Lupa dengan kompensasiku?
Setelah tidur siang, ketika tiba waktu tidur malam yang biasa, Ji Ying masih belum merasa ngantuk.
Kebetulan sore itu, Song Yun mengirimkan setumpuk teks bahasa Sanskerta, memintanya membantu menerjemahkan dan memberi catatan jika ada waktu.
Maka Ji Ying pun mencari bahan dengan membongkar kotak-kotak, tanpa terasa sibuk sepanjang malam. Saat mengangkat pandangan, waktu sudah mendekati sepuluh malam.
Ia terkejut sebentar. Belum kembali juga?
Ji Ying mengambil telepon genggam, ragu beberapa saat, ujung jarinya menyentuh lembut kotak obrolan.
Rekam obrolan saya dengan pria itu masih berhenti di siang hari. Setelah saya bertanya tentang kompensasi yang diinginkan saat makan siang, Fu Jingshen membalas dengan empat karakter di sore hari.
[Nanti di rumah kita hitung.]
Melihat kalimat ini lagi, Ji Ying tak bisa menahan dengusan kecil dari hidungnya. Benar-benar pengusaha, segalanya harus ada kompensasi, bahkan saya pun tak dilepaskan.
Jari-jarinya baru mengetik beberapa karakter tiba-tiba suara gesekan terdengar dari area pintu masuk aula.
Bulu mata Ji Ying bergetar, dengan refleks ia berdiri dan berjalan keluar dari ruang baca. Di ruang tengah hanya ada lampu kecil kuning keemasan, membelakangi sumber cahaya pria itu menunduk mengganti sepatu, ekspresinya tak terlihat jelas.
Seolah merasakan sesuatu, pria itu menoleh ke arahnya, "Belum tidur?"
"Pagi tadi kebanyakan tidur, kini sulit terlelap." Ji Ying menyembulkan badan dari balik pintu ruang baca, menyalakan lampu utama. Pandangannya menyapu wajah pria itu sejenak, bertanya halus: "Minum-minum lagi?" Ia mendekati pulau dapur, menuangkan segelas air hangat untuk Fu Jingshen, "Minumlah dulu."
Gadis itu sepertinya sudah mandi, berganti baju tidur tipis yang biasa dikenakannya. Tulang punggungnya lurus sempurna, pinggang ramping yang anggun, kulit yang terlihat halus dan putih berkilau—setiap inci tubuhnya bagai perhiasan giok termahal nan sempurna.
Hanya dialah yang bisa mengenakan qipao dengan pesona sebegitu rupanya.
Sorot mata Fu Jingshen berkedip-kedip tak menentu. Tiba-tiba, dia melangkah dua langkah ke depan, lengannya merangkul pinggang ramping gadis itu dari belakang, sementara jas yang digantungnya dilempar kasar ke tempat sampah.
Pelukan mendadak itu membuat bulu mata Ji Ying bergetar, nyaris menjatuhkan gelas di tangannya. Dia menahan napas: "Kakak ketiga?"
Fu Jingshen tak menjawab, hanya menunduk menghirup aroma samar yang melekat pada tubuhnya.
Jarang sekali dia memakai parfum, tapi rutin membakar dupa. Lama-kelamaan, seluruh tubuhnya terendam wangi yang biasanya hanya bisa dihasilkan dari rempah-rempah termahal.
Ji Ying sedikit menghindar dari hembusan napasnya, dengan canggung memalingkan kepala: "Gatal…" Tiba-tiba, hidungnya menangkap aroma parfum asing yang menyengat.
Bukan miliknya, apalagi milik Fu Jingshen.
Ji Ying terkejut, ujung jarinya menggenggam erat, entah mengapa rasa menjauh yang aneh muncul dari dalam hati.
Ia menundukkan bulu matanya yang lentik, garis bibirnya meregang halus, "Kakak ketiga, lebih baik kakak mandi dulu."
"Peluk aku lagi." Suara pria itu tak terbantahkan.
Ji Ying tetap meronta perlahan, "Seluruh badan kakak bau alkohol, jangan kutempelin."
Fu Jingshen terkekeh rendah dari tenggorokan, namun patuh melepaskan pelukannya, "Baru sekarang dicuekin?"
Ji Ying tentu takkan menghinanya. Biasanya meski habis minum, ia kerap menciumnya berkali-kali. Tapi kali ini setelah berpikir serius sedetik, ia mengangguk: "Sedikit sih."
Fu Jingshen mulai membuka kancing kemejanya, sambil mengangkat tangan mencubit pipi gadis itu.
Dengan refleks Ji Ying menghindari tangannya, meletakkan gelas di meja, "Sudah larut, aku akan kembali ke kamar dulu。"
……
Ji Ying bersandar di ranjang, sekadar mengambil buku dari meja ranjang lalu menunduk membalik-balik halamannya.
Gemericik air dari kamar mandi berdesir rintik, pikiran pun ikut terbang entah ke mana mengikuti suara itu.
Halaman buku di tangannya tak terserap satu karakter pun setelah waktu lama.
Ji Ying melirik ke arah pintu kamar mandi lagi, buru-buru menolehkan kepala sambil gelisah dengan reaksi anehnya sendiri.
Mingming semuanya wajar-wajar saja, bukan begitu.
Memang di mana yang tidak benar? Karena dia tidak menyukai aroma parfum di tubuhnya?
Tapi ini semua kan acara sosial bisnis yang meminta darinya.
Ujung jari putih halus Ji Ying berada di dadanya, lama tak bergerak. Tak kunjung menemukan jawaban, akhirnya dia menyelipkan diri ke dalam selimut untuk menutupi lapisan kekesalan ini.
Tak lama kemudian, pintu kamar mandi terbuka. Langkah kaki pria dengan tempo yang tenang mulai mendekati tepi ranjang.
Selimut sutra di belakang dibuka, detik berikutnya, lengan berotot Fu Jingshen menarik pinggangnya masuk ke dalam dekapannya.
Ji Ying berteriak kaget pelan, berbalik badan menghadapi sorot mata pria itu.
"Tidur begitu jauh, hampir terjatuh."
"Aku..." Ji Ying membuka bibirnya, bingung harus berkata apa, tiba-tiba leher belakangnya dipencet Fu Jingshen yang hanya mengenakan jubah mandi. Gerakan ini membuat sebagian besar dadanya terbuka.
Ji Ying menatap dada pria yang sejengkal di depannya, pergelangan tangan mungilnya menempel di sana. "...Ini untuk apa?"
"Cium." Fu Jingshen memencet hidungnya lembut. "Masih ada bau alkohol?"
Wajah Ji Ying memerah hingga ke telinga. Ia gelengkan kepala: "Sudah tidak."
"Jadi sekarang aku boleh memelukmu?"
Ji Ying bukan mengangguk bukan menggeleng. Setelah lama terbata, akhirnya ia merangkul leher pria itu: "Tidur saja, ya?"
Nada Fu Jingshen melambat: "Tidak perlu terburu-buru."
“Jika tidak salah ingat, kita masih ada hal yang belum selesai didiskusikan.”
Ji Ying: “…Hm?”
Fu Jingshen mengusap-usap pinggang belakangnya dengan lembut, “Nyonya Fu lupa kompensasi apa yang harus kau berikan padaku?”
Ji Ying tak menyangka dia benar-benar ingat untuk membahas ini, terbata-bata: “Lalu… hadiah apa yang Kakak ketiga inginkan?”
“Apa menurutmu?” Fu Jingshen membalas bertanya dengan suara lembut, sorot matanya bagai kolam tak bertepi.
Ujung hati Ji Ying berdebar kencang.
Di saat seperti ini, mana mungkin dia tak paham maksud tersembunyi suaminya.
Ji Ying menundukkan bulu matanya, telapak tangannya berkeringat dingin. Ujung jari putih halusnya meraih tali gaun tidur di dadanya, mencoba membukanya sekali – gagal – seketika ujung jari itu meringkuk gugup.
Dari jarak sedekat ini, Fu Jingshen jelas takkan melewatkan kepanikan dan ketegangan yang tersirat di mata sang gadis.
Tapi dia sama sekali tak berusaha menghentikan.
Akhirnya tali itu terlepas, kerah tipis gaunnya memperlihatkan setengah cun kulit putih salju.
Di bawah tatapan pria itu, Ji Ying terus membuka kancing kerah baju. Gaun tidur yang dikenakannya malam ini bergaya kancing, baik saat melepas maupun mengenakan kembali sama-sama merepotkan.
Proses ini terasa semakin menyiksa dan berlarut-larut.
Saat sampai pada kancing ketiga, Ji Ying akhirnya tak tahan menahan pandangan membara itu. Dengan suaranya gemetar halus, ia memohon lembut: "Kakak ketiga, bisakah kita matikan lampu?"
……
Ketika Ji Ying terbangun kembali, cahaya pagi menyelinap melalui celah tirai jendela, perlahan menyinari ruangan.
Pagi ini ia bangun kesiangan, dilihatnya jam menunjukkan waktu hampir menjelang tengah hari. Untungnya hari ini minggu genap, tidak ada kelas di pagi hari.
Suasana dalam ruangan sunyi senyap.
Ji Ying memeluk erat selimut siku-sikunya menahan berat badan dari ranjang. Tatapannya jatuh pada seprai yang baru diganti, bulu matanya bergetar sesaat sebelum akhirnya kembali ingin menyembunyikan wajah dalam selimut.
Posisi di sampingnya sudah lama dingin. Pria itu pergi sejak subuh, Ji Ying masih ingat sebelum pergi, bibir tipisnya mencium lembut dahinya, "Aku pergi?"
Malam kemarin, dendam Ji Ying belum sirna, subuh hari kembali diganggu, tentu saja tidak menunjukkan wajah ramah.
Langka berlaku semaunya dengan menepuk-nepuk wajahnya untuk mendorong, mengerutkan alis yang anggun, bergumam: "Aku lelah, jangan berisik."
Fu Jingshen malah tertawa rendah.
"Apa yang kulakukan padamu semalam sampai kau lelah?"
Apa yang dilakukannya sampai dia tidak tahu...
Sementara Fu Jingshen seolah teringat sesuatu, membungkuk mendekati telinganya, "Oh, aku lupa."
Ji Ying: "......?"
Suara berat pria itu berubah menjadi bisikan: "Mengalirkan begitu banyak ember air, memang melelahkan."
Menambahkan: "Maksudku, air mata."
Ji Ying: !
Bulu matanya bergetar hebat, hawa panas menggelegak dari telapak kaki naik ke pipi, tangannya langsung menyambar selimut untuk menutupi kepala, membalikkan badan dengan tegas takkan meladeninya lagi.
Kembali dari lamunan, Ji Ying diam-diam menyembunyikan wajahnya di telapak tangannya.
Ingatannya hanya berani menyusuri hingga pagi ini, adapun malam tadi... Ji Ying menarik napas dalam-dalam, lalu melangkah turun dari ranjang menuju kamar mandi.
Ji Ying berusaha melupakan segala yang terjadi semalam, namun menemukan bahwa ke mana pun ia pergi, selalu ada hal yang mengingatkannya pada apa yang sebenarnya telah terjadi.
Di cermin, gaun tidurnya yang baru terganti. Leher putih saljunya dipenuhi jejak merah bertebaran.
Ji Ying menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menutupi bekas-bekas di lehernya dengan concealer.
Setelah selesai mandi, ia meraih handuk wajah, namun jemarinya gemetar saat menyentuhnya.
Ji Ying menopang diri di wastafel. Bagaimana mungkin melupakan ini...
Begitu memejamkan mata, terbayang gerakan lambat pria itu membersihkan jemari di bawah cahaya remang-remang.
Ji Ying cepat-cepat membasuh wajahnya lalu berlari kecil keluar dari kamar mandi.
Di ruang ganti, dia menghadapi wajahnya yang merah padam di cermin, menarik napas dalam-dalam.
Ji Ying berusaha fokus memilih baju yang akan dikenakan hari ini dari lemari batu. Setelah selesai mengenakan pakaian, dia menatap bayangannya yang terlihat sopan di cermin, akhirnya keberaniannya terkumpul.
Setelah semuanya selesai diurus, Ji Ying keluar dari kamar. Saat mengangkat pandangan, matanya menangkap Tante kebersihan yang sedang merapikan barang-barang.
Tante itu datang ke rumah setiap dua hari sekali untuk merapikan. Melihat Ji Ying, sang Tante menyapanya dengan ramah: "Nyonya baik."
Ji Ying mengangguk: "Halo." Dia menoleh, melihat beberapa kantong hitam tergeletak di lantai, bertanya sambil lalu: "Apakah semua ini akan dibuang?"
"Ah benar." Tante itu mengangguk, "Ini adalah barang-barang yang Tuan kumpulkan dan letakkan di pinggir tembok."
Ji Ying terkejut: "Apa yang dia buang?"
Tante itu memiliki etika profesional dasar, tentu takkan sembarangan membongkar-bongkar barang pemilik rumah. Ia menggelengkan kepala penuh permintaan maaf: "Tidak tahu." Di hadapan Ji Ying, ia meraba kantong dari luar: "Masih lembut, mungkin seprai dan selimut ya?"
Ji Ying: "……"
Hampir seketika ia menyadari sesuatu, rasa malu yang susah payah ditekan kembali muncul.
Seolah suara rendah serak bernada tertahan pria itu masih bergema di telinganya.
"Sakura kita benar-benar terbuat dari air ya."
"Sprei harus diganti."
Tak disangka, pagi ini dia sudah membuang seprai. Di hadapan tante, Ji Ying berusaha tenang sambil menutupi bibir dengan batuk kecil: "Benarkah? Mungkin hanya baju bekas."
Setelah berkata, Ji Ying langsung menuju meja makan. Tanpa selera, ia hanya meneguk beberapa suap bubur.
Tante membersihkan dari balai pertemuan hingga ke area meja makan. Saat sampai di tempat sampah pulau dapur, ia terkejut dan bertanya panik: "Nyonya, ini juga akan dibuang?"
Ji Ying sangat waspada, khawatir ada jejak yang belum dibersihkan. Setelah menelannya, ia bertanya: "Apa?"
Tante membentangkan setelan jas mahal yang masih baru, bergumam heran: "Setelan bagus seperti ini, belum dipakai beberapa kali, Tuan mau membuangnya?"
Ji Ying mengerutkan dahi: "Setelan jas?" Ia berdiri dan mendekat, menunduk mengamati jas ini. Baru saja mendekat, sudah mencium aroma parfum yang lebih menyengat dibanding semalam.
Kemarin pria itu memeluknya dari belakang sambil melemparkan jas ini. Tapi apakah benar-benar dibuang atau hanya ditaruh, ia tidak paham.
Dengan ekspresi datar, Ji Ying berkata tenang: "Buang saja."
Tante，，setelan jas，，“Brak”，setelan jas。
“Hmm，？” Tante，kartu。
，canggungbatuk。Diaorang kaya，berbagai karakter，paham。
Ji Ying，pandanganTantekartu kamar，Dia，mengamati dengan cermat，tiba-tiba，“Tante，berikan padaku.”
“Ah Baik, baik, baik.” TanteJi Ying。
DiamengamatiJi Yingwajah。Anak mudakartu kamar，。
“Cari masalah Tante。” Ji Yingucapan terima kasih，kembali ke meja makanmakan。
Hingga siang hari di sela-sela kelas, Ji Ying masih sesekali menunduk memutar-mutar kartu akses kamar di tangannya.
Tentu saja dia tidak menganggap Fu Jingshen akan berselingkuh.
Tadi malam, nafsu terpendam lama pria itu hampir meluap.
Dalam situasi seperti itu, dia tetap tidak membiarkan dirinya mengambil keuntungan.
Ji Ying teringat cahaya senja yang menyelimuti mata penuh belas kasihan yang disembunyikan pria itu. Dengan metodologinya sendiri, pelan-pelan dan penuh kesabaran, dia mencoba membiasakannya menggunakan jari-jemari.
Lalu sebenarnya apa yang masih dia risaukan? Ji Ying bertanya dalam hati.
Usai kelas, telepon Chen Yu menyambangi Ji Ying.
"Pemilik toko." Suara Chen Yu di ujung telepon bergetar antusias: "Kargo Tuan Li sudah tiba. Kapan Pemilik toko punya waktu untuk memeriksanya?"
"Cepat sekali pengirimannya?" Mata Ji Ying berbinar: "Kebetulan, malam ini aku ada waktu."
"Malam ini?" Chen Yu terkejut: "Pemilik toko sekarang bisa keluar malam juga?"
“Betul.” Ji Ying melengkungkan bibirnya: “Setelah menikah, tidak ada kebebasan sedikit pun?”
Chen Yu menyeringai, “Lalu kalau sudah menikah, boleh tidak pulang semalaman?”
Ji Ying benar-benar memikirkannya, “…Tidak pulang semalaman itu tidak baik, ya?”
“Pria boleh berpesta pora di luar, perempuan wajib bersembunyi di rumah melayani mereka?” Chen Yu mendengus pelan.
Sambil berbicara, Ji Ying berjalan menuju gerbang sekolah, tertawa getir: “Sudah, aku segera datang. Seduh teh baru tunggu aku.”
“Siap!”
Sopir mengemudikan mobil mendekat. Setelah menutup telepon, Ji Ying duduk di kursi belakang.
Fu Jingshen tidak ada di tempat. Ia jarang bisa pulang tepat waktu, sebagian besar waktu dipakai untuk acara sosial atau pekerjaan.
Ji Ying menyuruh sopir mengubah rute ke Yulinling, sambil mengirim pesan pemberitahuan ke Fu Jingshen melalui telepon genggam.
[Kakak ketiga, malam ini ada barang baru di Yulinling, aku ke toko dulu, pulang agak malam]
Fu Jingshen jarang membalas seketika. Setelah menyampaikan pesan, Ji Ying tidak lagi memperhatikan kotak obrolannya.
Setengah jam lagi, Ji Ying tiba di Yulinling.
Saat ini telah tiba di daftar pengumuman，matahari sore bagai emas yang terpecah menyiram ke bawah，tertuju pada plakat toko elegan Yulinling。
Kini bukan jam sibuk untuk minum teh，tidak banyak orang di dalam toko。Baru saja Ji Ying memasuki rumah，Chen Yu langsung menyambutnya，mengaitkan lengannya naik ke lantai atas，berada di ruang VIP kecil，beberapa guci teh baru tersusun rapi，"Pemilik toko，cepatlah masuk。"
Ji Ying dengan senang hati duduk。Selain teh，Chen Yu juga telah menyiapkan kue-kue dan pastry，dipadukan bersama，rasanya begitu manis segar。
Jenis teh baru banyak, cita rasanya enak, sangat autentik.
Ji Ying mengecap teh: "Tuan Li benar-benar orang yang jujur."
"Langkah pemilik toko ini memang jenius." Chen Yu tersenyum.
"Jadi besok kita akan meluncurkan teh baru di toko, lihat bagaimana respons pasar."
Chen Yu menanggapi.
Sambil mengobrol, kegelapan malam semakin berat. Melalui jendela ruang VIP, terlihat bintang-bintang bertaburan di ujung langit.
Ji Ying menatap dari atas dengan pandangan rendah sambil menyajikan teh untuk Chen Yu, "Jika respon teh baru bagus, kita bisa mulai promosi. Ada ide?"
Chen Yu tenggelam dalam pikiran.
Tiba-tiba, melalui jendela yang terbuka, suara qin kuno yang merdu memasuki daun telinga. Seperti terompet perang, seluruh Jalan Kuno Jingxi tiba-tiba riuh.
Pandangan Ji Ying tertuju ke luar jendela, dengan ekspresi panik ringan.
Entah sejak kapan, lentera di kedua sisi jalan kuno menyala. Seketika seluruh jalan berpendar terang, deretan stan aksesoris tertata rapi di tepi jalan, dipadati kerumunan orang.
Selain itu, masing-masing toko juga unjuk kebolehan: ada yang memakai hanfu, memainkan guzheng, memetik pipa - pemandangan yang memikat mata.
Ji Ying belum pernah melihat formasi seperti ini. Seketika ia menjulurkan kepala, sorot matanya berbinar lebar: "Yuyu, ini apa?"
Chen Yu juga terkejut sejenak, tiba-tiba bertepuk tangan, "Oh, bagaimana bisa aku lupa!"
“Bukankah liburan musim panas sudah dekat. Baru-baru ini ada pameran gaya Tiongkok selama dua bulan di jalan kuno, masing-masing toko tentu mengerahkan segala upaya promosi untuk menarik bisnis, ke depannya pasti semakin ramai.”
“Benarkah?” Ji Ying bergumam pelan, matanya berbinar: “Bukankah ini kesempatan bagus untuk promosi kita?”
Usai berkata, dia langsung menarik tangan Chen Yu dan bergegas menuruni tangga, “Ayo kita lihat juga.”
-
Fu Jingshen hanya menyantap makan sederhana di perusahaan pada malam hari, kemudian melanjutkan rapat dengan jajaran tinggi perusahaan.
Setelah pernikahan aliansi dengan keluarga Ji, kedua pihak semakin banyak kerja sama bisnis, beberapa proyek besar diluncurkan bersamaan, urusan menumpuk bagai bulu kerbau.
Setelah segalanya berakhir, waktu telah menunjukkan pukul sembilan. Fu Jingshen kembali ke kantor, Sekretaris Chu menyusul sambil melapor pengaturan kerja untuk besok.
Fu Jingshen mendengarkan dengan santai, di sela-sela kesibukan sempat memaksakan diri membuka telepon genggam.
Tiba-tiba, pandangannya terhenti, tertuju pada kabar yang dikirim Ji Ying beberapa jam sebelumnya.
“Sampai di sini dulu.” Fu Jingshen langsung menghubungi telepon Ji Ying, mengangkat tangan memberi isyarat pada Sekretaris Chu: “Kembali saja.”
Sekretaris Chu terkejut sejenak, segera menanggapi, lalu melangkah keluar dari kantor.
Di dalam kantor, ujung jari Fu Jingshen mengetuk-ngetuk meja pelan, mendengarkan bunyi tut-tut telepon dengan ekspresi datar.
Lama tak tersambung, di seberang sana tetap tidak mengangkat telepon.
Alis Fu Jingshen berdenyut, menyimpan telepon, langsung berjalan menuju pintu keluar kantor.
-
Ji Ying belum pernah melihat keramaian pasar seperti ini. Ia menarik tangan Chen Yu, berjalan sambil sesekali berhenti, memandang ke sekitar dengan penuh rasa ingin tahu.
Chen Yu pertama kali melihat Ji Ying sebahagia ini, bagai burung pipit yang terbebas dari sangkar, membuang-buang tenaga dengan bebas ke segala penjuru.
Tak ada yang tega menghentikan Ji Ying yang seperti ini.
Orang-orang yang lalu lalang memang banyak, terlalu banyak tatapan mengarah pada Ji Ying. Chen Yu diam-diam meningkatkan kewaspadaan, khawatir jika lengah sedikit, gadis itu akan hilang bagai bayangan.
Sebuah toko hanfu di depan dikerumuni banyak orang.
"Apa yang terjadi di situ?" teriak Ji Ying.
Suara speaker yang bercampur dengan kerumunan membuat Chen Yu sama sekali tidak bisa mendengar suara Ji Ying.
Dengan gelisah ia mengamati sekeliling. Semakin banyak orang memadati jalan kuno, berdesakan sampai situasi hampir tak terkendali.
Chen Yu berusaha menarik lengan Ji Ying.
Tiba-tiba, bayangan mungil Ji Ying menghilang di kerumunan. "Pemilik toko!" teriak Chen Yu panik.
Tapi Ji Ying sudah tidak bisa mendengar teriakannya.
Ia mengikuti kerumunan beberapa langkah, refleks meraih tangan Chen Yu. Saat menoleh, yang terlihat justru wajah asing.
Seorang pria tak dikenal sama sekali,
wajah pria itu memerah. "Halo..."
Ji Ying segera melepaskan lengannya. "Maaf, saya salah orang."
Dia melirik sekeliling, ternyata semua wajah-wajah asing, Chen Yu sudah tak tahu pergi ke mana. Hati Ji Ying berdebar, mulai panik, khawatir Chen Yu mengalami kecelakaan kecil.
Ji Ying membuka ponsel, memutar nomor Chen Yu, setelah waktu lama juga tak tersambung.
Saat ini, telepon Fu Jingshen entah bagaimana masuk, Ji Ying menekan sambungkan, "Kakak ketiga."
"Di mana."
Sekitar，Ji YingFu Jingshen，“Aku di sini tidak bisa mendengar，nanti menelepon balik... Ah!”
Detik berikutnya，dia berteriak kaget。Dari belakang ada yang tidak diketahui，mendorongnya maju，Ji Ying langsung menabrak wanita paruh baya di depan。
Wanita paruh baya itu sakit tertabrak，menoleh sambil memaki-maki，“Kau tidak lihat jalan?!”
Ji Ying menyelimuti hidung yang memerah akibat benturan，berulang kali meminta maaf。
Pria di sekitar wanita paruh baya itu juga menoleh, matanya refleks mengamati Ji Ying dengan pandangan yang melekat erat: "Kukatakan padamu, seorang gadis kecil, jangan banyak berkeliaran di luar larut malam. Kalau diganggu pria, nanti menangis untuk siapa?"
Ji Ying mengerutkan dahinya: "Anda tidak bisa bicara seperti itu. Gadis juga punya hak keluar di malam hari."
Pria itu mencemooh dingin: "Omong kosong! Pergi keluar dengan pakaian seperti ini, kalau bukan genit ya mau jual."
Wajah Ji Ying berubah dingin, "Harap jaga sopan santun."
"Wah, kebenaran tidak boleh diucapkan? Coba lihat di jalanan ini siapa yang berpakaian sepertimu..."
Sebelum kalimatnya selesai, pria itu tiba-tiba didorong ke arah wanita paruh baya. Keduanya nyaris menabrak pilar batu di samping, "Dasar tutup mulut kau!"
Ji Ying terkejut, melihat pria muda yang salah ditariknya tadi mengernyitkan alis sambil mendorong orang itu.
Melihat itu adalah anak muda bertubuh kekar, pria paruh baya itu canggung menutup mulutnya. Tak lama kemudian, ia dan wanita itu menghilang dalam kerumunan orang.
Ji Ying merasa hangat di hati, mengangguk penuh syukur ke arah pria muda itu. Skenario kedua tersenyum sopan, "Ini kewajiban yang seharusnya dilakukan."
Setelah insiden kecil ini, basis logistik semakin padat. Panitia menyadari situasi genting, segera menghentikan pertunjukan hanfu di depan. Di lokasi, satpam mulai berdatangan mengatur evakuasi secara sporadis.
Area Ji Ying masih sesak. Orang-orang terus mengerumuninya. Refleks ia mundur ke zona yang lebih banyak perempuan. Tangannya menggenggam erat telepon genggam. Saat menatap dari atas dengan pandangan rendah, barulah ia sadar panggilan dengan Fu Jingshen masih tersambung.
Hidung Ji Ying terasa iri dan lemas: "Kakak ketiga..." Tiba-tiba sistem audio depan mati. Samar-samar terdengar suara sporadis dari telepon. Ia menempelkan perangkat ke telinga: "Kakak, suaraku terdengar?"
"Aku di sini." Suara berat Fu Jingshen masih disertai desahan napas, "Cepat kirim posisimu."
"Baik." Ji Ying segera menunduk mengirim titik koordinat.
Proses evakuasi berjalan sangat lambat, Ji Ying menyadari ada seorang pria kurus yang terus mengikuti dari belakangnya, berusaha keras untuk berdiri menempelinya. Ji Ying yang masih diliputi kepanikan, mati-matian mencari celah untuk berlindung.
Namun seberapa pun ia menghindar, bayangan di belakang tetap mengikuti langkah demi langkah, tak henti-hentinya masih berkeliaran.
Ji Ying tak kuasa memanggil dengan suara gemetar: "Kakak ketiga, kamu di mana?"
"Segera sampai." Suara di ujung sana berat namun tegas.
Bayangan manusia di belakang semakin mendekat, seolah membawa napas berat yang tersengal. Ji Ying tak sempat menghindar, detik berikutnya, pinggangnya direngkuh dari belakang. Refleks ia berontak, suara orang di belakang bercampur dengan pengeras suara ponsel, bergema bersamaan di telinganya.
"Ji Ying, ini aku."
-
Di dalam ruang VIP Yulinling.
Ji Ying duduk dengan wajah kecilnya murung, sama sekali tidak bersuara.
Fu Jingshen dengan ekspresi datar mengangkat dagunya: "Sudahkah Nyonya Fu melakukan introspeksi?"
Ji Ying membelalakkan mata melihat rahang pria itu, mengerutkan bibir dengan sedih: "Aku perlu introspeksi apa."
"Coba mikir pelan-pelan lagi." Fu Jingshen sama sekali tidak menatapnya.
"Aku juga tidak tahu akan seperti ini."
Fu Jingshen tidak memberi kesempatan untuk berkelit: "Kenapa sebelumnya tidak menelepon? Kau tahu aku tidak bisa setiap saat cek WeChat."
Ji Ying menundukkan pandangan, berkata dengan suara teredam: "Kukira ini cuma hal kecil."
Fu Jingshen mendesis rendah.
"Lalu, kenapa bisa terpisah dari Chen Yu."
Ji Ying menundukkan kepala: "Cuma mau lihat daerah ramai di depan..."
"Tahu daerah ramai, masih kabur kesana?"
Nada bicara pria itu semakin tegas, lebih galak dari siapapun di keluarga Ji.
Tiba-tiba lingkaran mata Ji Ying memerah, ia menahan sedu: "Aku cuma mau lihat keramaian, belum pernah melihat langsung hal-hal begini..."
Fu Jingshen memandang ujung mata merah padam gadis itu, kekhawatiran sepanjang malam dan kelelahan berubah menjadi helaan napas tak berdaya. Ia memeluk Ji Ying dalam dekapan, memencet lembut leher belakangnya. Suaranya melunak: "Sudah-sudah, ini bukan salah sakura kita."
Saat pria itu menginterogasinya dengan galak, Ji Ying lebih merasa tak mengakui kesalahan. Tapi ketika dia menghibur dengan lembut, air mata seketika menetes pelan.
Fu Jingshen menunduk mencium air matanya, suaranya menyembunyikan tawa: "Kemarin menangis, hari ini menangis lagi." Dia berbisik pelan dengan nada sama seperti tadi malam: "Benarkah kau terbuat dari air?"
Air mata Ji Ying berhenti, tak bisa lagi menangis.
Catatan Penulis:
Si anjing Fu: Dengan satu kalimat membuat istri berhenti menangis.
