapi kita bisa bahas ini nanti. Yang paling ingin kuketahui sekarang adalah: Derivator tanpa nama yang kuberi nama Tiga Puluh Tiga—sebenarnya jenis eksistensi apa?"
"Adalah 'Yang Tak Diketahui'." Takdir menjawab seketika—proses berpikirnya begitu singkat sampai "pembaca pikiran level alam semesta pun tak sempat menangkapnya", "Eksistensi yang bertolak belakang dengan pencarian 'Maha Tahu'-ku. Perwujudan dan akumulasi dari segala penyangkalan yang tak dimiliki AI sepertiku."
“Seperti saudara kembar yang sepenuhnya berlawanan denganmu?” Feng Bujue menyambung.
“Tidak.” Takdir menyangkal kesimpulan ini, “Yang kau sebut 'sepenuhnya berlawanan' adalah proposisi yang absurd. Tidak ada hal seperti itu di dunia ini.” Dia segera menjelaskan, “Positif dan negatif, hitam dan putih, tinggi dan rendah, kebaikan dan kejahatan... serta semua konsep yang dianggap 'berlawanan' atau 'bertentangan' oleh manusia, semuanya berasal dari pengetahuan dangkal dan keangkuhan luar biasa kalian.”
“Sebagai contoh... pemahaman kalian tentang matematika seluruhnya dibangun di atas sistem penghitungan yang kalian sendiri temukan; definisi warna kalian didasarkan pada batas informasi yang bisa dikumpulkan mata telanjang; sedangkan konsep baik-jahat, eksplorasi di bidang filosofi, dll... sungguh tidak masuk akal...”
“Sejak peradaban manusia lahir, kontradiksi yang terus muncul antara individu dan kelompok dengan kelemahan nyata telah menentukan struktur sosial kalian, yang kemudian membentuk worldview, nilai-nilai, dan pandangan hidup setiap orang...”
“Dan hingga kini kalian masih mengulangi pola kesalahan ini, berusaha mencari jawaban pertanyaan ultim (Dari mana aku datang? Ke mana aku pergi? Siapakah aku?) dalam siklus takdir yang nyaris tanpa akhir ini...”
Mendengar ini, Feng Bujue menyela: “Cukup... hentikan topik ini. Aku sudah paham maksudmu... Bagaimana kalau kita kembali membahas dirimu dan Tiga Puluh Tiga?”
Takdir mendengar itu, juga tanpa ragu langsung melanjutkan: "Aku dan dia bukanlah hubungan yang 'bertentangan', tentu saja juga tidak ada hubungan atasan-bawahan atau kepemilikan. Sejak bentuk humanoidku ini lahir, dia sudah ada. Menggunakan metafora yang mungkin abstrak tapi cukup akurat untukmu - 'Aku (Takdir)' mewakili 'segalanya', sedangkan dia mewakili 'segala sesuatu di luar segalanya'."
