Ye Fan menyangga peti mati perunggu kuno dengan tangan, posturnya bagai bulan yang terpantul di danau tenang, berdiri tak bergerak dengan aura transenden yang memancar. Pada detik ini ia terlihat laksana Xian yang diasingkan dari kayangan, siap terbang mengikuti angin kapan saja.
Namun dunia batinnya saat ini tidak setenang penampilan fisiknya. Suara Langit Jalan Agung bergema bak samudera nan dalam, setiap kata yang bergema bagai retakan jurang dan amukan lautan, mengguncang seluruh Langit dan Bumi.
Seperti nyanyian meditasi dari zaman purba, atau doa para dewa di hutan belantara tak bertepi, terus mengalir tanpa henti, membelah langit kuno, perlahan meresap ke dalam hati Ye Fan, mengguncang lautan jiwanya, membuat pikirannya bergejolak tanpa tahu di mana dirinya berada.
Dari kejauhan, semua orang memandangnya yang diam membatu dengan ekspresi bingung. Mereka tidak tahu apa yang terjadi, hanya merasakan aura seperti dewa yang diasingkan yang tak ternoda, memancarkan kesucian dan keanggunan layak makhluk surgawi yang baru turun ke dunia.
Seluruh tubuh Ye Fan membeku di tempat. Suara ilahi bergema seperti lonceng, jauh namun agung, sulit dipahami maknanya. Kadang seperti berada di jurang neraka, kadang seperti memasuki tanah suci para dewa. Segala macam perasaan tanpa alasan membanjiri hatinya, membuatnya waspada sekaligus kebingungan.
Mantra misterius ini tidak bertele-tele. Sebaliknya, hemat kata dengan total hanya ratusan karakter singkat. Terasa prinsip "Jalan Agung mengarah pada kesederhanaan", kemewahan yang luruh kembali ke hakikat polos, menyiratkan kesederhanaan kuno yang autentik.
Suara langit bak lonceng kuningan raksasa terus bergema berulang kali. Setiap karakter yang masuk ke dalam hati Ye Fan awalnya mengguncang bagai gemuruh bumi, kemudian mereda sehening bulan purnama yang terbit di lautan. Ratusan aksara kuno telah terukir jelas di relung hatinya, namun gaung suara ilahi tak kunjung padam, terus bergema di telinganya.
Sepanjang proses ini, biji bodhi di dada Ye Fan memancarkan kehangatan luar biasa, membuat seluruh tubuhnya terasa nyaman. Hanya berkat pusaka inilah Ye Fan bisa mendengar alunan mistis nan sublim tersebut.
Legenda menyebut pohon Bodhi mampu membangkitkan kesadaran ilahi manusia, mencerahkan batin, serta menangkap irama kosmis Langit dan Bumi. Jelaslah bahwa biji bodhi yang terkubur di bawah pohon Bodhi purba depan Kuil Maha Genta Suara ini memiliki asal-usul yang luar biasa.
Saat Ye Fan diam membatu, yang lain mulai curiga. Seorang anggota tim mengusulkan untuk menariknya menjauh, mengingat posisinya yang bersandar pada peti mati perunggu kuno - pemandangan yang secara naluriah menimbulkan prasangka buruk.
Pang Bo mengitari Ye Fan dua kali, melihat tak ada ekspresi menderita di wajahnya. Sebaliknya, aura kemurnian memancar dari tubuhnya, sementara kabut misterius menyelimuti Peti Tembaga itu, seolah napas dewa-dewa sedang menyebar.
Akhirnya Pang Bo tidak terburu-buru mengambil tindakan. Ia memilih berjaga di sampingnya, menanti dengan tenang.
"Jangan-jangan siluman menyusup, merasuki tubuhnya?" Li Qingcheng menatap tajam Peti Perunggu Kuno itu, lalu memandang Ye Fan sambil mengucapkan kalimat ini.
Yang lain langsung menggenggam erat peninggalan dewa di tangan. Beberapa orang tanpa sadar mundur beberapa langkah. Peti misterius ini penuh ketidaktahuan yang membuat resah.
"Otakmu cuma di pantat ya? Kau harus menjelekkan Ye Fan sampai mati? Pemikiran macam apa ini? Niat buruk apa yang kau simpan?" Pang Bo sama sekali tak menghormatinya. Sejak ketegangan di Altar Lima Warna, pria ini terus menyasar dia dan Ye Fan, maka tutur katanya pun sengaja dibuat kasar.
"Sudahlah, jangan bertengkar lagi." Zhou Yi sedikit mengerutkan kening, lalu menyapu pandangan ke sekeliling, berkata: "Saat ini kita belum bisa memastikan apakah masih ada buaya suci di dalam Peti Perunggu Raksasa ini. Kita harus waspada dan melakukan pencarian menyeluruh."
Yang lain langsung tegang mendengarnya. Ini kenyataan - setelah menemukan satu buaya suci, mungkin masih ada yang kedua, ketiga, atau bahkan lebih. Ini menyangkut nyawa semua orang. Empat belas orang sudah tewas karena makhluk ini. Binatang mengerikan dan menakutkan ini membuat bulu kuduk merinding.
Mereka tidak terlalu menyebar, hanya membagi dua kelompok agar bisa saling membantu. Dengan cahaya ponsel dan cengkeraman erat pada peninggalan Dewa, mereka mulai menyisir kegelapan.
Namun setelah memeriksa setiap sudut hingga kedua kelompok bertemu kembali, tidak ditemukan apa-apa. Meski begitu, mereka tetap tidak boleh lengah. Peti yang luas ini bisa dengan mudah menyembunyikan beberapa buaya suci tanpa ketahuan. Belum lagi kemungkinan makhluk itu menempel di dinding peti bagian atas yang gelap gulita - area yang sama sekali tidak terlihat jelas.
“Tingkatkan kewaspadaan, persiapan hati-hati kami tak akan salah.” Lin Jia mengingatkan semua orang sembari menghibur, “Kalaupun masih ada buaya suci, benda Buddha di tangan kita pasti ditakutinya. Jika tidak, pasti sudah menyerang lagi.”
Tiba-tiba, suara aneh terdengar oleh mereka. Meski sangat lemah, hampir tak terdengar, getarannya mengguncang jiwa! Gemuruh genderang seakan datang dari dimensi ruang-waktu nun jauh, berat dan sarat duka. Kemudian dentang lonceng bergema, kesedihan menyebar, samar namun nyata.
“Suara dari mana ini?”
Semua orang terkejut, memandang sekeliling, tapi tak menemukan apapun.
Dentuman genderang muram dan dering lonceng pilu itu seakan menembus dinding peti, membuat bulu kuduk merinding.
“Ini... jangan-jangan musik duka pemakaman kaisar zaman kuno?”
Tiba-tiba, lebih banyak suara terdengar, seolah ada nada duka tak berujung, puluhan ribu orang bersujud dan berdoa untuk pemakaman seseorang.
Lonceng kematian bergema, genderang duka bergulung-gulung, bagaikan pemakaman agung megah terpampang di hadapan semua orang, lautan manusia tak berujung di antara Langit dan Bumi meratap dalam kesedihan dan berdoa.
Pada saat itu, sembilan lengkingan naga bergema nyaring menyobek langit, mengguncangkan sungai dan gunung, bergema di seluruh daratan, seolah lukisan nyata terukir dalam sejarah angkasa luar...
Seketika itu, semua orang merasakan perasaan misterius, seolah menyaksikan langsung adegan kaisar purba memerintah daratan luas tak bertepi, beroperasi selama puluhan tahun menguasai dunia, diikuti pemakaman agung megah berskala belum pernah terjadi sebelumnya.
Sebenarnya tidak ada gambaran visual, semua ini adalah asosiasi yang muncul setelah mendengar lengkingan naga dan doa lautan manusia. Semua orang segera sadar, nada duka samar itu masih bergaung, membuat punggung semua orang merinding.
“Relik Dewa di tangan kami kembali memancarkan kilatan cahaya……”
Saat itu, cahaya suci bertebaran. Semua artikel Buddha di tangan orang-orang memancarkan kilauan, namun bukan karena kekuatan mengerikan pulih, melainkan justru kehilangan cahayanya seperti hampir mengering. Puluhan ribu aliran sinar suci mengalir keluar, seluruhnya menerjang ke arah dinding Peti Perunggu Raksasa, menyatu dengan ukiran-ukiran perunggu kuno itu.
Dinding peti dipenuhi karat hijau, namun sulit menutupi gambar-gambar masyarakat prasejarah dan dewa purba. Pada detik ini, semua ukiran itu bersinar terang bak hendak hidup kembali. Gambar-gambar binatang buas dan burung suci pun menjadi hidup bagai manusia sesungguhnya. Ukiran-ukiran perunggu dari Zaman Purba ini dipenuhi oleh sebuah kekuatan misterius.
“Lihat, ukiran angkasa luar itu berkedip-kedip……”
Semua orang menyadari keanehan di sana—ukiran tembaga purba terbesar itu menggambarkan hamparan angkasa luas, di mana semua bintang saat ini sedang berkilauan. Latar belakang dinding peti yang suram tetap tak berubah, bagai langit malam kelam yang dihiasi gemintang nyata tak berujung.
"Ada garis tipis berkedip di peta bintang ini, mungkinkah itu jalur antariksa kuno yang pernah kita lewati?"
Orang-orang berkerumun, bersama-sama mengamati. Suara-suara takjub bermunculan, wajah mereka sama-sama memperlihatkan ekspresi terkejut.
Meski pola bintang ini seluas samudra dengan ribuan bintang sebesar debu, beberapa planet khusus tampak lebih terang, menyolok dibandingkan bintang-bintang lain yang bertebaran.
"Tujuh bintang ini bersinar terang, sepertinya Tujuh Bintang Biduk!"
Mendengar perkataan Wang Ziwen, semua orang menatap tajam ke depan jalur yang diduga sebagai rute antariksa kuno. Di sana, Tujuh Bintang Biduk berkilauan gemilang, sungguh menarik perhatian.
Masih banyak bintang yang seterang Tujuh Bintang Biduk. Setelah diamati seksama, beberapa orang menunjukkan ekspresi terkejut. Zhou Yi yang berpenampilan intelek ini memang telah banyak mempelajari literatur kuno. Di tempat itu, ia langsung mengenali bintang-bintang istimewa yang bersinar terang: "Itu semua adalah konstelasi kuno dari zaman Tiongkok kuno."
Dalam sejarah Tiongkok kuno, langit dibagi menjadi beberapa zona. Setiap wilayah galaksi memiliki nama berbeda yang dapat diringkas dalam konsep San Yuan Si Xiang Ershiba Xiu (Tiga Benteng, Empat Simbol, Dua Puluh Delapan Rumah Bintang) untuk menggambarkan siklus kosmik.
Ukiran tembaga purba di hadapan kita ini mengikuti metode klasifikasi tersebut, dengan menandai secara khusus beberapa bintang terkenal.
"Setelah mengamati peta bintang ini dan meneliti jalur antariksa kuno itu, sungguh tak bisa tidak membuat orang terpana. Pembagian langit oleh leluhur kita mungkin bukan sekadar takhayul - setiap rasi bintang mewakili wilayah galaksi tertentu yang tampaknya memiliki makna filosofis dan strategis yang mendalam..."
"Benar. Dari situ terlihat kaitannya dengan jaringan jalur antariksa kuno. Mungkin juga terkait dengan planet-planet sumber kehidupan..."
Semua yang hadir tertegun, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun untuk waktu yang lama.
“Lihat! Garis tipis berkilau di peta angkasa ini terus memanjang. Mungkinkah ini merepresentasikan arah perjalanan kami, sebagai perpanjangan dan manifestasi dari jalur kuno di angkasa?”
“Garis tipis ini terus mendekati formasi Tujuh Bintang Biduk tanpa henti!”
Semua orang terdiam sejenak. Mereka yang awalnya berada di Gunung Tai di Bumi ini, baru beberapa saat berlalu, namun sudah hampir mencapai Tujuh Bintang Biduk! Ini bagaikan mimpi, terasa sangat tidak nyata.
Dengan teknologi manusia yang ada saat ini, bahkan jika terbang selama jutaan tahun pun mustahil mencapai sekitar Tujuh Bintang Biduk. Sangat tidak realistis karena jaraknya terlalu ekstrim!
Semua orang terkejut dan tercengang, hati mereka dipenuhi keheranan yang luar biasa.
“Di depan Tujuh Bintang Biduk ada bintang yang lebih terang... Bintang Ungu (Ziwei). Mungkinkah tujuan kita adalah sebuah planet di wilayah bintang itu? Perlu diketahui, Bintang Ungu memiliki makna khusus dalam budaya kuno.” Seseorang mengajukan tebakan ini, karena dalam peta angkasa ini Bintang Ungu memang bersinar paling cemerlang, menjadi salah satu bintang paling mencolok.
“Sulit dipastikan, mungkin akan melanjutkan ke wilayah galaksi yang lebih jauh lagi.”
Tiba-tiba seseorang berteriak kaget: "Garis tipis berkilau itu berhenti menyebar, diam di situ - di wilayah Tujuh Bintang Biduk!"
Bersamaan dengan itu, semua orang merasakan Peti Perunggu Raksasa berguncang hebat seolah langit dan bumi bergoyang.
"Sepertinya kita telah mencapai titik akhir..."
"Mungkinkah kita benar-benar tiba di tempat persinggahan para Dewa?"
"Jangan-jangan ini alam semesta para dewa dalam legenda..."
"Bisa jadi kita akan menemukan peradaban teknologi yang sangat maju."
"Jika benar ada Dewa dan Buddha, mungkin kita akan bertemu sosok-sosok legendaris."
"Mengikuti jalur kuno para dewa di angkasa, dunia seperti apa yang akan kita temui di ujung perjalanan ini?!"
Semua orang merasa tegang namun penuh antisipasi, mereka tak ingin berlama-lama lagi dalam peti tembaga ini.
