"Kita sebenarnya ada di mana? Aku ingin pulang..." Beberapa rekan perempuan tak lagi sanggup menahan isak tangis.
“Lima altar warna lagi...” Pang Bo dan Ye Fan berdiri bersama. Keduanya saling bertukar pandang lalu menggelengkan kepala. Saat kuliah mereka adalah teman terbaik, bahkan setelah lulus masih sering bertemu. Saling memahami satu sama lain. Kini keduanya merasakan situasi yang tidak baik, posisi semua orang penuh ketidakpastian dan faktor tak terduga.
Pada saat ini, orang-orang lain juga menarik pandangan dari hamparan gurun yang kosong, memandang sekeliling dengan cemas dan panik.
Peti mati perunggu raksasa tergeletak di belakang mereka. Di bawah peti tersebut terdapat altar batu lima warna yang megah, sangat mirip dengan altar persembahan raksasa yang terlihat di Gunung Tai, dibangun dari tumpukan batu raksasa lima warna berbeda.
Altar batu lima warna ini menempati area yang sangat luas. Dapat dibayangkan proyek kolosal yang dilakukan saat pembangunannya dahulu. Namun setelah bertahun-tahun digerogoti angin dan pasir, altar raksasa yang seharusnya menjulang tinggi kini hampir seluruhnya terkubur di bawah tanah, kini sejajar dengan daratan berpasir kerikil merah kecoklatan.
"Hari ini sembilan naga menarik peti mati datang, menghantam daratan dengan keras, baru mengguncang pasir di sekeliling, membuat altar memperlihatkan garis besarnya. Bukan hanya peti mati perunggu raksasa terbaring di atas altar, bahkan sembilan bangkai naga besar juga menindihnya. Dapat dibayangkan betapa megahnya altar batu lima warna ini."
"Kami... tersesat, tak bisa menemukan jalan pulang." Seorang teman perempuan yang rentan menangis tersedu-sedu, tubuhnya bergoyang. Jika tak ada yang menopang, pasti sudah terjatuh.
Banyak yang wajahnya pucat. Pada detik ini semua orang membayangkan berbagai kemungkinan. Pemandangan di depan mata persis seperti dunia asing. Tak ada yang mau menerima kenyataan ini, tapi Gunung Tai sudah lenyap. Padang tandus nan kosong terhampar di hadapan, memaksa semua untuk diam.
"Jangan panik, jangan takut, pasti ada solusinya." Ye Fan berteriak keras.
“Bagaimana caranya menyelesaikan masalah, bagaimana kami bisa pulang, bagaimana... keluar dari dunia asing ini?” Bahkan suara beberapa teman pria pun sudah gemetar, dipenuhi ketakutan dan kegelisahan yang intens.
Ketidaktahuan akan membuat sebagian orang penuh rasa hormat dan ketakutan, sekaligus membangkitkan keinginan untuk menyelidiki pada sebagian lainnya.
Ye Fan dan Pang Bo menghindari sembilan bangkai Long yang besar, berjalan maju untuk melihat situasi di sekitar.
Li Xiaoman berada tak jauh, terlihat agak kedinginan dengan kedua lengan memeluk tubuhnya. Wajah cantiknya agak pucat namun tetap memancarkan ketenangan, bagaikan teratai yang jernih dan indah mekar dalam kegelapan. Saat Ye Fan lewat, ia melepas jaket dan menawarkannya, namun Li Xiaoman hanya mengucapkan terima kasih lalu menggelengkan kepala dan menolak.
Ye Fan tidak banyak bicara. Dia tidak berniat memperbaiki apa pun. Setelah mengenakan mantel, dia melanjutkan perjalanan bersama Pang Bo. Mengelilingi mayat naga raksasa dan peti mati perunggu, mereka melihat Cade, teman sekelas Li Xiaoman dari Amerika, juga sedang mengamati situasi sekitar sambil berulang kali berucap "god" sebagai ekspresi keterkejutan.
Tidak jauh dari altar batu lima warna, terdapat sebuah batu karang raksasa yang terbaring horizontal. Tingginya saja mencapai lebih dari 20 meter, meski kemiringannya tidak terlalu curam sehingga masih bisa dipanjat.
Tinggi badan Ye Fan sekitar 1,79 meter. Meski penampilannya terkesan tenang, sebenarnya fisiknya sangat kuat. Di masa lalu, dia pernah menjadi pemain inti tim sepakbola kampus yang sering dijuluki "Manusia Biadab" di lapangan.
Pang Bo benar-benar mencerminkan makna namanya yang berarti 'megah'. Tubuhnya tidak gemuk, tetapi berotot secara alami. Sebagai pria besar berotot, lengannya hampir sebesar kaki orang biasa.
Konstitusi fisik kedua orang ini sangat luar biasa. Di depan batu raksasa, mereka berlari cepat tanpa berhati-hati memanjat, langsung menerobos naik. Saat berdiri di atas batu dan memandang ke kejauhan, tak disangka mereka melihat titik-titik cahaya lemah menembus kegelapan, membuat mereka terheran-heran.
"Kemungkinan besar kita tidak bisa kembali." Terhadap sahabat terdekatnya, Ye Fan tak ragu mengungkapkan dugaan dan penilaiannya: "Tempat ini pasti bukan ruang-waktu asal kita."
"Tempat ini memang sudah bukan dimensi kita semula." Pang Bo yang biasanya ceplas-ceplos, kali ini serius total. Matanya menatap aura cahaya redup di kejauhan sambil berkerut: "Menurutmu, benarkah ada dewa di dunia ini?"
Ye Fan juga memandangi cahaya samar yang berkedip-kedip itu: "Kita bahkan sudah melihat mayat naga. Sekalipun seorang dewa yang hidup muncul di hadapan kita, rasanya aku takkan terkejut lagi."
"Seorang dewa hidup muncul di depan mata... seperti apa kira-kira?" Pang Bo bergumam pelan.
Suara terdengar dari belakang. Kaid yang memiliki tinggi badan 1,9 meter juga memanjat batu raksasa. Begitu melihat cahaya samar di kejauhan, dia langsung menjerit kaget.
"Puji...Tuhan yang Maha Pengasih, aku...melihat cahaya." Ucapnya dalam bahasa Mandarin yang terbata-bata. Lalu ia berbalik dan melambaikan tangan keras-keras ke arah Li Xiaoman di tengah kerumunan, berteriak: "Aku melihat...cahaya!" Kemudian dia turun dari batu raksasa dan menyergap ke arah Li Xiaoman.
Teriakan Kaid langsung membuat kerumunan menjadi kacau. Banyak orang berlarian ke tempat ini.
Pang Bo melihat Li Xiaoman dan Kaid yang berdiri berdekatan tak jauh dari situ, lalu berkada pada Ye Fan: "Bule itu sebenernya pacarnya Li Xiaoman nggak sih?"
"Aku mana tahu."
"Beneran mau lepas gitu aja?" Pang Bo menyorotkan matanya ke arahnya.
“Ada hal-hal yang meski bisa diulang dari awal, tetap sulit kembali ke Yuan Dian (Titik Awal). Meski melewati jalan yang sama dua kali dalam hidup, takkan ada lagi perasaan aslinya. Semua itu sudah lewat, manusia harus maju ke depan.” Ye Fan menggelengkan kepala, lalu seolah teringat sesuatu, tersenyum tipis: “Masih kau bajingan ini yang paling bebas, hidup malammu begitu berwarna.”
“Aku menghinamu, mana ada yang lebih beragam dari hidupmu.” Pang Bo memandang Ye Fan, lalu melirik Li Xiaoman tak jauh: “Dengan intuisi pria, kurasa kalian berdua masih akan terjadi beberapa hal.”
“Jangan nodai reputasiku.” Ye Fan tersenyum: “Kau juga punya indra keenam seperti perempuan?”
Pada saat ini, mungkin hanya mereka berdua yang masih bisa tertawa. Keduanya bukan tipe orang pesimis, kapan pun sulit melihat mereka dengan wajah muram.
Tak lama kemudian, banyak orang memanjat batu raksasa dan memandang ke kejauhan. Cahaya lemah seperti kunang-kunang berkedip-kedip, menembus ruang redup dan memasuki pandangan semua orang. Meski titik cahaya itu tak terang, namun seolah menyulut harapan kerumunan. Beberapa siswi bersorak-sorai riuh.
Di depan ada cahaya redup. Meski masih penuh ketidaktahuan, semua orang ingin maju. Mungkin ini naluri alami manusia - takut akan kegelapan, merindukan cahaya.
"Jangan sampai kami kecewa."
"Semoga keajaiban terjadi."
Orang-orang turun dari batu raksasa satu per satu, berkumpul di altar lima warna untuk bernegosiasi tentang solusi.
"Semua di sini asing bagi kita. Meski ada cahaya di depan, lebih baik tetap waspada." Wang Ziwen yang penuh kewaspadaan mengajukan saran ini.
Zhou Yi yang tetap tenang mengangguk, "Benar. Pertama-tama kirim beberapa orang untuk pengintaian. Lagipula sumber cahaya itu tampaknya tidak terlalu jauh. Kita harus berjaga-jaga."
Semua orang setuju, jalan di depan yang tak diketahui tak bisa diprediksi, di lingkungan asing ini semua harus berhati-hati.
"Bang!"
Tiba-tiba, guncangan hebat bergema. Peti tembaga di altar lima warna mengeluarkan suara getar logam.
"Apa yang terjadi?"
"Sepertinya suara itu berasal dari dalam peti tembaga." Seorang teman perempuan yang paling dekat dengan peti itu berkata dengan wajah pucat.
Mendengar ini, wajah semua orang berubah pucat. Bagaimana pun di dalam peti besar itu terdapat peti kecil berisi mayat.
