（Sudah mati? Apakah aku sudah mati?）
Zheng Zha berdiri tertatih-tatih dengan pandangan kosong. Adegan sedetik sebelumnya masih membekas dalam ingatannya - monster dari mimpi buruk itu menerjang ke arahnya, sepasang cakar raksasa sudah berada di depan matanya. Hanya sekejap mata, benar-benar hanya sekejap, dia akan tercabik-cabik!
（Kalau begitu... apakah aku sudah mati?）
Zheng Zha memandang sekitar dengan bingung. Dia berdiri di atas platform raksasa yang sangat luas. Di tengah platform terdapat bola cahaya besar seperti matahari yang menerangi seluruh area. Keempat sisi platform dikelilingi kegelapan pekat tanpa secercah cahaya - kegelapan yang begitu dalam hingga membuat pusing hanya dengan memandangnya beberapa detik.
"Kita selamat, sialan! Di detik-detik terakhir! Akhirnya kita bisa bertahan hidup!"
"......Suara Zhang Jie tiba-tiba terdengar, Zheng Zha baru tersadar. Selain dirinya, di platform ini ada tiga orang lagi: Zhang Jie, Zhan Lan, dan Li Xiaoyi. Tidak, selain keempat mereka, seorang gadis menyembul dari kamar di tepi platform. Gadis itu berlari sambil menangis ke arah Zhang Jie. Untuk pertama kalinya pria besar ini menunjukkan ekspresi lembut penuh kasih sayang. Dia juga berlari ke arah gadis itu, lalu di depan semua orang langsung memeluk dan menciumnya dengan penuh gairah."
"......Aturan yang tidak dimengerti bisa ditanyakan ke 'Dewa Utama', langsung komunikasi lewat pikiran saja......"
"Selain menciptakan wanita sendiri, jangan menukar apapun! Tunggu sampai besok! Oh ya, pilih kamar sembarangan, imajinasikan bentuk interior yang diinginkan lewat pikiran......"
Zhang Jie membopong wanita itu tanpa menoleh, berlari ke kamar. Baru sempat mengucapkan dua kalimat, keduanya langsung menghilang di balik pintu kamar, menyisakan Zheng Zha bertiga saling pandang bingung. Lama kemudian, ketiganya baru ambruk lemas di lantai.
"Dia benar-benar hebat, masih bisa lari secepat itu, dan bahkan masih punya gairah untuk melakukan hubungan intim......"
Zhan Lan yang terbaring lemas di lantai berkata pelan: "Aku sampai sekarang masih gemetaran, tak dia bisa bertindak seolah tak terjadi apa-apa......"
Setelah bicara lama tanpa respons, saat menoleh dia melihat dua pria berdiri dengan mata tertutup di bawah bola cahaya. Dari bentuk bagian bawah tubuh mereka yang menegang, jelas sedang membayangkan wanita idaman.
“Kalian berdua Idiot! Laki-laki semuanya idiot! Baru saja hidup kembali, mengalami trauma sebesar itu, kalian malah langsung memikirkan hal H begitu kembali! Laki-laki benar-benar idiot besar!”
Zhan Lan menghela napas kesal sambil berlari ke sebuah kamar, mendorong pintu kamar dengan kasar. BRAAK! Suara pintu yang ditutup keras membuat kedua pria itu tersentak membuka mata. Mereka saling tersenyum kecut, kemudian menutup mata kembali.
Ini sensasi yang sangat unik. Saat Zheng Zha berdiri di bawah bola cahaya dan menutup mata, dia merasa seolah menyatu dengan cahaya itu. Di hadapannya muncul layar yang mirip platform pengoperasian program komputer. Empat kategori utama terdaftar: Sains dan Teknologi, Legenda Sihir, Pendukung, Hiburan. Selain itu ada enam atribut pribadi: Kecerdasan, Kekuatan Spiritual, Vitalitas Sel, Kecepatan Reaksi Saraf, Kekuatan Otot, Kekebalan. Terakhir tercantum poin reward dan jumlah alur cerita film horor.
Statistik Zheng Zha menunjukkan: Kecerdasan 107, Kekuatan Spiritual 122, Vitalitas Sel 97, Kecepatan Reaksi Saraf 131, Kekuatan Otot 112, Kekebalan 103. Tampaknya selain otot yang lebih terlatih dari orang biasa, atribut lainnya setara manusia normal. Kekuatan Spiritual dan Kecepatan Reaksi Saraf bertambah 20 dan 30 poin karena reward dari film horor.
Poin hadiahnya adalah 6502. Menyelesaikan satu film horor memberinya 1000 poin hadiah, 5000 poin lainnya dari hadiah alur cerita Level B, 500 poin dari hadiah lainnya. Dua poin terakhir mungkin didapat setelah membunuh lebih dari 20 zombie.
"Membuat seorang wanita sendiri, membuat seorang wanita sendiri......"
Zheng Zha tidak berniat menggunakan poin hadiah hari ini untuk menukar barang atau memperkuat diri. Setelah mengalami beberapa Momen hidup-mati di Bagian Pertama film horor, dia menyadari pentingnya kehati-hatian. Meski poin hadiahnya cukup banyak, dia memutuskan untuk berkonsultasi dengan Zhang Jie dulu sebelum memutuskan penguatan atau pertukaran. Saat ini hanya ada satu pikiran yang mengisi kepalanya.
（Luo Li, apakah bisa membuat Luo Li?）
Bola cahaya "Dewa Utama" sepertinya bisa membaca pikiran Zheng Zha. Kategori hiburan dari empat kategori utama langsung terbuka, lalu salah satu opsi mulai membesar dalam benaknya. Suara kaku namun khidmat berkata:
"Pembuatan pertama makhluk wujud manusia gratis. Setiap pembuatan berikutnya akan menggunakan 500 poin hadiah. Silakan simulasikan dalam pikiranmu jenis biologi, gender, penampilan, tinggi badan, usia, warna kulit, ras yang diinginkan..."
Zheng Zha perlahan tenggelam dalam memorinya. Tahun itu... masa kanak-kanak yang masih hijau, simpati diam-diam, keintiman samar. Yang paling jelas teringat adalah aroma harum rambutnya, senyumannya, suaranya, ingatannya...
"Ternyata kehidupan yang seperti mati tanpa makna itu, karena ketiadaan dirinya... Ternyata alasan dirinya terus jatuh ke dalam kegelapan, karena kehilangan genggaman tangan kecilnya..."
"Ternyata, selama kamu ada di sampingku, hatiku takkan pernah jatuh..."
Butiran air mata perlahan mengalir dari sudut mata Zheng Zha yang terpejam, lalu jatuh menghancur di tanah sebelum menghilang.
Saat dia membuka mata, di hadapannya muncul sosok gadis yang tersenyum ceria. Usianya sekitar lima belas enam tahun, berambut panjang indah, kulit seputih salju, mata berkabut, bibir merah darah. Gadis ini jelas merupakan bayangan yang takkan pernah terlupakan dari ingatannya, Luo Li.
Sejak kecil mereka seperti angin yang paling alami bagi satu sama lain. Meski sudah terbiasa hingga tak lagi disadari, keduanya tahu betapa pentingnya kehadiran masing-masing. Masa kecil anak kota umumnya sepi, di tengah hutan beton ini, pintu di seberang juga terkunci rapat. Bertahun tinggal bahkan tak tahu wajah tetangga. Karena itu, anak-anak yang tumbuh di kota sebenarnya sangat kesepian.
Sejak kecil Zheng Zha merasa sangat beruntung. Orangtuanya tipe orang yang sangat terbuka, suka bersuara lantang sambil mengeluarkan masakan enak untuk berbagi dengan tetangga. Kebetulan kedua tetangganya juga berkarakter sama. Tipe orang seperti ini sangat langka di kota. Yang paling beruntung, dia mengenal adik perempuan tetangga yang setahun lebih muda darinya.
Dia bagaikan ciptaan dewa yang sempurna layaknya kristal transparan tanpa gelembung cacat. Kecerdasannya selincah salju dan es, tabah dan baik hati meski penampilannya lembut. Gadis ini selalu riang tertawa keras, tak pernah takut kesulitan, suka memeluk lehernya dan menggoda dengan meniup angin ke telinganya.
Ia berpikir, selama dia ada di sisinya, hatinya takkan pernah mengalami pendinginan.
Tapi mengapa kehidupan manusia begitu rapuh? Saat usianya lima belas tahun, dia terbaring rapuh di tempat tidur putih. Terapi penyinaran membuat rambut panjangnya rontok, wajah pucat tanpa semburat merah muda, hanya senyum ceria yang bertahan. Namun ia tahu, senyum itu hanya untuk menghibur keluarga... dan dirinya.
Apakah hakikat kehidupan manusia? Mengapa dalam ingatannya, sosoknya yang tertawa indah itu berubah menjadi abu dalam guci keramik sekejap mata? Ia tak mau begini. Masih ingin melihat senyum lembutnya, gelakannya yang berguling di atas tubuhnya, desahan angin di telinganya. Ia benar-benar tak mau menerima ini...
"Dalam lautan manusia yang naik turun, dunia hitam-putih, perkelahian antar teman sebaya di sekolah, hasrat daging yang saling bersilangan dengan legenda masa muda di universitas, kelelahan kerja setelah lulus yang seolah masih bisa membuktikan dia hidup, terus jatuh, terus membusuk, satu demi satu wanita, putus setelah tidur bersama, satu demi satu bar, wanita, pil ekstasi, shabu, bahkan mungkin nanti akan menghisap putih..."
"Ternyata, selama kamu ada di sampingku, hatiku takkan pernah jatuh..."
Saat Zheng Zha terbangun, jam di dinding sudah menunjukkan pukul sebelas pagi. Ia menggaruk kepalanya, hendak meraih rokok di meja samping tempat tidur ketika lengannya menyentuh sesuatu yang sangat lembut.
"Hmm, jangan ganggu aku, biarkan aku tidur lagi..."
Suara memikat segera bergema dari dalam selimut. Zheng Zha terpaku, refleks meremas gumpalan bulat lembut itu. Sebuah tonjolan kecil perlahan mengeras di telapak tangannya, sementara suara itu mengeluarkan erangan yang semakin menggoda.
Pilihan di layar komputer: siklus film horor, Resident Evil 1, kematian, dan Luo Li...
Memori Zheng Zha terus berputar di kepalanya. Dengan gerakan kasar ia membuka selimut, dan benar-benar di dadanya meringkuk seorang gadis cantik luar biasa berusia sekitar 15-16 tahun. Kulit seputih salju bahkan lebih pucat dari seprai putih. Belum lagi wajahnya yang masih basah oleh dua alur air mata. Zheng Zha mengikuti tubuhnya ke bawah, melihat noda darah di paha dan seprainya.
Gadis itu meraih-raih selimut yang sebelumnya menutupinya namun tak menemukannya. Dengan mata masih terpejam dalam tidur lelap, ia merayap mendekati Zheng Zha di sebelahnya. Bahkan ketika kedua tangannya menyentuh benda keras, ia tak menyadarinya sama sekali.
Zheng Zha hanya ingat kemarin saat menciptakan manusia di 'Dewa Utama', ia terus mengingat sosok Luo Li dalam benaknya. Setiap senyumnya, setiap gerak-geriknya - tak hanya fisiknya yang tercipta sempurna, bahkan kenangan detail tentangnya muncul satu per satu. Saat membuka mata dan melihat kecantikannya, perasaan yang dipendam selama hampir sepuluh tahun meledak. Asal pilih kamar lalu menidurinya, tak terhitung berapa kali mereka berguling-guling hingga akhirnya tidur berpelukan saat gadis itu menangis memohon.
Saat ini, gadis itu kedua tangannya erat menggenggam kekakuan miliknya, membuatnya tak berani bergerak sedikit pun. Melihat wajahnya yang sangat familiar namun terasa asing, Zheng Zha merasa ribuan kata tak terucapkan di hatinya. Tanpa disadari, matanya telah dipenuhi air mata panas.
Gadis itu tampak merasakan dingin. Ia kembali meraih ke arah tubuhnya, namun tangan masih kosong. Diam-diam ia membuka celah kecil di matanya, dari balik kelopak ia melihat Zheng Zha yang sedang memandangnya dengan penuh perhatian. Seketika gadis itu tersipu malu, berontak merebut selimut dari tangan Zheng Zha. Ia membungkus tubuhnya rapat-rapat dengan selimut beberapa lapis. Baru setelah itu, ia merasakan sakit menusuk di bagian bawah tubuh, hingga tak tertahan ia menangis.
Sambil terisak gadis itu berkata: "Zheng Zha brengsek! Kemarin kau membuatku kesakitan, pagi-pagi sudah menggangguku lagi. Dasar jahat! Padahal bulan ini aku sudah menyiapkan sarapan untukmu. Janjinya akan memberiku cincin di usia 18 tahun, lalu menikah di usia 22 tahun baru begini. Dasar penipu! Aku masih beberapa bulan lagi genap 16 tahun..."
Zheng Zha gemetar mendengarnya. Tiba-tiba ia menggenggam tangan kecil gadis itu: "Kamu... Luo Li, kamu ingat? Masih menyimpan memori sebelumnya?"
"Gadis itu menangis sebentar lalu berhenti. Ia terus mengintip Zheng Zha lewat sudut matanya. Mendengar ucapannya, gadis itu heran bertanya, 'Maksudmu apa? Apa maksudmu aku masih ingat memori sebelumnya? Kenapa bicaramu tidak jelas? Dan... Tuan Serigala Besar! Tolong pakai baju lalu ambil gaun panjang hijau di rumahku. Kemarin kau merobek semua bajuku... Huh, untung sekarang orangtuaku sudah berangkat kerja. Kalau tidak, lihat bagaimana kau menjelaskan!'"
Zheng Zha terguncang hebat. Sikap, nada bicara, gerak-gerik gadis ini, bahkan ekspresi manis saat ia mendengus, jelas-jelas adalah tiruan persis Li Luo dalam ingatannya. Tidak, benar-benar sama persis! Baru sekarang ia menyadari kamar ini, jelas-jelas kamar tidurnya sendiri saat remaja dulu yang ditinggali bersama orangtua. Bahkan ornamen-ornamen kecil di sudut pun sepenuhnya sama.
"Ya Tuhan! Pasti suara kita kemarin didengar Paman dan Bibi. Wuu... Sekarang mereka pasti mengira aku gadis nakal. Dasar jahat, serigala tua... Wuu... Tadinya aku berencana belajar masak dari Bibi selama liburan musim panas ini. Sekarang aku tidak berani menemuinya lagi..."
Gadis itu berbicara sambil menangis perlahan, penampilannya terlihat seperti bunga pir yang basah oleh hujan, membuat Zheng Zha terdiam terpana. Tiba-tiba wajah gadis itu memerah marah karena malu, kedua tangannya mulai memukul-mukul Zheng Zha dengan cepat. Namun dia malu tubuhnya terlihat, jadi setelah beberapa kali pukulan dia segera membungkus diri dengan selimut, lalu mengulangi tindakan itu. Sikap imut nan menggemaskan ini membuat jiwa Zheng Zha seolah tenggelam dalam kemabukan.
"Tunggu, tunggu! Apakah semua ini mimpiku? Semua yang terjadi tadi, bahkan kondisi sakitmu - semua ini hanya mimpiku? Hahaha! Ternyata semuanya hanya mimpi!"
Zheng Zha tertawa terbahak sambil memeluk erat Luo Li. Dia terus tertawa meski gadis di pelukannya itu meronta dan menggigitnya. Namun tawa itu berubah menjadi isakan tangisan. Seorang pria dewasa memeluk gadis sambil terisak, membuat Luo Li perlahan berhenti meronta dan justru balik memeluknya erat.
(Sungguh lega, ternyata semua itu hanya mimpi. Masa depan seperti itu tak kuinginkan, tak kuinginkan sama sekali...)
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar dari aula. Luo Li langsung tersipu malu, buru-buru menyelipkan diri dalam selimut sambil berteriak: "Pasti Paman dan Bibi sudah pulang! Huu, dasar serigala berbulu domba! Bagaimana aku keluar sekarang? Baju kemarin sudah kaurobek semua!"
“Zheng Zha just merasa merinding karena dia masih mendengar samar-samar seseorang memanggil namanya. Suara itu jelas-jelas berasal dari Zhang Jie, artinya ini bukan mimpi. Loli yang dipeluknya hanyalah makhluk hidup yang diciptakannya.”
Zheng Zha memaksakan senyum: "Li, aku keluar dulu lihat situasi. Sekalian ambil baju untukmu. Tunggu di sini ya, jangan kemana-mana."
Untungnya Loli masih bersembunyi di bawah selimut sehingga tidak melihat ekspresi Zheng Zha. Dia hanya mendengus pelan lalu diam. Zheng Zha menghela nafas, mengenakan baju lalu berjalan menuju aula.
Memang semua perabotan di kamar persis sama seperti kamarnya saat remaja dulu. Setelah melewati aula, Zheng Zha membuka pintu depan. Di luar sudah menunggu Zhang Jie dan dua orang lainnya. Matanya langsung tertuju pada platform alun-alun di luar pintu, dengan bola cahaya raksasa mengambang di tengahnya.
“Tunggu di sini sebentar.”
Sebelum ketiganya sempat bicara, Zheng Zha sudah buru-buru menyela. Dia menerobos kerumunan dan berlari menuju bola cahaya "Dewa Utama".
“Jelaskan padaku, Dewa Utama! Bukankah dia makhluk buatanmu? Kenapa dia memiliki ingatannya? Kenapa bisa sama persis? Kenapa dia tidak tahu apa-apa tentang sini? Jawab, Dewa Utama! Apa yang sebenarnya terjadi?!”
