Setelah semua makanan ringan di toko kelontong ludes diborong, massa yang panik bahkan merampas persediaan barang kering yang tersisa.
Si gemuk tersenyum lebar hingga mulutnya tak bisa menutup. Bagaimana mungkin dia menyangka, kecerdikan kecilnya dan timing sensitif di era ini bisa membuat barang senilai puluhan ribu saja bisa menyapu hampir 2 juta lebih, membuatnya mati rasa di Kota Hemudu dan langsung menyelipkan diri ke jajaran orang kaya.
Menurutnya, kejadian di Kota B Zhejiang cuma hal receh. Ngapain panik? Zaman modern bukan zaman baheula. Di era senjata api, mau monster macam apa pun, serbu bersama dengan senapan mesin, meriam besar, peluru kendali—dijamin ampasnya pun tak bersisa. "Bener-bener sekumpulan bodoh," gumam si gemuk sambil memasukkan uang ke karung kulit ular. Dia mengunci pintu toko kelontongnya lalu pulang ke sarang dengan tenang menghitung uang.
Mereka yang gagal membeli semua menunjukkan ekspresi kecewa, membenci diri sendiri karena tak punya keberanian seperti itu.
Zhou Liming baru bisa tenang setelah lama terengah-engah. Adegan transaksi uang tadi secara drastik mengubah pandangan dunianya. Dia frustasi menemukan bahwa meski gajinya puluhan ribu sebulan, saat ini hanya mampu beli mi instin. Uang... tiba-tiba menjadi sangat penting dalam benaknya, atau mungkin sejak awal memang sudah penting.
Merengut, Zhou Liming meraba ratusan yuan di sakunya—uang saku yang ditabung sejak di panti asuhan. Sekarang bahkan remah-remah kue telur pun tak sanggup dibeli.
"Apakah pemerintah kecamatan bisa menyediakan makanan?"
Dengan niat ini, Zhou Liming kembali berdesakan menuju posko logistik pemerintah di persimpangan. Kini dia hanya bisa mengandalkan ini, jika tidak dirinya, anak-anak, serta Kepala Panti An Xiaowei dan lainnya akan kelaparan menunggu besok.
Bangunan di kedua sisi jalan kota semuanya tertutup rapat. Kewaspadaan yang berlebihan membuat tidak ada yang berani memastikan apakah akan terjadi sesuatu yang tak terduga.
Saat Zhou Liming dengan susah payah menerobos sampai ke persimpangan, kerumunan di tempat ini saling berhimpitan dengan kepadatan yang tak masuk akal. Mereka yang dulu merasa hebat karena punya uang, kini berperilaku seperti warga biasa - berdesakan sekuat tenaga ke depan. Setelah kelaparan seharian, gaya mereka yang dulu sudah terlupakan, hanya ingin memperebutkan sesuap makanan.
Pemerintah kota benar-benar membagikan persediaan makanan, tepatnya seperti di zaman kuno, mereka sedang membagikan bubur.
Terjadi peristiwa besar yang menggemparkan langit dan bumi, Kota Hemudu pun berada dalam situasi sangat berbahaya. Para pejabat yang lebih lincah dalam memperoleh kabar daripada orang biasa, sudah lebih dulu pergi meninggalkan kota. Namun seperti kata pepatah 'kekayaan dicari dalam bahaya', seorang wakil walikota mengatupkan gigi memimpin sekelompok petinggi kota yang bersedia tinggal untuk memulai pekerjaan penyelamatan tahap awal. Mereka mengeluarkan persediaan makanan dari gudang, mengumpulkan semua panci dan mangkuk di pasar, serta memasang layar besar LCD di ujung jembatan.
Semua pengorbanan dan risiko yang diambil akhirnya membuahkan hasil. Ketika telepon dari atasan turun memberi instruksi, dan ditemukan bahwa masih ada seorang wakil walikota beserta beberapa petinggi kota di seluruh wilayah, promosi darurat menjadi tak terhindarkan. Wakil walikota tersebut secara resmi ditunjuk sebagai Sekretaris Komite Kota sekaligus Komandan Utama Penyelamatan Sementara...
Entah itu benar-benar tulus melayani rakyat atau ada maksud lain, bagi Zhou Liming saat ini, dia sama sekali tidak perlu memikirkannya, apalagi mengetahuinya.
Asalkan melakukan perbuatan baik, tidak peduli apa motivasi awalnya, setidaknya ini adalah kebaikan yang patut diakui. Tanpa pengorganisasian sumber daya manusia dan material mereka, kerumunan besar yang berkumpul di sini pasti sudah kacau balau. Korban jiwa akibat injakan-injakan pasti tak terbayangkan.
Karena minimnya personel organisasi, bisa menyediakan bubur saja sudah bagus. Mana mungkin mereka bisa menjaga ketertiban di TKP?
Zhou Liming sempat mengira mungkin ada sistem antrian, tapi kerumunan di lokasi berdesakan maju ke depan dalam kekacauan total. Pada situasi seperti ini, kalau masih mau mengikuti prosedur tertib, mungkin kau harus mengantri semalaman tanpa mendapat jatah bubur.
Memikirkan Kepala Panti dan anak-anak, Zhou Liming menarik napas dalam lalu menyelusup sambil mendorong orang-orang, nekat menerobos ke depan.
Tempat pembagian bubur dibentuk dengan beberapa meja yang mengelilingi area besar, sebagian besar menghadap ke jalanan, sementara sebagian kecil terhubung dengan pintu besar gudang pangan. Bubur dimasak dari gudang pangan lalu diangkut ke lokasi.
Saat Zhou Liming berdesak sampai ke depan, ia hanya melihat dua puluh lebih pria dan wanita paruh baya sedang menuangkan sendok-sendok bubur putih ke dalam kotak busa putih. Begitu bubur ditaruh, sudah ada tangan yang langsung mengambil kotak berisi bubur tersebut. Meski awak yang membagikan bubur berjumlah dua puluh lebih, dalam situasi besar seperti ini jumlah mereka tetap jauh tidak mencukupi.
Namun yang tak terduga oleh Zhou Liming, saat ia berhasil mendekat ke lokasi pembagian, tong bubur di hadapannya sudah kosong melompong.
Tiba-tiba seorang yang beraura pejabat keluar dengan muka masam, membawa pengeras suara mengumumkan: "Semuanya, maafkan kami. Persediaan di gudang pangan sudah habis, sementara tidak ada cara untuk memindahkan stok baru. Bagi yang belum mendapat jatah, percayalah pada pemerintah. Besok pasti kiriman pangan akan tiba. Tahanlah malam ini dulu."
Orang-orang yang mendengar kabar ini tertegun sejenak, keributan yang ramai tiba-tiba tenggelam dalam keheningan absolut selama beberapa detik.
"Kau sialan omong kosong, mana mungkin gudang pangan tidak punya persediaan makanan?"
Suara melengking tiba-tiba memecah keheningan misterius yang menyelimuti area tersebut.
Pejabat yang memegang pengeras suara itu merasa situasi memburuk, buru-buru menjelaskan: "Fungsi gudang pangan sebenarnya sudah sangat jelas bagi kita semua, kini hanya tinggal nama saja. Beberapa tahun lalu setelah kebijakan diubah dan banyak pajak pertanian dicabut, mana mungkin gudang pangan masih menyimpan... Tolong dengarkan, gudang ini benar-benar kosong..."
Namun massa yang sedang dilanda emosi sama sekali tidak mau mendengar penjelasan. Saat seseorang berteriak, "Ayo kita masuk periksa! Mustahil gudang pangan kosong!", kerumunan langsung menerjang ke arah gudang.
Zhou Liming memang percaya, karena ada kerabat jauh Direktur Zhou dari desa yang pernah mengunjungi panti asuhan. Dari ceritanya, gudang penyimpanan makanan di kota itu hampir seluruhnya kosong. Banyak yang malah menyewakan gudang kosongnya ke perusahaan-perusahaan swasta, menggunakan uang sewa itu sebagai tunjangan tambahan bagi pegawai yang masih bertahan di gudang penyimpanan makanan, semacam bonus.
Gudang penyimpanan makanan yang dulu begitu megah, kini berubah menjadi kantor pemerintah tanpa sedikitpun keuntungan ilegal yang bisa diperas.
Menyadari hal ini, Zhou Liming tahu pasti mereka akan kelaparan malam itu. Di kota kecil ini, mustahil menemukan persediaan makanan. Barang-barang yang bisa dimakan mungkin sudah habis diborong orang. Apalagi, kerumunan orang di sini terlalu banyak. Persediaan makanan seluruh kota tak lebih dari setetes air di tengah lautan api.
"Besok?"
Zhou Liming tersenyum getir sambil merasakan kegelisahan. Dengan kemampuan binatang buas itu, mungkin belum sampai besok mereka sudah muncul di sekitar Kota Hemudu, bahkan Kota Yuyao pun bisa bernasib sama seperti Kota B Zhejiang. Saat itu terjadi, orang-orang yang lolos dari Kota B Zhejiang belum tentu aman.
