"Berhenti! Tunjukkan dokumen identitasmu!"
Seorang pejabat kecil di pos perbatasan bersama seorang prajurit menghentikan Zhou Liming. Mereka mengamati Zhou Liming dari ujung kepala ke kaki, lalu alis si pejabat berkedut. Dengan nada datar dia berkata, "Kenapa? Mau masuk kota tanpa membersihkan diri dulu? Kulihat kau bahkan tidak punya dokumen identitas. Dengan kondisi seperti ini, mustahil lolos verifikasi."
Zhou Liming baru sadar mengapa banyak orang rela mengantre berjam-jam di pemandian umum - ternyata untuk mendapatkan dokumen keluar-masuk yang sah. Baru sekarang dia pahap, tanpa dokumen itu mustahil meninggalkan Batalyon Kesulitan yang kacau ini dan memasuki kota.
Jumlah orang yang bisa masuk kota sangat terbatas. Bisa dibayangkan betapa ketatnya proses verifikasi ini.
Tapi Zhou Liming sudah memperkirakan situasi ini. Tangannya merogoh saku, lalu mendekati pejabat pemeriksa itu. Dengan cepat dia menggoyangkan sesuatu di depan mata pejabat itu sebelum menyelipkan ke tangannya. "Harap diperhatikan," bisiknya.
Pejabat ini terkesilap cahaya kuning-putih yang dipantulkan lampu, pupil irisnya sedikit menyempit. Dengan tanpa ekspresi, dia menyimpan benda di tangannya ke dalam saku sambil melambaikan tangan ke Zhou Liming, "Masuklah, tapi jangan bilang siapa-siapa kalau aku yang izinkan."
Zhou Liming mengangguk, lalu cepat-cepat melewati pos perbatasan. Jelas terlihat, pemberian belasan cincin emasnya berhasil memuluskan jalannya.
Sebagai kota wisata, Wan J memiliki sektor jasa yang cukup maju. Memasuki area perkotaan, gedung-gedung pencakar langit hotel terlihat di mana-mana. Meskipun arus orang dibatasi oleh pemerintah, jalanan tetap dipadati turis yang masuk melalui berbagai hubungan dan saluran tersembunyi.
Baru saja masuk ke dalam kota, kerumunan berdesakan di jalanan sudah membuat Zhou Liming terkejut. Hampir saja dikiranya tempat ini adalah kawasan komersial pusat kota.
Wilayah pesisir memiliki sistem ekonomi yang sangat maju. Orang-orang kaya tidak bisa dihitung secara statistik. Bagaimana mungkin kelompok seperti ini mau tinggal di batalyon pengungsi? Dari ekspresi familiar pejabat penanggung jawab tadi, jelas sudah banyak yang menggunakan solusi ini untuk meninggalkan kamp pengungsi dan memasuki Kota WanJ.
Di mana ada orang, di situ ada peluang bisnis.
Situasi jalanan menunjukkan polarisasi. Toko-toko perlengkapan hidup dan pakaian terlihat sepi tak berpenghuni. Namun di toko-toko yang menjual makanan, kerumunan hampir membuat bagian dalam toko meledak. Orang-orang yang mengacungkan uang kertas terus mendesak ke depan hanya untuk membeli sesuatu yang bisa dimakan.
Sebuah kota dalam perkembangan jangka panjang biasanya memiliki kebutuhan yang stabil. Tapi dengan tiba-tibanya lonjakan populasi hingga jutaan jiwa, permintaan makanan langsung melonjak lebih dari dua kali lipat. Hal ini membuat Kota WanJ terjerumus dalam krisis pangan. Pasokan dari belakang garis pertahanan yang harus menyasar puluhan kota di garis blokade, tak terhindarkan membuat kapasitas pasokan menjadi tidak mencukupi.
Orang bisa tidak memakai baju baru, bisa tidak menggunakan kosmetik, juga bisa tidak membeli barang non-makanan lainnya, tapi mustahil tidak makan.
Konsumsi raksasa dan pasokan yang tidak memadai dari belakang garis telah membuat harga makanan terus melonjak hingga mencapai tingkat yang tak tertahankan. Mereka yang memiliki aset tertentu sebelum datangnya era binatang buas tidak merasakan apa-apa, tapi mereka yang taraf hidupnya dipaksakan mencapai standar sejahtera justru menjadi korban kenaikan harga makanan yang gila-gilaan kali ini.
Ratusan ribu yuan hanya bisa menghidupi Anda selama sebulan. Menghadapi bakpao yang dulunya cuma 1 yuan, sekarang Anda harus merogoh 100 yuan untuk mendapatkannya. Yang lebih mengerikan, kadang meski Anda mengatupkan gigi rela membayar 100 yuan, belum tentu bisa mendapatkannya. Kerumunan orang yang membeli makanan secara gila-gilaan telah menyapu habis semua barang yang bisa dimakan. Sebelum pasokan baru datang, Anda takkan mendapatkan apa-apa.
Orang-orang pintar sudah sejak lama menginvestasikan seluruh tabungan mereka ke dalam pembelian makanan, menyimpan persediaan setidaknya untuk sebulan. Sementara orang-orang yang baru masuk ke kota belakangan terpaksa menghadapi harga makanan yang melambung tinggi serta kesulitan di mana persediaan langsung direbut ruang begitu tersedia.
Berjalan di jalanan, topik yang paling banyak diperdebatkan orang-orang adalah tentang makanan.
Di bawah pengaruh krisis pangan, harga komoditas lain juga mulai merangkak naik secara diam-diam. Krisis akibat inflasi mata uang perlahan menyapu seluruh dunia.
Zhou Liming bukanlah seorang ekonom maupun orang yang berpengalaman di masyarakat. Ia hanyalah seorang siswa SMA yang bahkan belum lulus. Ia tidak mengerti apa itu inflasi mata uang, yang ia tahu hanyalah semua harga saat ini terlihat sangat tidak wajar. Meski tidak segila di Kota Hemudu dan Shuangqiao Zhen, tapi cukup membuat orang kaget dan tidak sanggup menanggung.
Sebenarnya ini bukan sekadar krisis harga, melainkan krisis persediaan. Ketika total kebutuhan masyarakat jauh melampaui total pasokan yang ada, krisis semacam ini akan muncul secara alami.
Sandang-pangan-papan merupakan kebutuhan paling mendasar manusia. Di masa krisis ini, aspek "papan" (perumahan) mengalami kenaikan paling gila, diikuti oleh pangan, sementara sandang menempati posisi terakhir. Industri properti yang sebelumnya sudah terlihat gila, kini dalam setengah bulan saja harganya melonjak lima kali lipat. Rumah yang dulu hanya 20.000 per meter persegi, kini mencapai 80.000 hingga 100.000 per meter persegi.
Tujuan Zhou Liming masuk kota adalah mencari rumah untuk pindah dari kamp pengungsi, memberikan lingkungan hidup yang nyaman bagi Kepala Panti Asuhan dan adik-adik seperjuangannya.
Kenaikan harga pangan mencapai puluhan kali lipat, namun karena harga dasarnya murah, makan sederhana masih bisa dihemat dengan 100 ribu rupiah. Dengan adanya bantuan makan dari pemerintah, masyarakat masih bisa bertahan hidup. Meski kenaikan harga properti hanya 5-6 kali, harga dasarnya yang terlalu tinggi membuat rumah 100 meter persegi membutuhkan hampir 10 miliar rupiah, jauh melampaui batas toleransi sebagian besar orang.
Meski sudah mengetahui dari percakapan orang-orang bahwa ini adalah tren yang tak terelakkan sejak kedatangannya, Zhou Liming masih sulit menerima kenyataan ini untuk sementara waktu.
Di bawah lonjakan harga yang tak terkendali, orang kaya tetap bisa hidup mewah, sementara yang miskin hanya bisa menanti bantuan pemerintah. Polarisasi semakin menjadi-jadi. Di bawah tekanan lingkungan, kewarasan manusia mudah hilang, dan benturan antara dua kutub yang terpolarisasi pun tak terhindarkan.
Suara ledakan sesekali masih terdengar di kota, dan bunyi tembakan yang kadang-kadang terjadi sudah tak aneh lagi. Beberapa pelarian nekat sama sekali tak mempedulikan bahwa daerah ini masih di bawah kendali militer dengan protokol operasi standar. Mereka hanya tahu: untuk hidup mewah, mereka butuh uang. Di saat nyawa manusia bisa melayang kapan saja, apa anehnya pembunuhan dan perampokan?
Pantas saja orang selalu bilang, di balik keramaian kota tersembunyi kejahatan yang tak terhitung jumlahnya.
Berdiri di tengah jalanan yang dipenuhi keramaian manusia, Zhou Liming memegang tas anyaman, berbagai perasaan campur aduk tiba-tiba membanjiri hatinya, sama sekali tidak tahu sebenarnya apa yang ia rasakan.
"Zaman keemasan koleksi antik, zaman kacau emas berharga, jangan sampai mengecewakanku!"
Di tengah kebingungannya di jalanan, satu-satunya harapan Zhou Liming mungkin hanyalah kalimat ini dan tas anyaman di tangannya yang penuh berisi perhiasan emas.
