Aku akan merasa iri.
"Rupanya," suara beratnya mengalun lambat di tepi telinga, "Nyonya Fu sudah lama menyimpan dendam padaku?"
Ji Ying kehilangan kata-kata, perlahan menyelipkan kepala kembali ke dalam selimut.
Fu Jingshen tetap tidak akan mengalah: "Setiap hari melihat wajah tua bangka ini, sudah bosan ya?"
Ji Ying meraih telinganya, tapi suara berat pria itu tetap menembus perlindungannya.
"Bartender muda itu tampan tidak?"
Tidak mau dengar! Biksu sedang membaca kitab. Ji Ying bertekad tetap diam.
Tak disangka, di detik berikutnya telepon di bantal direbut pria itu. Dengan santai, Fu Jingshen menggenggam jarinya dan membuka gembok giok.
Ji Ying terkejut, meraih lengan pria itu. "Kakak ketiga, kamu mau apa..."
Fu Jingshen membuka WeChat-nya. Jari-jari panjangnya menyentuh layar. Mata indah Ji Ying membelalak saat melihat dirinya mengubah catatan kontaknya menjadi -
[Suami Tersayang]
Ji Ying: "..."
Bagaimana mungkin seseorang bisa mengubah catatan kontak seperti ini dengan ekspresi datar?
Persepsi Ji Ying tentang Fu Jingshen yang tenang dan rendah hati mulai retak.
"Aku tidak mau diubah." Pipi Ji Ying memerah sambil protes.
“Ini terlalu mempermalukan…”
Dia menoleh berusaha merebut kembali teleponnya, namun pria itu malah membalikkan badan turun dari ranjang dan meletakkan ponsel di tempat jauh.
Tubuhnya hanya diselimuti jubah tidur yang dipakai sembarangan saat memandikannya tadi malam. Gerakan turun dari ranjang membuat jubah itu melorot longgar menyentuh lantai.
“Ah.” Ji Ying cepat-cepat memalingkan wajah sambil menutup mata, “Pakailah bajumu dengan benar.”
Fu Jingshen dengan santai mengambil jubah itu, memandangi pangkal telinganya yang berubah merah tipis dengan penuh minat.
“Belum membiasakan diri?”
Bibir merah Ji Ying terkumat-kamit, “…Siapa yang mau membiasakan diri dengan ini.”
Fu Jingshen tersenyum samar, lalu langsung berjalan menuju lemari batu.
Wajah kecil Ji Ying tertanam di bantal, mengamati sosok pria tinggi tegap yang menjauh. Dari belakang, posturnya membentuk segitiga terbalik khas - bahu lebar, pinggang ramping, otot yang terdefinisi jelas tanpa berlebihan.
Hanya saat ini, di tulang punggung Fu Jingshen terlihat jejak merah beragam intensitas, kontras mencolok di atas kulit putih dinginnya.
Ji Ying baru menyadari setelah berpikir sejenak, semua itu adalah cakarannya semalam.
"Apa aku sampai sekuat itu?" Ji Ying linglung.
"Sakura." Fu Jingshen mengenakan bajunya, "Kalau mau lihat, bisa melihat secara terbuka."
Ji Ying buru-buru menyelip ke dalam selimut seperti mencuri lonceng sambil menutup telinga: "Aku tidak melihat yang lain..."
"Aku hanya melihat punggungmu..." Ia ragu-ragu melanjutkan, "Kakak ketiga, apa sakit?"
Fu Jingshen selesai berganti baju, tangannya menyusup ke selimut dan meraih tangan Ji Ying, ujung jarinya membelai kuku runcingnya. "Kau sendiri tidak tahu kekuatanmu?" Bisiknya sambil tersenyum: "Seperti kucing menggaruk gatal."
Ji Ying menangkap nada mengejek dalam suaranya, menarik kembali tangannya.
Sorot matanya menyala marah menatapnya, "Kalau begitu lain kali akan kukerahkan lebih keras."
“Benarkah.” Fu Jingshen mengangkat alis dengan lembut: “Kalau begitu aku juga akan lebih keras.”
Dia tidak tahu malu!
Ji Ying benar-benar tak ingin berbicara lagi dengannya, menarik selimut dan menutupi kepala.
Fu Jingshen mengusap tengkuknya dengan lembut: “Tidurlah lagi, nanti setelah aku kembali akan kubangunkan untuk makan.”
Semalam dikocok sampai larut, tetap bangun pagi untuk kebiasaan olahraga pagi tanpa kompromi.
Ji Ying dalam hati mengutuk energi pria yang melawan kodrat ini, menguap pelan sebelum kembali tenggelam dalam bantal, tidur kembali.
-
Fu Jingshen kembali dari gym, langsung masuk ke kamar mandi.
Di kamar, napas gadis itu teratur dan panjang, tertidur lagi.
Takut mengganggunya, Fu Jingshen memperhalus gerakan.
Saat dia keluar dari kamar mandi, sinar matahari telah merembes melalui tirai jendela lantai ke langit-langit, kamar yang remang-remang setengah terang setengah gelap.
Fu Jingshen mengenakan baju, mengangkat tangan dengan tenang mengancingkan kancing kemeja, pandangannya tertancap pada wajah kecil tembikar putih gadis itu.
Beberapa helai sinar matahari merayap di pipinya, bulu mata gadis itu bergetar, mengangkat lengan putih salju menghalangi mata, tak puas, mengernyitkan alis lalu bergeser ke samping.
Dalam gerakan, lekuk putih salju gadis itu samar-samar terlihat di antara seprai gelap, bertabur titik-titik bekas merah tak beraturan.
Sorot mata Fu Jingshen sedikit gelap, jakunnya bergerak.
Semalam, wajah manis gadis itu menggelengkan kepala sambil menangis lembut kembali terbayang. Tubuhnya kurus tapi terawat sempurna, siluet tubuhnya yang anggun di bawah qipao berlekuk lembut, seluruh kulit bak pualam, sedikit ditekan langsung memerah dengan warna merah muda samar.
Mengerogoti tulang, tapi juga ketagihan.
Tidak boleh terus memikirkannya. Fu Jingshen memejamkan mata sebentar, mengancingkan kancing manset terakhir.
Layar telepon genggam di meja ranjang menyala, Fu Jingshen mengambil teleponnya lalu keluar untuk menjawab panggilan.
Dari Sekretaris Chu.
Fu Jingshen menuju ke meja makan, sang tante mengantarkan piring makan. Ia mengangguk halus sambil menyimak telepon dengan sikap santai.
"Direktur Fu." Nada Sekretaris Chu terdengar ragu, baru setelah lama melanjutkan: "Selamat pagi."
Fu Jingshen berkata datar: "Langsung saja, Tuan Chu. Masalah akan lebih efisien seperti itu."
Di seberang telepon, Sekretaris Chu berhenti sejenak sebelum langsung membuka topik: "Nyonya kembali trending di media sosial."
Raut wajah Fu Jingshen berubah dingin. "Masalah kemarin belum tertangani?"
"Bukan, ini trending topik baru." Sekretaris Chu berhenti sebentar. "Kali ini...wajah Nyonya terlihat jelas."
Fu Jingshen menaruh kembali sendok makannya.
"Ding!" Sendok tembikar berbunyi gemerincing saat menyentuh meja.
Tante Wang terkejut, buru-buru maju mengganti sendok baru. Melihat ekspresi Fu Jingshen, hatinya berdebar-debar.
Dia telah melewati seleksi bertingkat sebelum akhirnya dipilih keluarga Fu untuk merawat Nyonya Fu yang baru memasuki bulan madu. Gaji dari keluarga Fu tak perlu diragukan, namun yang mengejutkan adalah kelembutan luar biasa Nyonya Fu. Hanya sikap dingin dan tak tersentuh Tuan Fu yang membuat Tante Wang selalu khawatir melanggar pantangan hingga dipecat.
Saat ini, Tante Wang melirik ekspresi Tuan Fu, lalu mundur sunyi ke samping.
Setelah waktu lama, Fu Jingshen menggenggam sendok tembikar, memerintahkan dengan datar: "Tindakan penekanan."
Sekretaris Chu menyetujui. Fu Jingshen menutup telepon, jari-jari panjangnya menyentuh trending topic Weibo. Matanya langsung tertangkap tagar #Inilah kecantikan qipao sebenarnya yang menduduki puncak chart.
Saat mengklik tagar, video rekaman spontan langsung menyambut pandangan.
Latar belakang video jelas menunjukkan Jalan Kuno Jingxi yang sedang ramai di ibu kota belakangan ini, dengan plakat Yulinling yang terlihat jelas. Di tengah frame, seorang gadis berbaju qipao merah muda-putih dengan rambut hitam terkuncir sedang menunduk memainkan guzheng. Diiringi musik tradisional elegan, tangannya yang halus memegang cangkir keramik, menuangkan teh dengan anggun, lalu tersenyum manis ke kamera. Wajahnya bak giok memancarkan keanggunan.
Like dan komentar di bawah tweet ini terus meningkat secara bergulir, hanya jumlah repost saja sudah mencapai puluhan ribu.
Bibir tipis Fu Jingshen mengepal, sorot matanya menggelap. Jari-jarinya mengusap-usap ponsel berulang kali, tiba-tiba terdengar dengusan rendah dari tenggorokannya.
Ia sama sekali tidak menyadari bahwa setiap kali Nyonya Fu keluar, pasti ada masalah baru yang muncul.
-
Setelah Fu Jingshen selesai mandi dan meninggalkan kamar, Ji Ying terbangun perlahan. Ia mengusap matanya, baru saja hendak bangkit, tiba-tiba menyadari dirinya tidak ada baju yang bisa dipakai.
“Qipao yang dipakai kemarin, sudah sejak lama dibuang ke lantai ruang tamu oleh pria itu. Namun selama ini, dia tidak memakaikan sehelai baju pun padanya.”
Ji Ying menggigit bibir bawah, membungkus diri dengan selimut tipis lalu turun dari ranjang perlahan-lahan.
Kakinya telanjang menyentuh lantai, baru saja melangkah, sensasi tak terlukiskan tiba-tiba muncul dari bawah tubuhnya.
Ujung jari Ji Ying bergetar, dia segera menuju lemari batu.
Saat jemarinya hampir menyentuh pegangan, langkah kaki terdengar dari luar kamar. Pintu tiba-tiba didorong pergi.
Siluet tinggi Fu Jingshen yang sudah rapi berpakaian tegak di ambang pintu. Pintu ditutupnya dengan dentuman berat.
Ji Ying merangkul pakaian dalam ke dada, selimut tipisnya ditarik kencang. "Aku akan berganti baju."
"Kakak... belum pergi ke perusahaan?"
Fu Jingshen tetap diam. Tatapannya menusuk, tiba-tiba maju merangkul pinggangnya dari belakang.
"Kakak ketiga..."
“Bukankah mau ganti baju?” Fu Jingshen berbisik, telapak tangan tipis dan bersihnya menyusup dari balik selimut. Kulit Ji Ying gemetar saat tersentuh jari-jarinya yang sejuk: "Kakak ketiga…"
Kain di tangannya direbut pria itu: "Tubuhmu kan masih sakit? Biar aku yang bantu."
Ji Ying berusaha kabur: "Tidak, aku tidak…"
Gerakan ini membuat telapak tangan Fu Jingshen menyentuh lekuk tubuhnya, nadanya mengancam: "Mau bergerak lagi?"
Ji Ying langsung diam, gigi kerangnya menggigit bibir bawah.
Entah disengaja atau tidak, jari-jari pria itu terus menyentuhnya secara samar.
Melalui selimut, gerakannya mengaitkan tali beha terlihat kikuk.
Ji Ying memejamkan mata. Dalam hati menggerutu: Proses ini kok terasa sangat panjang…
Fu Jingshen justru tampak sangat sabar, mendekatkan diri ke telinganya dan bertanya dengan tempo bicara yang tenang: "Sakura masih ingat apa yang dilakukan kemarin?"
Ji Ying tak ingin mengingatnya.
Fu Jingshen: "Ya?" Meski jarinya sedang menyesuaikan tali bahunya, gerakan itu jelas bermaksud menyusur perlahan ke bawah.
Ji Ying buru-buru membuka mata, menahan tangan pria itu yang bertengger di bahunya sambil memasang wajah kecil yang lesu: "Aku tak melakukan apa-apa..."
Ia menundukkan bulu matanya. Karena mabuk, bahkan ingatannya pun menjadi samar-samar bagai kabut.
Ji Ying mengangkat bulu matanya, mencoba melayang dalam kenangan kemarin sambil bergumam: "Siang minum teh ngobrol dengan Yueyue, malam pergi ke jalanan jajanan..."
"Aku makan beberapa suap roti mantou panggang." Mengingat cita rasa susu mantou, Ji Ying menyipitkan mata: "Enak sekali."
Fu Jingshen berbisik sinis: "Lalu?"
“Lalu…” Tiba-tiba teringat sesuatu, sorot mata Ji Ying terkejut, lalu berseri-seri: “Aku sudah melakukan promosi untuk Yulinling, tamu jadi bertambah banyak!”
Fu Jingshen tidak bereaksi khusus, ujung jarinya menggenggam erat selembar kain lain, sedikit membungkuk: “Angkat kakimu.”
Wajah Ji Ying memerah, ia memalingkan muka sambil melanjutkan: “Ini juga termasuk cara promosi baru. Nanti kalau pengunjung Yulinling semakin ramai, aku bisa membantu Tuan Li mempromosikan teh Huizhou.”
Sorot mata hitam legamnya berbinar, tak tahan bertanya pada Fu Jingshen: “Kakak ketiga, bagaimana menurutmu?”
Fu Jingshen membantu memakaikannya, jari-jarinya muncul dari balik selimut merapikan rambut pendek di pipi Ji Ying sambil tersenyum samar: “Jika kau karyawanku, pasti kuberi penghargaan kinerja terbaik secara pribadi.”
Sesaat kemudian, nada bicaranya berubah drastis: “Tapi kau adalah istriku.”
Ji Ying terkejut, menoleh memandangnya, menyelami kedalaman magis di dasar mata pria itu.
Fu Jingshen memeluknya dari belakang, aura lembutnya menyapu leher belakangnya, dengan sikap wajar ia balik bertanya.
"Harta karun yang kusembunyikan, mengapa harus diperlihatkan ke orang lain?"
Ji Ying tersipu malu, menundukkan sorot mata jernihnya.
"Sakura." Fu Jingshen memanggilnya lembut, ujung jari mengangkat dagunya: "Kamu trending lagi, tahu tidak?"
Ciuman lembutnya mendarat di leher belakangnya, menutupi bekas yang ditinggalkannya semalam, suaranya menyembunyikan keinginan menguasai yang terpendam.
"Kali ini, meski ingin kusembunyikan, tak mungkin lagi."
Sorot mata Ji Ying berkedip panik, "Trending topik?"
"Masih yang lalu..."
"Tidak." Fu Jingshen berkata datar: "Yang semalam."
Otak Ji Ying agak kacau, ia merapikan selimut tipisnya, dengan polos berkata: "Aku akan berpakaian rapi dulu, nanti saja dibahas."
Ia berlari kecil tanpa alas kaki ke ruang ganti, mengambil secara acak satu qipao dari lemari penuh, hendak meletakkan selimut saat mengangkat pandangan dan melihat Fu Jingshen yang ikut masuk.
Ji Ying memalingkan wajah dengan canggung: "Aku bisa memakainya sendiri."
Fu Jingshen masih memandanginya, seolah tak berniat pergi.
Ji Ying: "......"
Melihatnya masih diam, Fu Jingshen bersuara: "Masih butuh bantuanku?"
Sungguh keterlaluan!
Ji Ying menggembungkan pipi, membalikkan badan dengan geram, mulai mengenakan qipao.
Dari belakang, pinggang gadis itu ramping, kaki panjangnya putih mulus lurus. Qipao memamerkan kecantikannya secara maksimal.
Baru saja dikenakan, ia sudah ingin melepasnya sendiri dengan tangan kosong.
Lebih baik hanya dipamerkan untuknya seorang.
Ji Ying menahan malu mengenakan baju itu, merapikan rambut terurai. Saat menoleh, sorot mata pria yang berkerut gelap membuat dadanya berdebar.
Ia mengenali sorot mata ini. Semalam pun ia memandanginya dengan cara serupa.
Ji Ying hanya merasa bahaya datang menghampiri, ia berlari kecil menghindar sambil berkata, "Aku mandi dulu."
"Bagaimana rencana Sakura menangani hal ini?" Fu Jingshen menghalanginya.
"Menurut Kakak ketiga?"
"Aku akan membantumu menekannya."
Ji Ying menundukkan bulu matanya, berpikir beberapa detik sebelum menatap serius Fu Jingshen, "Mungkin... tidak perlu ditekan?"
-
Ji Ying duduk sendiri di meja makan, bengong menunduk meneguk bubur.
Layar ponsel terus berkedip, di WeChat banyak keluarga/teman mengirim pertanyaan.
Tapi Ji Ying kehilangan konsentrasi untuk membalas.
Ia memandang arah pintu, teringat ekspresi tidak terlalu senang Fu Jingshen saat pergi.
Ji Ying berniat memanfaatkan eksposur kali ini untuk promosi Yulinling dan Pabrik Teh Hongxing.
Namun Fu Jingshen tidak setuju dengan usulannya.
“Sakura, persepsimu belum matang.” Nada bicara pria itu tidak bisa ditawar: “Kamu hanya melihat sisi menguntungkan dari popularitas. Aku tak ingin kamu menanggung tekanan opini publik besar yang tersadar di baliknya.”
“Jika di kemudian hari, kualitas teh terjadi masalah, kamu akan menarik banyak kesulitan yang tidak perlu.”
“Dan aku juga punya niat tersembunyi.” Katanya: “Aku berharap nyonyaku tidak ditemukan oleh lebih banyak orang.”
“Aku akan merasa iri.”
Kembali ke kesadaran dari pikiran yang melayang, Ji Ying menundukkan bulu matanya, ujung jari menyentuh masuk ke Weibo.
Tak tahu berapa banyak trending topik selebriti yang dibeli Grup Fu, postingan tentangnya pagi tadi telah dijatuhkan dari peringkat depan ke nomor dua puluh lebih.
Ji Ying membuka trending topik itu, melihat berbagai macam keriuhan netizen di halaman utama.
[Belum ada yang @ akun kakak perempuan ini? Aku benar-benar menyukai penampilannya!]
[Netizen jaman sekarang payah, sampai sekarang belum menggali info?]
[Wu wu wu sayangku sayangku sayangku, jangan menyeduh teh lagi, rendam aku]
[Topik trending ini turun terlalu cepat, nggak ada yang merasa aneh? Padahal retweet dan like terus bertambah]
[Iya nih! Peringkat atas isinya apa sih? Celana robek Ji Huai? Gradasi warna rambut baru Ji Huai? Siapa yang peduli pakaiannya? Gue cuma mau liat cewek cantik aja!]
[Astaga, videonya mana? Kok video itu hilang?]
[Aneh banget ya? Jangan-jangan nona ini mengganggu kepentingan orang tertentu?]
Ji Ying awalnya masih tersenyum kecut melihat kakak keduanya yang kena imbas, setelah merefresh, videonya benar-benar hilang bahkan akun blogger hiburan yang mengupload ikut diblokir.
Dia terkejut, baru menyadari betapa cepatnya tindakan Fu Jingshen ketika benar-benar serius.
Telepon dari keluarga berdering satu per satu.
Ayah, kakak tertua, termasuk ibu, semuanya mempertahankan sikap yang sama dengan Fu Jingshen.
Ji Ying menundukkan kepala, kehilangan selera bahkan untuk sarapan.
Panggilan terakhir berasal dari Ji Huai. Setelah pesta pertunangan, Ji Huai langsung kembali syuting film. Beberapa kali mencoba menghubunginya tapi tak berhasil.
"Kakak kedua?"
Suara Ji Huai terdengar riuh di balik telepon. Suaranya yang biasanya santai kini gemeretuk penuh amarah: "Ying, sampaikan terima kasih ke Fu Jingshen mewakiliku."
: "Ya?"
"Untuk menurunkan trending topikmu, dia jadikan aku tameng?" Ji Huai tertawa getir: "Aku dibully netizen lagi. Cuma pakai celana bolong-bolong, bukan sampai kelihatan pantat, eh malah jadi trending."
Ji Huai sepertinya selalu punya efek penghibur. Perasaan muram sejak pagi akhirnya mulai cerah.
Ia tak tahan tersenyum: "Kasihan kakakku tersiksa."
Ji Huai mendengus pelan, "Sudahlah, ini buat selimutin trending adikku. Mau gimana lagi? Aku terima nasib."
"Siapa suruh adikku secantik ini? Baru muncul dikit di publik langsung trending."
Ji Ying melengkungkan bibir, tiba-tiba berbisik memanggil: "Kakak kedua…"
"Ya." Ji Huai menangkap nada murung dalam suaranya, "Ada apa?"
Ji Ying membagikan persepsinya kepada Ji Huai, lalu bertanya lembut: "Kakak, apakah kakak akan memberikan dukungan politik padaku?"
Sepi panjang menyelimuti ujung telepon.
"Ying." Suara Ji Huai kehilangan sifat urakannya yang biasa, terdengar menyimak dengan seksama: "Kakak tidak mendukungmu."
Ji Ying terkejut.
"Bagaimanapun, bahkan seseorang sempurna sepertiku pun punya banyak haters yang tiap hari mengutuk leluhur delapan belas generasi," suara Ji Huai meredup: "Aku tak ingin kau menerima niat jahat ini, meski cuma sepercik."
Hidung Ji Ying mengkerut oleh iri, "Lalu mengapa kakak memilih jalan ini?"
Ji Huai: "Karena aku juga ingin disukai banyak orang."
"Tapi——" Ji Huai tiba-tiba memperpanjang nada bicaranya: "Aku cuma tidak setuju."
"Pilihan Ying, kapan pernah kakak halangi?"
Ji Ying perasaan tiba-tiba cerah, di bibirnya menyunggingkan senyum: "Terima kasih Kakak Kedua."
"Cukup sudah." Ji Huai berkata dengan malas: "Kakak masih harus syuting, tutup telepon dulu, nanti setelah kembali ke ibu kota baru mencari adik."
"Baik."
Setelah menutup telepon, Ji Ying kembali ke antarmuka Weibo, membuat akun baru untuk dirinya sendiri.
[Ji Yingsakura]
Tapi dia tidak mengumumkan, setelah membuat akun, hanya diam-diam follow Chen Yu dan Ji Huai.
Menjelang siang, Wen Yue menelepon. Di seberang terdengar suara menguap, sepertinya baru bangun.
"Yingying," nada bicara Wen Yue hati-hati: "Bagaimana kabarmu?"
Dia menghirup ingus, berpura-pura malang: "Aku yang salah padamu..."
Ji Ying seluruh tubuhnya sakit, setelah makan langsung bersandar di sofa malas dan tak mau bangun.
Perkataan Wen Yue tiba-tiba mengingatkannya pada biang keladi semua ini.
"Jangan dibahas lagi..." Ji Ying berkata dengan tak berdaya.
Wen Yue dengan cerdik mencium sesuatu yang tidak bersemangat, "Merintih, suaramu kenapa jadi serak begini?"
Ji Ying: "...minum anggur terlalu banyak."
Wen Yue tetap tak percaya: "Kamu cuma minum beberapa teguk."
Ji Ying: "..." Diam-diam ia tak bersuara.
Menyadari sesuatu, Wen Yue pun ikut terdiam.
Setelah waktu lama, ia terkekuk-kekuk dua kali mencoba mencairkan suasana kaku: "Satu tembakan hapus dendam, bukankah ini segalanya berjalan lancar?"
Ji Ying menghela napas dalam, "Yueyue, ini semua ide bagus yang kamu berikan padaku."
Wen Yue: "...Aku juga tak menyangka, kebetulan sial begini."
"Dan, kamu benar-benar memanggilnya tua bangka?" Wen Yue teringat ekspresi wajah pria kemarin, tubuhnya bergetar. Tak berani membayangkan bagaimana Ji Ying yang dibawa pulang akan diperlakukan tidak adil.
Ji Ying menderita kerugian besar dalam hal ini.
Dengan geraman: "Jangan sebut tiga karakter ini lagi."
"Baik, baik, baik." Wen Yue bijak berkata: "Kamu istirahat, beristirahatlah baik-baik. Lain hari aku akan datang mengakui kesalahan."
Siang itu, Ji Ying kembali tertidur lelap.
Ia bermimpi, untuk pertama kalinya memimpikan Fu Jingshen.
Dalam mimpi itu, Ji Ying melihat dirinya dikurung di vila lereng gunung. Fu Jingshen tidak mengizinkannya keluar rumah, bertemu orang, bahkan... tidak mengizinkannya mengenakan pakaian.
Ia mencoba kabur, ditangkap kembali oleh pria itu dan dilempar ke ranjang.
Pria berwajah pucat dingin itu meraih rantai kaki dengan jari-jari jenjangnya, mendekat selangkah demi selangkah. Ekspresinya tersembunyi dalam kegelapan, hanya mata hitam legam seperti kolam dingin yang terlihat jelas.
Ia mendekat, telapak tangan besarnya menggenggam pergelangan kaki Ji Ying, memasangkan rantai kaki berukiran rumit.
Tampak seperti perhiasan, namun sebenarnya adalah rantai pengikat. Kini Ji Ying takkan bisa lagi meninggalkan ranjang besar ini.
"Sakura." bisiknya rendah, jemari menggenggam leher Ji Ying. Bayangan tubuhnya yang tinggi menutupi tubuh perempuan itu dari belakang.
Detik berikutnya, Ji Ying tiba-tiba terbangun, keringat dingin membasahi punggungnya. Ia bangkit terburu-buru dari kursi malas.
Tak disangka, begitu sadar langsung melihat Fu Jingshen berjongkok di depannya, jari-jari yang tegas mencengkeram pergelangan kakinya.
Ji Ying menatapnya sambil berteriak ketakutan: "Kakak ketiga! Aku tidak mau lagi!"
Fu Jingshen melepas sepatunya, menatap ke atas lalu tiba-tiba terkikik pelan.
"Tidak mau apa?" Alisnya terangkat perlahan, jemarinya mengusap pergelangan kakinya: "Ini—"
"Mimpi apa yang kau alami?"
Catatan Penulis:
Kakak kedua: Benar-benar Q yang terikat
Sakura: Aku juga Q terikat
