【Lomba akan dimulai dalam tiga puluh detik】
Lima menit berlalu sekejap, diiringi suara sistem yang berbunyi, 【Jianghu】dan【Garis Depan Neraka】pun memasuki fase persiapan "Pertempuran Wakil Jenderal".
Di pihak【Jianghu】, yang turun ke medan adalah【Wu Dao Ke】; sang kakak yang sering disebut-sejak sejak Bab 101 ini, dan setiap kali selalu muncul di berbagai daftar peringkat untuk mengingatkan eksistensinya... adalah kursi kedua studio【Jianghu】. Dia adalah top player yang dijuluki "Dao Jian Xiao" bersama【Xiao Wen Cang Tian】dan【Kuangzong Jianying】, sekaligus pendiri studio bersama keduanya. Cukup dengan ID singkat bernada tegas dan ciri khasnya, plus keberadaan yang tak henti mengikuti... sudah layak dinobatkan sebagai "Orang Asing Paling Familiar" dalam buku ini.
Sementara di pihak【Garis Depan Neraka】, seperti bisa ditebak,【Xu Huai Shang】yang mempertahankan rekor "kehadiran sempurna" hingga kini, tanpa kejutan hadir dalam formasi tiga pertandingan awal.
Hingga S3 memasuki ronde kesebelas, Dewi Xu paling sering bertarung di "Pertempuran Wakil Jenderal", dan dia memenangkan semua pertandingan tersebut tanpa terkecuali.
Bisa dikatakan, di tahap ini, "perhatian khusus" Feng Bujue padanya telah mencapai efek melampaui ekspektasi—baik dari segi frekuensi tampil maupun performa aktual, bahkan jika "tim"【Garis Depan Neraka】akhirnya gagal jadi juara, performa "individu" Xu Huai Shang sudah cukup menjadi "MVP" di hati para pemain. Seorang pemain profesional yang bisa menjaga eksposur dan level kompetisi setinggi ini di tim non-studio, kontrak berikutnya tentu tak akan kalah dari tawaran【Hongying】.
【……empat……】
Hitungan mundur dimulai, Wu Dao Ke dan Xu Huai Shang masih berdiri di tempat, menunggu dengan tenang hingga penghalang lenyap.
Baik sebagai pemain sejenis maupun jago level setara... mereka tidak punya alasan untuk sengaja menjauh dari lawannya.
Pisau, sebagai lambang keberanian dari seratus senjata. Pertarungan antar ahli pedang, keberanian harus diutamakan.
Tak satu pun ingin mundur selangkah pertama.
Tak satu pun akan menunjukkan kelemahan dalam aura-nya.
【……Fight！】
Saat lomba dimulai, kedua orang itu tetap tak bergerak sedikitpun. Namun di udara, sesuatu telah bertabrakan.
Itu adalah aura pisau, aura pembunuhan, sekaligus energi...
Karena kemampuan kontrol energi keduanya telah mencapai tingkat kesempurnaan, pertarungan... telah dimulai bahkan sebelum pedang mereka terhunus.
"Kenapa tidak menggunakan 'Datsuryoku' untuk menyerang?" beberapa detik kemudian, Wu Dao Ke yang pertama berbicara, "Jika menggunakan jurus itu saat penghalang lenyap, aku hanya punya 50% peluang untuk menangkis pedangmu."
Dia mengatakan yang sebenarnya.
Terkadang, kejujuran adalah provokasi terbaik.
"Artinya..." Xu Huai Shang menjawab dengan tenang, "Di momen itu, kau yakin 50% bisa membunuhku."
"Bisa dibilang begitu." Wu Dao Ke mengangguk, "Tentu saja, ini bukan berarti 'aku lebih kuat darimu'... karena sebaliknya, di momen yang sama, kau juga punya 50% kesempatan untuk membunuhku seketika."
"Hmm..." Xu Huai Shang merenung sejenak, melanjutkan, "Sepertinya kau juga paham... pertarungan kita akan ditentukan hanya dengan satu jurus."
“Ha…” Wu Dao Ke tertawa, dia tidak memberikan komentar atas ucapan lawannya, malah berkata, “Sepertinya kamu belum menjawab pertanyaanku.”
Mendengar itu, Xu Huai Shang menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Tidak menggunakan ‘Datsuryoku’, karena tidak perlu.”
“Oh?” Wu Dao Ke bertanya penuh keraguan, “Apa maksudmu?”
“‘Datsuryoku’ hanyalah teknik yang mengejar kecepatan dan kekuatan semata… Melawanmu, menggunakan cara ‘yang bersifat fisik’ seperti ini tidak ada artinya.” Jawab Xu Huai Shang.
“Kalau begitu, sekarang kamu berniat menggunakan metode ‘metafisik’ untuk menentukan pemenang denganku?” Wu Dao Ke membalas bertanya.
“Ha…” Saat ini juga, Xu Huai Shang ikut tertawa.
Senyumannya sangat mempesona, begitu sempurna hingga dengan sekali pandang bisa membuat orang linglung dan terpesona.
Namun, Wu Dao Ke hanya merasakan hawa dingin menusuk dari senyuman itu.
Setelah satu tarikan napas, Xu Huai Shang segera menyembunyikan senyumannya, lalu mengajukan pertanyaan kepada Wu Dao Ke.
Sebuah pertanyaan yang sangat berbahaya…
“Di mana pedangmu?”
Ucapan ini terdengar familiar bagi beberapa pemain, misalnya… Kuangzong Jianying dan Cái Bù Pà Ne yang sedang menyaksikan duel di ruang penonton saat ini, mereka langsung teringat: Di Kota Linlü dulu, Lin Yan juga pernah mengajukan pertanyaan serupa kepada Kayo Nobutsugu.
“Ini… Jangan-jangan…” Keringat dingin langsung mengucur di dahi Jian Shao.
“Tidak-tidak… Mungkin ini cuma bluffing.” Meski Bupa berusaha menganalisis dengan tenang, nada suaranya mengisyaratkan keraguan.
“Kak Dao kan belum pernah pergi ke Quest di Kota Linlü, apalagi itu bukan lomba, mana ada rekaman...” Jian Shao menyambung, “Xu Huai Shang tidak mungkin menggunakan ucapan Raja Yama ke Kayo Nobutsugu untuk bluffing, ya?”
“Hmm...” Bupa bergumam sambil berpikir, “Setelah kau bilang begitu...”
Saat mereka berdiskusi, Wu Dao Ke di arena juga menjawab setelah berpikir: “Pisaiku...” Ia mengepalkan tangan kiri dan mengetuk lembut dadanya dengan siku, “...di sini.”
“Hoi——” Suara teriakan serempak Jian Shao dan Bupa bergema di ruang penonton, “Jangan ucapkan dialog kayak gitu!”
“Oh.” Dua detik kemudian, Xu Huai Shang menjawab dengan ekspresi agak kecewa tapi tidak terkejut, lalu... benar-benar diam.
Wu Dao Ke jelas tidak bisa menerima ini. Mana ada orang yang menguji tingkat pencapaian lawan lalu tutup mulut tentang levelnya sendiri.
“Kalau begitu...” Wu Dao Ke buru-buru bertanya, “...di mana pisaumu?”
“Jangan!” Jian Shao di ruang penonton gelisah menghentakkan kaki, “Ngapaian kau tanya itu! Nggak penting!”
Sayangnya, perkataannya tidak sampai ke arena, dan... Xu Huai Shang sudah mulai menjawab.
“Pisaiku...” Dewi Xu mengangkat dagu putihnya yang bertekstur halus, memberi isyarat ke arah dada Wu Dao Ke, “...juga ada di situ.”
“Lanjut! Cukup di sini!” Jian Shao berteriak Grooaaak di ruang penonton, “Jangan sampai kau lanjutkan lagi……”
“Kau bilang……apa?” Di arena, Wudao sekali lagi mengucapkan dialog yang tidak diharapkan Jian Shao.
“Pedang di tanganmu, maupun pedang di jantungmu……” Xu Huai Shang menguasai naskahnya, “Kau pikir itu milikmu, tapi sebenarnya……bukan.”
“Ho~” Wudao sedikit kesal, terutama karena tak paham omongan lawannya, “Lalu itu bisa jadi milikmu?”
“Kalian berdua pasti sudah latihan naskah ini!” Di detik yang sama, Jian Shao mengetuk-ngetuk medan gaya transparan sambil mencela, “Bicara normal! Berhenti bermain gaya khas wuxia! Ini bisa merenggut nyawa!”
“Kau tetap tak akan paham walau kuberitahu.” Di arena, Xu Huai Shang melanjutkan, “Seranglah, saat kau kalah……kau akan mengerti.”
“Hmph……” Wudao mendengus dingin, “Basa-basi……” Ia memberi penilaian itu, lalu menambahkan, “Tak perlu kau suruh, aku pun akan menyerang.”
Nasib dan gaya khas Daoge jelas lebih baik dari Kayo Nobutsugu. Ia tidak menyerang licik di tengah kalimat; setelah menyelesaikan ucapannya, ia menunggu beberapa detik baru mengeluarkan jurus.
Seketika, kilau pisau menyambar, bayangan darah mekar.
Angin menghantam pasir gila, energi mengendalikan pedang pamungkas.
Pertarungan menggetarkan langit, hidup-mati dalam sekejap.
Hasil pertandingan antara dua ahli pedang top-tier memang tak perlu jurus kedua.
Di bawah gaya pertarungan yang mirip, justru perbedaannya tampak sangat mencolok dan tak terjembatani.
Saat darah tersiram angin, [Wu Dao Ke] kembali tertawa. Kali ini, tawanya penuh keperkasaan, namun juga getir.
"Ha... Inikah yang disebut ilmu pedang 'metafisik'..." [Wu Dao Ke] berkata sambil tersenyum, "Sia-sia aku menggunakan karakter '' dalam namaku. Sepertinya aku benar-benar keliru memahami beberapa hal mendasar..."
Sementara dia berbicara, Xu Huai Shang telah berbalik, menatap lawan yang baru saja saling berpapasan dengannya: "Begitulah kenyataannya..."
Hingga detik ini, kedua tangannya masih bersih. Sepasang pedang di pinggangnya seolah tak pernah keluar dari sarungnya. Tak seorang pun tahu bagaimana dia melukai [Wu Dao Ke], tak ada yang menyaksikan.
"Andai kau bukan ahli pedang, pertarungan ini mungkin akan sangat sulit bagiku." Sebelum lawannya lenyap menjadi cahaya, Xu Huai Shang menyimpulkan seperti itu, "Sayang... Justru karena kita berada di bidang yang sama, sejak kau berdiri di hadapanku, aku sudah tahu... Kemenangan mutlak ada di tanganku."
