Bagi Zhou Liming yang akan berpamitan dari kelas 2 SMA dan memasuki medan latihan iblis kelas 3 SMA, ini bukan sekadar kedatangan garis pemisah kehidupan, melainkan lebih merupakan kebingungan akan masa depan.
Mungkin bagi banyak orang, jika gagal masuk universitas di kelas 3 SMA, mereka bisa mengulang; bagi banyak teman sekelas, kuliah bukan satu-satunya jalan - orang tua mereka telah menyiapkan jalan hidup sejak lama; sementara para anak orang kaya, takdir mereka memang sudah ditentukan untuk hidup makmur seumur hidup.
Tapi sebagai anak yatim yang sejak kecil menganggap panti asuhan sebagai rumah, adakah pilihan seperti itu bagi Zhou Liming?
Tentu tidak... Peraturan panti asuhan mengharuskan mereka yang sudah berusia 18 tahun untuk meninggalkan panti dan hidup mandiri. Ini berarti meskipun Zhou Liming lulus ujian masuk universitas, tanpa beasiswa, nasibnya sama saja dengan gagal ujian.
Kepribadian Zhou Liming yang agak penyendiri, ditambah statusnya sebagai anak yatim, membuatnya selalu dipandang dengan kacamata berprasangka oleh seluruh anggota kelas sejak SD, SMP, hingga SMA sekarang ini.
Zhou Liming yang menyadari kesenjangan dirinya dengan orang lain, hampir tidak pernah punya teman di sekolah. Psikologi penyendiri dengan sedikit rasa inferior membuatnya memilih hidup seperti burung unta, waktu di sekolah sepenuhnya terkubur dalam buku-buku. Ini juga menyebabkan di mata seluruh kelas, Zhou Liming adalah sosok aneh yang tak bisa dipahami.
Kadang Zhou Liming selalu mengejek diri sendiri: Jika orang tuanya sudah tak menginginkannya, mengapa harus melahirkannya?
Seiring akumulasi pengetahuan dan pemahaman akan dunia berkilauan dengan berbagai warna ini, Zhou Liming sendiri berambisi ingin seperti anak seumuran lainnya: bisa menikmati hidangan orang tua setiap hari, tiap Minggu jalan-jalan ke taman/pantai didampingi orang tua, tinggal di rumah yang terlalu tinggi untuk dijangkau pandangannya, antar-jemput sekolah dengan mobil.
Namun semua ini justru tak dimiliki Zhou Liming, hanya tersisa dalam mimpi yang kadang-kadang muncul.
Tidak bisa dikatakan ada ketidakpuasan terhadap masyarakat, hidup awalnya memang mustahil meraih keadilan.
Satu-satunya teman Zhou Liming adalah teman sepermainannya di panti asuhan. Hanya saat kembali ke panti asuhan, barulah Zhou Liming merasakan saat paling ceria. Hanya di tempat ini, Zhou Liming bisa melupakan identitasnya dan menikmati udara yang familiar baginya.
Kepala panti asuhan bermarga Zhou. Nama depan dan marga Zhou Liming sendiri dibantu oleh Ibu Zhou dalam pemilihannya, mengikuti marga beliau.
Terhadap Ibu Zhou, Zhou Liming tetap berterima kasih. Tanpa beliau, mungkin dirinya sudah harus terjun ke masyarakat sejak SMP. Bagaimana mungkin bisa menikmati kehidupan sekolah beberapa tahun lebih lama daripada orang lain? Rajin dan haus ilmu adalah kesan Zhou Liming bagi staf panti asuhan. Apapun yang dikerjakan, selalu dilakukan tanpa keluhan. Tak pernah sekalipun menggerutu, menjadikannya anak yang patuh dan baik hati.
Jarak panti asuhan dengan SMA tempat Zhou Liming belajar tidak terlalu jauh. Ditambah dengan banyaknya jumlah anak yatim yang diadopsi dari panti ini dalam beberapa tahun terakhir, secara alami banyak ruangan yang kosong. Hal ini memungkinkan Zhou Liming tidak harus tinggal di asrama sekolah.
Yang paling disukai Zhou Liming sebenarnya adalah area pepohonan kecil di tepi danau dalam panti asuhan. Setiap ada waktu luang, ia selalu berbaring di rerumputan tepi hutan, menatap riak yang bergelombang di permukaan danau kecil. Dalam benak Zhou Liming, danau dan hutan kecil ini merupakan memori masa kecil yang tak mungkin terlupakan.
"Kecuali diterima di perguruan tinggi unggulan, permohonan beasiswa pasti tidak akan disetujui nanti!"
Zhou Liming terbaring di hamparan rumput tepi hutan, matanya menatapi pantulan titik-titik lampu di permukaan danau. Hari ini Hari Anak Internasional yang kebetulan jatuh pada Sabtu, memberinya kesempatan menikmati liburan meski sudah SMA. Beban belajar yang semakin berat harus dikesampingkan dulu, sebab begitu masuk kelas 3 SMA, hari Sabtu dan Minggu mungkin tak lagi menjadi miliknya.
Pandangannya menatap langit malam dihiasi bintik-bintik cahaya bintang yang berkedip-kedip.
Tiba-tiba, Zhou Liming teringat diskusi kemarin dengan teman sekelas tentang sabuk meteor langka yang akan dihadapi manusia. Bukankah malam ini sabuk meteor tersebut akan mendarat di zona Pasifik, menampilkan pesta pembakaran spektakuler akibat gesekan dengan atmosfer? Sayangnya dia tidak memiliki komputer, kalau tidak pagi ini sudah bisa menyaksikan pemandangan terbakar yang dimulai dari Samudera India melalui portal berita.
Melihat jam elektronik di pergelangan tangannya, jarum menunjukkan pukul sembilan. Zhou Liming seolah ingat bahwa waktu masuknya sabuk meteor ke angkasa atas Pasifik tepat pada waktu ini.
Benar saja, tak lama kemudian di langit bertabur bintang muncul titik cahaya jingga. Dalam sekejap mata, titik ini meledak dengan dahsyat bagai kobaran api raksasa yang menghantam daratan, memercikkan tak terhitung titik api yang menerangi seluruh cakrawala.
Zhou Liming tahu, ini disebabkan kecepatan terbang mengerikan keping meteor yang bertabrakan dengan Bumi, melalui gesekan yang dihasilkan atmosfer, menyebabkan permukaan keping meteor terbakar.
"Atmosfer adalah lapisan pelindung terakhir Bumi, benda asing luar angkasa kecil tak terhitung jumlahnya, bahkan atmosfer pun tak bisa ditembus, akan terbakar menjadi abu."
Dari koran diketahui, akan ada 527 serpihan meteor dengan ukuran berbeda muncul di angkasa atas Pasifik. Ini akan menjadi fenomena langit tak biasa yang berlangsung selama tiga jam. Mungkin manusia ingin menyaksikan kembali pesta visual ini, para ahli memperkirakan setidaknya dibutuhkan ribuan tahun. Jadi orang yang punya waktu luang saat ini, hampir seluruhnya berdiri di bawah langit, menatap tajam ke cakrawala.
"Satu kilatan cahaya jingga ini membawa area luas langit yang terbakar, namun sebelum kilatan ini menghilang, titik cahaya jingga kedua tiba-tiba meledak lagi, sekali lagi mengecat seluruh cakrawala menjadi jingga-kuning membara, bagaikan matahari terik yang muncul di langit dan tertutup awan tipis, menciptakan hamparan keemasan."
"Potongan-potongan meteor yang terus bergesekan dan terbakar saat menabrak atmosfer, bagaikan hujan yang jatuh ke permukaan danau, menciptakan riak-riak gelombang. Yang membedakan hanyalah riak-riak ini sebenarnya adalah lingkaran api yang membara. Suhu super tinggi menyapu atmosfer, membentuk gelombang api yang memenuhi cakrawala, seolah seluruh langit sedang dilalap si jago merah."
"Benar-benar megah!"
Zhou Liming menghela nafas, pemandangan itu persis seperti hujan yang menghujam tanah lalu beterbangan menyebar, sama sekali tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka yang tidak menyaksikan langsung tak akan pernah membayangkan seberapa agung megahnya skala peristiwa ini. Langit yang terbakar mengeluarkan suara mencekam yang samar akibat gesekan, terus-menerus menggempur penglihatan dan mengetuk hati manusia, seakan jiwa pun hendak terlepas dari raga.
Serpihan meteor yang tak henti berhamburan menghujam Benua Asia. Mereka mulai mendarat di Samudra Hindia dini hari tadi, akhirnya tiba di Samudra Pasifik pukul sembilan, berlangsung selama tiga jam hingga tepat satu hari penuh.
Meski langit terlihat megah, setelah menonton lebih dari setengah jam Zhou Liming mulai merasa lelah secara visual. Ia menggeleng sambil berkata: "Mungkin aku tak punya sel seni, peristiwa besar yang mungkin tak terlihat manusia selama 10.000 tahun ini ternyata tidak begitu menarik bagiku."
Saat Zhou Liming menarik kembali pandangannya, siapa yang bisa memperhatikan bahwa di luar atmosfer, serpihan meteor sebesar kepalan tangan yang melesat cepat ke Bumi secara kebetulan bertabrakan sedikit dengan satelit yang sedang mengorbit. Gaya tumbukan raksasa itu, meski hanya sedikit, membuat seluruh satelit hancur berkeping-keping di luar angkasa, berubah menjadi kobaran api yang membara.
Sedikit kekuatan pun cukup untuk mengubah segalanya.
Serpihan meteor kecil yang semestinya memasuki atmosfer sesuai orbit, justru mengalami penyimpangan kecil akibat insiden tak terduga ini. Jarak ratusan kilometer, sekalipun hanya melenceng sehelai rambut, akan menciptakan perbedaan langit dan bumi dengan tujuan semula. Serpihan meteor yang menyimpang ini, setelah terhambat satelit, telah kehilangan setengah daya hantamnya. Saat memasuki atmosfer, energi yang tersisa tak lagi cukup untuk menciptakan efek gesekan yang memicu pembakaran.
Di tengah stimulasi pemandangan megah, siapakah di antara para penggemar astronomi yang memperhatikan jejak serpihan meteor sebesar kekuatan ini yang tidak terbakar?
Serpihan meteor kecil ini tidak muncul di angkasa atas Pasifik seperti yang diprediksi ilmuwan, melainkan membentuk garis miring dan melesat cepat ke arah benua Asia. Bagai hantu menyamar yang bergerak tanpa suara.
"Braak!" ledakan dahsyat mengguncang jalan kecil berlapis marmer tebal. Meski daya hantamnya sudah melemah setengah, kekuatan yang tersisa tetap mengerikan. Seperti dihajar peluru meriam, marmer di jalur itu remuk menjadi debu beterbangan, membentuk kawah berdiameter satu meter lebih.
Suara raksasa yang menggema, Zhou Liming hanya sempat menolehkan kepala. Sebelum sempat melihat jelas apa yang terjadi, dirinya merasakan sesuatu menghantam tubuhnya. Pandangannya langsung gelap, disusul getaran hebat di kepala. Sakit menusuk tiba-tiba mengguncang sarafnya. Cairan tubuh kental mulai mengalir dari kepala, menyusuri leher, dan membasahi kerah bajunya.
Zhou Liming membelalakkan mata. Pikirannya bahkan belum sempat mencerna situasi ketika kesadarannya mulai mengabur. Setelah terjerumus dalam kegelapan tak bertepi, tubuhnya dengan keras jatuh kembali ke rerumputan...
