Lamu nyaris kehilangan nyawa. Kini dia hanya memiliki satu lengan yang tidak hanya memegang obor, tapi juga menjepit kantong kain besar. Saat Manaviya ditembak mati, dia sudah sepenuhnya kehilangan keberanian. Dengan jeritan keras, dia berlari lebih dalam ke lorong. Hampir bersamaan, beberapa tembakan terdengar di punggungnya. Beberapa peluru beruntun menembus punggungnya hingga hampir membuatnya terjungkal ke depan. Namun pria ini jelas telah meningkatkan kondisi fisiknya. Dengan darah mengucur dari lubang peluru, dia malah mempercepat larinya ke kedalaman jalur. Setelah beberapa detik, jejaknya benar-benar hilang.
Xiao Honglü meletakkan pistol sambil menghela napas. Bergumam dia berkata: "Tidak bisa! Senjata zaman ini kekuatan penghancurnya lemah, akurasinya juga tidak memadai... Rekoilnya terlalu besar, seluruh tangan jadi lumpuh sementara. Suaranya juga terlalu keras, telinga berdenging terus... Zhang Heng! Katakan sesuatu lah!"
Zhang Heng berlutut setengah sambil terus muntah. Setelah cukup lama, dia bangkit dengan lemah dan berkata: "Tung...tunggu aku, aku akan cari obor."
Xiao Honglü menghela napas, dia berkata keras: "Jika saat itu kamu bisa menembakkan satu panah lagi, pasti orang itu sudah mati. Sebenarnya apa yang kamu takuti? Aku tidak terlalu paham masalah psikologis ini. Jika dokter yang merawatmu cukup cerdas, seharusnya langsung melakukan terapi hipnosis. Kupikir kamu juga tidak akan membiarkan orang itu kabur."
Zhang Heng diam-diam mengambil obor di gang, lalu menyalakan beberapa obor di tanah dan menancapkannya di dinding. Sampai saat ini, Xiao Honglü masih melihat seluruh tubuh Zhang Heng bergetar, wajahnya terlihat pucat pasi. Seperti diteror oleh sesuatu yang mengerikan.
"Sebenarnya apa yang kamu takuti?" tanya Xiao Honglü heran.
Zhang Heng memanggul Zhang Jie dengan diam, ia tersenyum getir: "Aku sendiri tidak tahu apa yang ditakuti. Tapi setiap harus bertarung atau berselisih dengan orang, hatiku langsung takut dipukul... Aku sangat takut dipukul. Saat itu jika bukan karena panah sudah di busur, mungkin aku akan langsung kabur."
Xiao Honglü menyeringai dingin: "Seperti saat kamu kabur dari pacarmu itu?"
Zhang Heng seketika muka memerah, namun akhirnya tetap diam. Setelah cukup lama, ia bergumam pelan: "Jika memungkinkan... aku ingin mati di hadapannya. Karena dendam sudah terbalaskan. Mungkin dengan mati di depannya bisa sedikit menebus dosa... Aku tahu kerusakan yang kuterima darinya takkan terbayar seumur hidup, bahkan mungkin tak pernah ada kesempatan untuk menebus. Tapi tetap saja aku ingin bertemu sekali lagi, meski hanya sekali."
Xiao Honglü mengeluarkan sebuah apel dari dalam jubahnya. Ia menggigit sambil berkata tak jelas: "Kalau ini... Jika tebakanku benar, di makam ini mungkin ada benda yang sama berharganya dengan kehidupan kita. Walau belum pasti, tapi dari situasi saat ini, alur logikaku mungkin benar. Dengan kata lain, kau juga punya kesempatan..."
Zhang Heng penasaran bertanya: "Kesempatan apa?"
Suara perempuan lain juga bertanya datar: "Kesempatan apa?"
Zhang Heng dan Xiao Honglü langsung ketakutan. Zhang Heng segera mencoba menarik busur panjangnya, sementara Xiao Honglü langsung bersembunyi di belakangnya. Bocah lelaki ini baru menunjukkan sisi kekanak-kanakannya sekarang. Setelah suara perempuan itu terdengar, sosoknya perlahan muncul dari kegelapan - Zhao Yingkong dengan ekspresi datar.
Xiao Honglü segera keluar dari belakang Zhang Heng. Ia mengelilingi Zhao Yingkong dua kali sambil berkata: "Selesai dengan mudah? Tapi tak ada bau amis. Benarkah sudah selesai? Atau kau kabur sendirian lebih dulu?"
Zhao Yingkong tersenyum tipis. Dia bahkan mengulurkan tangan dan menepuk kepala Xiao Honglü, membuat bocah lelaki itu membelalakkan mata. Baru kemudian dia berkata: "Aku tidak punya kebiasaan meninggalkan anggota tim... Jika aku kembali, itu berarti misi sudah selesai. Jika aku tidak kembali... artinya musuh telah membunuhku." Setelah itu, dia berbalik dan menyusuri gang sempit itu.
Xiao Honglü mengusik-usik rambutnya dengan gerakan aneh. Bergumam: "Katanya kalau kepalamu diusap, kamu tidak akan tumbuh tinggi. Jika bisa kembali ke dimensi ruang Dewa Utama, aku harus memperkuat atribut rambut sekeras baja. Biar kalian usap terus... usap terus..."
Zhang Heng tersenyum getir. Matanya memandang penuh kerinduan ke arah siluet Zhao Yingkong yang semakin menjauh. Tangannya menggenggam erat busur panjang kayu keras, namun ekspresinya semakin pahit...
Di sisi lain, di jalur makam. Zheng Zhuo seperti orang gila mengejar biksu kecil sambil menghunus pisau belati. Wajah dan mulutnya berlumuran darah, satu tangan mencengkeram belati sementara tangan lainnya mencakar liar. Jika berhasil menangkap, langsung dihabisi dengan satu tebasan. Adegan kejar-kejaran ini persis seperti perkelahian preman jalanan, hanya saja satu tubuh menyala api merah darah, sementara yang lain bersinar cahaya Buddha.
“Sial, jangan lari! Bukannya kau ingin bertarung denganku? Sekarang aku di sini! Kalian kan sangat hebat, terus memburu kami dari belakang? Bukannya kalian sudah membunuh Ling Dian dan Qi Tengyi? Apa yang kalian lakukan pada wajah baru itu? Sial! Jangan lari!”
Zheng Zhuo yang telah membuka kunci genetik ke tahap kedua jelas lebih unggul dari biarawan kecil. Penguatan otot di kedua kakinya juga lebih kuat. Setiap langkahnya menginjak batu dan tanah hingga hancur berantakan, lalu seluruh tubuhnya melesat maju bagai Liu Feng. Perlahan, ia sudah menyusul di belakang biarawan kecil. Pisau belati diayunkan dengan kasar, menghasilkan suara dentingan logam. Biarawan kecil terhuyung-huyung, nyaris tertangkap oleh tangan kiri Zheng Zhuo. Gemetar ketakutan, ia memaksakan diri lari lebih kencang untuk menjauh.
“Sial! Muncul lah!”
Biksu kecil berlari sejauh itu, barulah ia teringat bisa memanggil ular kobra berkepala dua. Rasa takut tadi membuatnya hanya bisa memikirkan pelarian. Sejak menjadi komandan Tim Yinzhou, inilah pertama kalinya ia terlihat begitu compang-camping, sekaligus momen paling memalukan. Sebelumnya tak terbayangkan dirinya akan kabur dikejar orang? Aib ini membakar amarah tak terkira di hatinya, namun bayangan pengejaran gila-gilaan si pembantai di belakang membuatnya tak berani berbalik bertarung. Terpaksa ia terus melarikan diri semakin jauh.
Sambil berlari biksu kecil berteriak marah. Bersamaan teriakannya, seekor ular kobra raksasa berkepala dua muncul. Satu kepala ular diinjaknya sebagai pijakan melayang, sementara kepala satunya menyambar Zheng Zhuo yang mengejar di belakang. Dengan suara BOOM, ular raksasa itu menelan Zheng Zhuo dan menghantamkannya ke dinding.
Pandangan Zheng Zhuo hanya tertancap pada siluet biksu kecil itu. Meski tertindih di dinding, api darah di tubuhnya langsung membakar kepala ular hingga menguap. Kaki mendorong keras, seluruh tubuhnya melesat lagi mengejar biksu kecil yang semakin menjauh.
Keduanya kembali terlibat dalam pengejaran sengit hingga mereka menyergap masuk ke mulut terowongan yang menyerupai tebing. Di sana mereka secara tak terduga melihat beberapa orang berdiri di atas tebing - ternyata O'Connell, Jonathan, dan yang lainnya. Mereka sedang berkumpul di bawah sebuah patung seolah sedang berdiskusi. Baru ketika Zheng Zhuo dan Biksu Kecil muncul dalam kejar-kejaran, mereka baru terkejut dan melirik ke bawah.
Biksu Kecil melihat dengan jelas, dia mengarahkan kepala ular di bawah kakinya ke bagian atas tebing. Zheng Zhuo merasa cemas melihatnya, saat dia hendak berteriak untuk memberi peringatan, tiba-tiba kilat yang disemburkan kepala ular menghantam batu di bawah kaki semua orang. Alih-alih menyerang keempat orang, Biksu Kecil justru menghancurkan batu tempat mereka berpijak. Tiba-tiba, si bodoh Jonathan yang semula hendak melambaikan tangan, mendapati pijakannya meleset dan tubuhnya meluncur ke bawah tebing. Berkat refleksnya yang cepat, dia berhasil menggenggam bagian tonjolan batu, sehingga terhindar dari bahaya terjatuh. Namun meski begitu, ketiga orang di atas tak lagi bisa menjangkaunya karena saat ini dia sepenuhnya menggantung di ujung tebing.
Zheng Zhuo memandang dengan mata nyaris melotot keluar. Sungguh dia ingin melahap hidup-hidup biksu kecil itu, namun dengan berat hati, langkahnya perlahan terhenti. Biksu kecil itu justru menjerit histeris sakin menjauh, teriaknya menggema: "Pergilah kau Tim Zhong Zhou sialan! Beranilah bunuh aku! Aku akan kabur ke Imhotep! Jika tak membunuhku sekarang, kau akan menyesal seumur hidup! Bodoh! Munafik tolol... Aku akan menguliti anggota Tim Zhong Zhou kalian satu per satu hidup-hidup!" Suaranya kian samar tertelan jarak.
Zheng Zhuo menarik napas dalam. Tatapan dinginnya mengikuti siluet biksu kecil yang kian menjauh. Tiba-tiba dia mencongkel sebuah batu kecil dari tanah, lalu melemparkannya sekuat tenaga ke arah itu. Dari balik jalur, terdengar samar teriakan "Aduh!..."
Jonathan bergantung setengah di tepi tebing. Wajahnya pucat membiru, bahkan tak mampu berteriak minta tolong. Jari-jarinya mencengkeram erat tonjolan batu, namun tubuhnya perlahan melorot... Keringat membasahi jemarinya. Mustahil menahan beban dua orang di udara. Akhirnya dia menjerit: "Sial... Bagian bawah patung adalah alas emas!" Tubuhnya pun terjatuh ke jurang.
Zheng Zhuo berdiri di tepi tebing, jarak dari sini ke tempat Jonathan jatuh di seberang tebing lebih dari delapan meter. Jarak ini sebenarnya tidak terlalu jauh, dengan kecepatan dan kekuatannya, dia hanya perlu berlari cepat untuk mencapainya... Tapi dia harus menghitung waktu dengan tepat dan menyambut Jonathan tepat pada waktunya, jadi dia tidak bisa menggunakan cara lari ancang-ancang. Akhirnya dia hanya bisa...
Zheng Zhuo menarik napas dalam-dalam. Saat Jonathan berada tiga meter lebih di atasnya, dia melompat dari tepi tebing. Kaki-kakinya mendorong tebing sekuat tenaga, kekuatan paha yang dikuatkan maksimal dari membuka kunci genetik tahap kedua hampir menghancurkan batu itu dalam sekejap. Tubuhnya melesat seperti peluru menyambar Jonathan, dalam kondisi genting berhasil menjepit Jonathan di antara kedua lengannya. Keduanya terbang menuju dinding tebing seberang. Tinju kirinya menghunjam keras ke batu hingga berdarah-darah, terkubur dalam dinding batuan...
