Sejak awal tahun, Shanghai telah diguncang oleh arus bawah yang tak terlihat. Kecuali segelintir orang yang mengetahui rahasia dalam, sebagian besar masyarakat sama sekali tidak menyadari situasi sebenarnya. Bahkan banyak tokoh elite yang menganggap diri mereka berpengaruh, atau mereka yang memiliki sumber informasi luas, menduga mungkin pasukan Jepang sedang merencanakan pembantaian besar-besaran lagi. Bisa jadi tragedi Nanjing akan terulang kembali di Shanghai...
Berbagai spekulasi dan rumor ini secara bertahap memicu kekacauan di Shanghai. Sementara itu, segelintir orang yang mengetahui detail sebenarnya justru sibuk berebut benda legendaris itu hingga mengabaikan situasi. Kekacauan di Shanghai pun semakin menjadi-jadi. Lebih menyedihkan lagi, kekuatan asing yang sebelumnya menjaga ketertiban Shanghai setelah pendudukan Jepang, ternyata juga menjadi salah satu penyulut kekacauan ini karena ingin merebut benda tersebut. Akibatnya, benar-benar tak ada lagi yang mampu menghentikan kerusuhan ini...
Jonathan berdiri di depan jendela sambil memandang jalanan di bawah dengan diam-diam. Di tangannya tergenggam balok emas berwarna ungu muda. Dengan gerakan mekanis, ia terus melempar-lemparkan balok emas itu. Tiba-tiba angin puyuh muncul di belakangnya. Ia menghela nafas dan berkata: "Imhotep, bisakah kau berhenti menyusup sebagai pasir di belakang orang seperti ini? Sungguh membuat bulu kuduk merinding!"
Di belakang Jonathan muncul seorang pria botak tampan yang mengenakan jubah sihir hitam mirip pendeta. Dialah Imhotep pendeta abadi. Ia mengangkat bahu: "Ding Li mati, tanda kutukan di tubuhnya tiba-tiba menghilang dua menit lalu. Tempat ini mungkin juga tidak aman..."
Jonathan hanya berkata "Oh" dengan santai, lalu berbalik dan menyergap ke sudut ruangan. Di sana ada kotak besar tak mencolok. Ia memasukkan emas-ungu ke dalam kotak itu, lalu berkata pada Imhotep sambil mengangkat kotak: "Ngapain disini? Ayo cepat kabur!"
Imhotep sepertinya sudah terbiasa dengan tindakannya. Pendeta botak tampan ini menghela nafas: "Akhirnya aku percaya kau bisa lolos sendiri dari makam itu. Nyatanya semua orang lain sudah mati... Jika kabur bisa disebut bakat, maka bakatmu ini layak disebut mukjizat bahkan keajaiban... Ayo cari tempat lain."
"Ngomong-ngomong... Imhotep, kok kayaknya kamu nggak suka emas gitu?" tanya Jonathan sambil mengangkat tas punggung, penasaran.
Imhotep mengerutkan alis: "Dulu aku pendeta besar Mesir, kemewahan tak terbatas. Asal mau, harta apapun bisa kudapat. Masak iya aku tertarik sama emas receh?"
“Kalau begitu…” Jonathan langsung bersinar matanya dan berkata: “Bagaimana kalau kamu menyerahkan bagian emasmu kepadaku? Lagipula kamu tidak membutuhkan emas-emas ini, serahkan semuanya padaku. Aku pasti tidak akan membatasi beratnya.”
Imhotep memandang tas besar Jonathan dengan perasaan tidak berdaya. Sebenarnya di dalamnya sudah ada lebih dari 400 kilogram emas, namun karena efek anti-gravitasi dari suatu benda, beratnya sama sekali tidak melebihi 5 kilogram. Jadi meski terlihat seperti tas besar yang penuh, Jonathan mengangkatnya tanpa kesulitan. Yang benar-benar membuat Imhotep frustasi adalah watak Jonathan yang tamak akan uang. Meski sudah akrab dengannya, menghadapi sifat yang biasanya hanya dimiliki budak rendahan ini, dia pun tidak bisa banyak berkomentar.
“Tidak boleh!”
Suara wanita bergema dari pintu tangga. Seorang wanita cantik legendaris berdiri di sana, matanya melotot ke arah Jonathan: “Apa yang kamu lakukan? Emas itu adalah imbalan kami untuk membawamu keluar dari Tiongkok! Aku hanya memilih beberapa benda kecil yang indah. Artefak-artefak dengan lebih banyak emas semuanya diberikan padamu. Kenapa? Kamu masih belum puas?”
Wanita ini memang cantik, namun terkesan memiliki watak agak kasar. Jonathan hanya bisa terkekek-kekek dengan malu, tidak berani mengucapkan sepatah kata pun.
Imhotep tertawa sambil menarik tangan si cantik ini, baru kemudian dia berkata pada Jonathan: "Tak peduli bagaimana, kita harus segera mencari kapal yang bisa berlayar. Lima monster berbaju kuning itu tidak tahu kapan akan menghidupkan kembali dan menyerang kita. Kali berikut aku belum tentu bisa melindungimu sepenuhnya, lebih baik segera pergi dari tempat berbahaya ini."
“Walau perkataan memang begitu. Tapi bukankah menurutmu sangat sulit menemukan kapal yang bisa membawa kita pergi dari sini?” Jonathan berjalan sambil berkata: “Aku sudah menghubungi semua kenalan yang kukenal. Sekarang bahkan Ding Li yang paling berkuasa di Shanghai pun tidak bisa melindungi kita untuk pergi, bahkan dia sendiri sudah dibunuh... Padahal aku benar-benar berencana menyerahkan kepala Buddha sebagai imbalan kepadanya. Kini ternyata bahkan dia pun...”
Jonathan bergumam sendiri sambil berjalan keluar, sementara Imhotep pun tidak menghiraukannya. Dengan menggandeng tangan Si cantik, dia perlahan mengikuti dari belakang. Lagipula Jonathan adalah kecoak sejati, diperkirakan bahkan jika semua orang di sekitar mati oleh Sinar Maut, dia tetap bisa selamat. Walau Ding Li akhirnya dibunuh karena terseret kasus kematian kepala Buddha ini, tapi Jonathan masih punya tempat persembunyian lain. Kondisi saat ini bukan takut pada manusia, melainkan pada makhluk asing yang bersembunyi di kegelapan... makhluk mengerikan yang bahkan mampu melukai dirinya itu...
Saat Zheng Zhuo dan yang lain mendekati benua Asia, saat ini sudah menjelang subuh, langit juga baru mulai terang namun belum sepenuhnya cerah. Dengan perlindungan cahaya langit saat ini, semua orang dengan mudah turun dari langit ke tanah, kemudian berdiri di sebuah gang sempit yang biasa-biasa saja. Setelah merapikan Green Devil Skateboard, masing-masing menggendong anggota tim yang tertidur, mereka mulai berdiskusi tentang rencana selanjutnya.
"Bagaimanapun juga, mari cari penginapan dulu. Besok kita cari koran untuk memuat informasi itu, bagaimana?" Zheng Zhuo sambil melihat sekeliling, bergumam kepada orang di sekitar.
Bukan hanya Zheng Zhuo yang penasaran, orang lain juga memandang sekitar dengan rasa ingin tahu. Inilah Shanghai era 30-40an. Sejak masa itu, Shanghai sudah menjadi salah satu kota besar berperadaban di dunia. Meski negara tempat kota ini berada saat itu mengalami banyak penghinaan, Shanghai tetap menjadi kota terbesar di Asia... meski dipenuhi dosa yang tak terbayangkan.
Saat orang-orang keluar dari gang sempit itu, mereka segera menarik perhatian banyak orang di pinggir jalan. Pertama, pakaian mereka tidak selaras dengan era ini - disebut tidak tradisional maupun modern. Sekelompok orang berbaju kasual yang berjalan di jalan jelas terpisah jarak sepenuhnya dari sekelilingnya, bahkan beberapa perempuan menghindar dengan hati-hati. Kedua, dalam batalyon besar ini ternyata ada beberapa orang yang tampak tak sadarkan diri. Situasi seperti ini mudah mengingatkan pada kata-kata seperti penculikan, pembunuhan, atau tindak kriminal.
"Ternyata benar-benar masyarakat lama, sepertinya penegakan hukum di sini sangat kacau..." Cheng Xiao bergumam sambil berjalan. Orang-orang mengikuti arah pandangannya dan melihat puluhan orang bersenjata kapak sedang mengepung sekelompok kecil di jalan. Meski kelompok kecil itu memiliki pistol, jumlah personel yang tidak seimbang membuat dua orang sudah terbaring tak sadar, sementara sisanya berlarian panik. Yang paling aneh, beberapa petugas berpakaian polisi justru sedang merokok tak jauh dari tempat pembantaian itu. Pemandangan ini terlihat begitu absurd dan menyedihkan.
"Situasi ini sangat familiar!" Cheng Xiao tiba-tiba menunjuk keributan pembacokan di kejauhan dengan bersemangat: "Meski penasaran, apakah geng kriminal suka berkelahi subuh-subuh begini? Tapi adegan ini pernah muncul di film 'Kung Fu', biasanya setelah perkelahian selesai, bos geng akan teriak 'Polisi datang bersih-bersih!' lalu pergi dengan gaya sok jagoan... Sedangkan para polisi cuma bisa diam seribu bahasa..."
Suara Cheng Xiao sangat keras, sementara gerakannya menunjuk ke arah polisi terlihat jelas dari kejauhan. Kota ini memang layak disebut kota besar, dengan banyak lampu jalan di tepian. Gerakan Cheng Xiao yang terlalu mencolok membuat warga biasa di sekitar mereka diam-diam minggir ke pinggir jalan. Beberapa polisi dengan muka merah marah sedang mendekati mereka.
"Kalian ini ngapain? Siapa orang-orang ini?" Polisi paling depan mengenakan seragam yang terdistorsi di tubuhnya, jelas-jelas berpenampilan seperti prajurit bajingan. Bahkan lebih parah - lebih mirip preman kecil. Saat ini dia sedang memegang tongkat polisi sambil melirik Cheng Xiao dengan sebelah mata.
Cheng Xiao malah terlihat seperti orang bodoh. Dia memandang polisi itu ke kiri-kanan sampai si polisi hampir meledak marah, barulah tiba-tiba dia berpaling ke Zheng Zhuo dan Chu Xuan di belakangnya: "Boleh kita bunuh orang ini?"
Zheng Zhuo belum sempat bicara, Chu Xuan menunduk melihat dokumennya sambil membaca berkata: "Bunuh saja, tidak masalah. Tujuan kita kali ini bukan menyelesaikan film horor, hanya menyelesaikan alur cabang saja. Urusan dunia ini tidak mungkin mengikat kita terlalu banyak. Asalkan tidak mengganggu rencanaku, semua orang yang mengancam bisa dibunuh."
“Oh.” Cheng Xiao terkekeh-kekeh, lalu dia menatap beberapa polisi preman itu sambil terus tertawa. Para polisi preman itu sudah terdiam membeku mendengar ucapan tadi. Mereka belum pernah melihat orang yang seenak sekarang beraksi seperti ini, bahkan terang-terangan mengatakan akan membunuh di jalanan. Bahkan organisasi besar seperti Qing Bang atau Hong Bang sekalipun, jika hendak membunuh, tidak akan mengatakannya secara terbuka seperti ini. Contohnya kasus pembunuhan bos Qing Bang Ding Li oleh personel misterius, anggota Qing Bang yang mencari balas dendam di jalanan juga harus memberi tahu mereka terlebih dahulu. Di seluruh Tiongkok, siapa yang berani seenak sekarang beraksi seperti itu?
"Lalu..." Cheng Xiao tiba-tiba berputar di udara dan melompat. Loncatannya mencapai ketinggian lebih dari empat meter, gerakan berputarnya menyerupai burung terbang. Saat mendarat, kepala polisi preman yang sedang menodongkannya dengan tongkat polisi itu telah terpental. Kemudian ia tersenyum pada beberapa polisi yang tersisa yang terpaku ketakutan. Para polisi itu segera panik memanggil puluhan anggota Qing Bang yang berada di kejauhan.
Cheng Xiao terkekeh hendak menyerbu maju, tiba-tiba teriakan Zheng Zhuo terdengar dari belakangnya. Hatinya berdesir khawatir akan dihentikan, namun Zheng Zhuo justru mengucapkan kalimat yang sama sekali berbeda.
"...Cheng Xiao, jangan bunuh semua. Sisakan satu tawanan."
