Rombongan pengungsi terbagi dalam beberapa kelompok.
Pemilik kendaraan sudah berada ratusan kilometer di depan, sementara mereka yang tak terbebani dan penuh energi mungkin sudah mendekati Kota Yuyao. Setelah berjalan setengah hari hanya menempuh belasan kilometer, para pengungsi yang terpaksa bermalam di Kota Hemudu yang masih berbahaya ini umumnya adalah keluarga dengan anak-anak. Bukan mereka tak ingin melanjutkan perjalanan, tapi warga kota yang tak terbiasa berjalan kaki seharian - berapa banyak tenaga tersisa untuk terus maju?
Dari jutaan pengungsi, hampir sejuta orang memilih menginap di Kota Hemudu.
Bagaimana mungkin kota kecil seperti Hemudu bisa menampung sebanyak ini? Sebenarnya sejak area Desa Chejiu, setiap jengkal tanah yang bisa dipijak sudah dipenuhi orang yang tidur atau duduk lesu.
"Kota Hemudu sebenarnya tidak terlalu besar. Setelah melewati jembatan, terlihat orang-orang yang berjalan menyusuri jalan desa menuju pusat kota. Di kedua sisi jalan desa, terdapat sawah hijau subur. Namun saat ini dipadati kerumunan, tangisan dan teriakan terdengar. Sayuran di lahan pertanian menjadi korban injakan kaki, terinjak-injak dan bercampur dengan tanah."
Zhou Liming tahu dalam kondisi seperti ini, mustahil membawa sekelompok anak-anak yang kelelahan sampai ke pusat kota. Setelah berdiskusi dengan Direktur Zhou, mereka mencari sepetak lahan yang agak sepi untuk bermalam sementara. Melihat situasi kacau di depan mata, harapan akan pembagian selimut atau pengaturan tempat tidur oleh pemerintah hanyalah ilusi.
Untungnya sekarang bulan Juni, menginap di alam terbuka semalam tidak masalah.
Hasil panen yang bisa dimakan di lahan ini sudah habis dipetik. Dalam situasi darurat, siapa yang masih peduli itu milik siapa atau boleh tidaknya memetik?
"Om, tadi waktu lewat, bukannya di pengumuman disebutkan ada makanan yang dibagikan?"
Kerumunan yang memilih tinggal sementara di sini hampir semuanya berbasis keluarga, ada juga beberapa keluarga yang saling mengenal berkumpul bersama, tersebar dalam kelompok-kelompok. Mata Zhou Liming sangat tajam, dalam kegelapan malam masih sama jelasnya seperti siang hari, ini membuatnya heran, mungkin lagi-lagi karena gennya yang telah dimodifikasi. Melihat ke sekeliling, semua dipenuhi orang, jutaan manusia berjejal di sini, setidaknya telah memenuhi seluruh sudut Kota Hemudu.
Yang ditanyakan Zhou Liming adalah sebuah keluarga yang berada di dekatnya.
Pria yang ditanya ini berusia sekitar tiga puluh sembilan tahun, sedang menengadah mencari-cari. Dia membawa istri yang sedang hamil dan seorang gadis kecil berusia lima-enam tahun, termasuk kategori orang yang terpaksa berada di ujung gelombang pengungsian. Mendengar pertanyaan Zhou Liming, ia memandangi komposisi tim Zhou Liming, menggeleng sambil menghela napas dan berkata: "Makanan? Kau tahu berapa banyak orang yang mengungsi ke sini?"
Zhou Liming menggelengkan kepala, pria paruh baya itu tersenyum getir: "Minimal ratusan ribu orang. Dengan persediaan di Kota Hemudu, pondasi dasar mustahil bisa mencukupi. Lagipula dalam situasi darurat ini, bahkan jika pemerintah ingin memindahkan persediaan ke sini, dalam kondisi mendadak seperti ini, bagaimana mungkin bisa dipindahkan begitu saja?"
Perkataannya benar. Garis pantai Asia terlalu panjang. Di bawah gempuran binatang buas, seluruh wilayah pesisir sudah terjerumus dalam kekacauan. Kebijakan sama sekali tidak bisa sampai ke sini.
Biasanya jalan raya utama sering macet, apalagi saat masa pelarian ini. Jalan raya pesisir hampir menjadi lautan kendaraan, tersumbat di mana-mana, berada dalam kondisi kelumpuhan. Dalam situasi seperti ini, meski logistik pemerintah sudah siap dipindahkan, tidak ada cara untuk mengangkutnya. Menggunakan angkutan udara adalah solusi bagus, tapi untuk seluruh wilayah pesisir yang luas ini, bagaimana mungkin bisa dijangkau semuanya?
Mendengar perkataan Om itu, Zhou Liming terpana: "Kalau tidak ada makanan, anak-anak... anak-anak harus bagaimana?"
“Tahan lapar, semoga situasi membaik besok.” Dia pasrah menggelengkan kepala, menghibur putri dan istrinya.
An Xiaowei memetik beberapa daun dari pohon di dekatnya, menghamparkan di tanah sebagai alas tidur anak-anak. Setelah berjalan seharian tanpa makan, anak-anak itu langsung tertidur pulas. Direktur Zhou terduduk diam di sampingnya, memandangi wajah-wajah memerah anak-anak itu sambil terus menghela nafas.
Andai ini Zhou Liming yang dulu, pasti sudah tak punya cara. Tapi gen binatang buas sedikit mempengaruhi karakternya, membuatnya menjadi lebih tegas, “Direktur, kalian jaga mereka di sini. Aku akan coba ambil jatah makanan. Zheng Le dan yang lain sudah sehari belum makan, kalau tidak…”
Setelah berpamitan dengan Direktur Zhou dan An Xiaowei yang berpesan hati-hati, Zhou Liming kembali ke jalan desa, menerobos masuk kerumunan yang hampir tak bisa bergerak.
Mendapat petunjuk pemberitahuan di atas jembatan, setiap orang mengira kota sedang membagikan makanan. Setelah kelaparan lebih dari setengah hari, mereka mati-matian berdesak maju. Tapi orang terlalu banyak, semakin berdesakan semakin kacau tak bisa bergerak, umpatan naik turun, lebih ribut dari pasar sayur. Orang-orang baru sadar saat ini bahwa sebelumnya mereka terlalu panik, sampai tak membawa sedikitpun makanan.
Zhou Liming sekarang tidak lagi seperti dulu yang pendiam dan pasif, hanya tahu mengikuti kerumunan. Kedua lengannya yang kuat terus-menerus mencabut orang yang menghalangi di depannya. Seringkali orang hanya merasakan kekuatan aneh yang tak bisa ditolak, tiba-tiba tubuh mereka sudah tercabut atau tertarik mundur membuka celah.
"Sialan, siapa yang menarik aku!"
Orang-orang berang sudah mulai mengumpat, tapi Zhou Liming sudah menyelinap lewat. Saat mereka tersadar, hanya bisa menggerutu—mana mungkin bisa mengejar Zhou Liming?
Setengah jam kemudian, Zhou Liming akhirnya berhasil menerobos kerumunan menuju jalanan Desa Hemudu. Di sini juga dipadati orang, barang-barang di toko-toko yang tersisa sudah sangat sedikit.
"Kenapa kau tidak merampok bank saja?"
Saat Zhou Liming mendekati sebuah warung kecil, suara melengking seorang pria menggema: "Apa tidak salah? Satu pastel kuning telur harganya 500 keping uang? Kau sialan, seumur hidup belum pernah lihat uang?" Kenaikan 5000 kali lipat ini sulit diterima siapa pun. Ditambah kepanasan dan kelelahan seharian, semua orang penuh api amarah.
Pemilik toko adalah pria gemuk bermuka bopeng. Seolah terbiasa dengan teriakan seperti ini, dia mendengus dingin dan menepuk konter dengan sikap tak terbantahkan: "Mau beli atau tidak? Kalau miskin pergi! Masih banyak yang mau beli. Lihat tidak sisa barang di sini tinggal segini?"
“Kau...kau...” Pria ini terengah-engah tak bisa berkata-kata, tapi keraguannya langsung disingkirkan oleh seseorang di sebelahnya yang menggendong tas dokumen. Dengan gesit pria itu mengeluarkan belasan ikat uang yang masih tersegel dari tasnya, “Beli semua! Berikan seadanya, yang penting bisa dimakan.”
Si gemuk lihai menerima uang di konter, menantang tatapan pria tadi, “Belajarlah! Ini baru disebut kharisma, ini baru orang sukses, pejuang rencana besar!”
Orang-orang di sekitar yang awalnya ingin membeli masih geram melihat si gemuk mengeruk keuntungan dari bencana. Tapi kemunculan tak terduga orang tadi membuat mereka terkejut. Melihat tumpukan uang di konter itu, jumlahnya pasti lebih dari 100.000. Namun uang sebanyak itu dibuang begitu saja tanpa ragu, hanya untuk membeli sekantong besar kue kuning telur, beberapa botol bubur delapan bahan, dan sekardus mi instan.
Makanan ringan yang di hari biasa bahkan tak sampai seratus yuan, nilainya tiba-tiba melonjak ribuan kali lipat. Banyak orang masih sulit mempercayainya. Yang lebih mencolok, betapa banyaknya orang kaya di dunia. Dulu pernah dengar ada yang sekali makan bisa menghabiskan 200-300 ribu, menggelar pesta dengan biaya lebih dari satu juta, waktu itu tidak percaya. Kini yang menyaksikan adegan ini, semua jadi yakin.
Di Kota B Zhejiang, jumlah orang kaya bagai lautan. Puluhan ribu hingga ratusan ribu yuan tak ada artinya. Orang-orang pintar yang sudah paham situasi, tiba-tiba berduyun-duyun mendatangi si gemuk, berdesakan mengulurkan uang yang mereka pegang.
"Beri saya 20 pastel kuning telur!"
"Minta dua bungkus mi instan..."
"10 batang sosis ham!"
“……”
Uang di detik ini tak ada artinya. Kalau terlambat, punya uang pun tak bisa beli, hanya bisa kelaparan. Besok? Besok mau bagaimana? Siapa yang tahu kondisi besok? Lihat saja kerumunan di sini, ditambah orang-orang yang terus berdatangan dari segala penjuru bergabung dengan pasukan pengungsi. Tak seorang pun bisa memprediksi bagaimana nantinya.
Apalagi bagi mereka yang memiliki simpanan hingga puluhan juta di rekening, jumlah ini hanyalah recehan belaka. Uang hilang bisa dicari lagi, tapi nyawa manusia yang hilang, takkan pernah kembali.
Mungkin kegilaan ini membuat mereka terlihat bodoh, berebut barang yang harganya melambung ribuan kali lipat. Tapi ketika menghadapi kelaparan, maut menganga, apa gunanya uang sebanyak apapun?
Zhou Liming yang menyaksikan hiruk-pikuk pembelian gila-gilaan ini hanya bisa terdiam. Kue kuning telur yang semula 500 yuan, dalam sekejap sudah melonjak ke 800 yuan.
Dunia ini mulai kehilangan kendali.
