Panggil suami.
Pria itu menatapnya, pandangan hitam legam seperti kolam gelap seolah melihat melalui segalanya, tetap dominan, tajam, tak memberi ruang untuk menghindar.
Jari-jari Ji Ying yang menggantung di udara sedikit meringkuk, jantungnya berdebar kencang, tiba-tiba kehilangan irama.
Ia memalingkan wajah, berusaha tetap tenang. Tapi warna merah muda masih merambat dari belakang telinga hingga ke pipinya.
Menyukai... Apakah dia menyukainya?
Bahkan dalam bisikan paling intim, Ji Ying tak pernah sebegitu kikuk.
"Ya?" Fu Jingshen tak melepaskannya, jarinya mengusap-usap pergelangan tangan rampingnya, terus mendesak: "Kau menyukaiku?"
Ji Ying menaruh kembali kapas di tangannya, bibir merahnya terkatup lama, bulu mata panjangnya bergetar: "Aku tak tahu... Aku belum pernah menyukai siapa pun."
Telapak tangan Fu Jingshen merangkul pinggangnya, berbalik langsung mengangkatnya ke pangkuannya, suara beratnya bergema di tepi telinganya.
"Tak tahu arti menyukai?"
Ji Ying menundukkan pandangan, hingga bulu mata lentik yang bergetar disentuh lembut oleh bibir tipis pria itu, "Ini." Aura lembutnya kemudian sampai di daun telinga yang memerah, menghembuskan napas pelan: "Ini juga."
Seluruh tubuh Ji Ying kaku, bahkan jari kakinya menegang.
Jari-jari Fu Jingshen yang berada di pinggang belakangnya perlahan merambat naik, mencapai dadanya. Di sana, jantung berdetak sangat kencang, plok-plok, menggema di gendang telinga.
"Dan yang ini."
Ji Ying hampir tak bisa bernapas, detak jantungnya semakin cepat, mendengar pria itu tertawa rendah mengumumkan kesimpulan.
"Yinghua, kau menyukaiku."
Ji Ying refleks membuka mulut: "Aku..." Tatapan Fu Jingshen yang tajam seolah telah melihat melalui segalanya membuatnya tak bisa lagi mengeluarkan alasan.
Setelah lama, ia menyembunyikan wajah di lehernya, suara teredam: "Memang iya, lalu?"
Fu Jingshen mengangkat dagu putih saljunya, bola mata hitamnya menyipit, menunjukkan ketidakpuasan terhadap sikap pasif Nyonya Fu.
"Katakan, kamu menyukaiku."
Ji Ying malu mengungkapkannya, mengerutkan bibir sambil menggelengkan kepala dengan keras kepala: "Tidak mau..."
Jari-jari Fu Jingshen merayap dari pergelangan kakinya, perlahan menyusuri ujung qipao, lalu menyelusup ke dalam dengan gerakan menggurui.
Jantung Ji Ying berdebar kencang, rasa bahaya yang familiar menyergap. Sejak rekaman acara varietas, sudah lama tak merasakan ini.
Nada dalam sorot mata pria itu hampir meluap, "Masih tidak mau mengatakannya?"
Alarm bahaya dalam pikiran Ji Ying berbunyi nyaring, semangat keras kepalanya langsung menghilang.
"Aku... aku menyukaimu."
"Menyukai siapa." Fu Jingshen membungkuk mengecup lehernya, menghirup aroma harum di lekukan leher.
Ji Ying langsung lemas tersulut, mengeluarkan erangan lembut: "Kakak Ketiga..."
"Bukan yang ini."
Ji Ying tertegun sejenak.
Fu Jingshen menggenggam leher belakangnya dengan telapak tangan, menunduk dan membuka gigi dan bibirnya dengan paksa. Di sela-sela ciuman, ia berkata pelan: "Panggil suami."
Ji Ying agak ragu mengatakannya, dengan penuh semangat tak biasa ia membalas ciuman mencoba berkelit.
Tapi pria itu terus bertanya di telinganya: "Aku ini siapa?"
"San..." Ji Ying buru-buru mengganti sebutan: "...suami."
Tua bangka.
Pria itu bertanya dengan suara rendah: "Suka?"
Ji Ying yang kesadarannya masih kabur menjawab semua pertanyaan.
"Suka."
Fu Jingshen akhirnya tampak puas, menggenggam dagunya dari belakang dan merangkulnya dengan penuh kasih sayang dalam ciuman.
Ji Ying memejamkan mata, terhanyut dalam kekacauan yang ia berikan.
Hingga di ambang tidur, di tepi telinganya seperti terdengar helaan napas pelan yang samar.
"Sakura, sudah lama aku menunggu hari ini."
-
Setelah materi Shi Yi dibocorkan, netizen dengan puas "makan semangka" selama beberapa hari. Saat gelombang hal ini mulai mereda dan situasi di internet kembali tenang, netizen pun merasa bosan dan baru menyadari——
《Xun Yin》episode pertama yang melibatkan artis bermasalah moral, seharusnya sulit untuk dirilis kembali.
Penggemar penampilan Ji Ying menggerutu "Sial! Kesempatan langka Kakak tampil di layar hilang begitu saja!"
Sementara itu, untuk syuting selanjutnya, dua bintang tamu tetap sebelumnya——Shi Yi dan Ling Xuan——tidak bisa melanjutkan rekaman. Shi Yi sudah jelas alasannya, sedangkan alasan resmi pengunduran diri Ling adalah bentrok jadwal. Namun netizen yang cerdik berkomentar——
"Pasti tidak sesederhana itu."
Bagaimanapun, setelah episode pertama yang kontroversial ini, slot rekaman lanjutan pasti jadi rebutan sengit di kalangan kolektor. Sebagai bintang tetap, tidak masuk akal Ling Xuan mundur.
Satu-satunya penjelasan adalah: Ling Xuan tidak bisa melanjutkan syuting.
Di saat yang sama, penggemar berat Ling Xuan menyadari bahwa beberapa endorsemen merek mewah tinggi dan skenario yang sedang dalam proses kontak dengannya, sepertinya ikut menghilang tanpa kabar. Ini jelas bukan pertanda baik, setidaknya bagi top tier seperti Ling Xuan yang hampir setara popularitasnya dengan Ji Huai. Kehilangan sumber daya berarti penurunan level popularitas, bagaimana mungkin bersaing dalam pertarungan sengit perebutan eksposur media selanjutnya!
Namun studio Ling Xuan, bahkan Huang Jie yang terkenal cepat dan tegas, kali ini sama sekali tidak mengeluarkan pernyataan apapun.
"Heh, masih belum paham? Kakak kalian sudah turun kelas." Wen Yue menggerakkan jari-jarinya yang dicat merah menyala di layar ponsel, sorot mata indahnya penuh kepuasan, "Sekarang siapa lagi yang bisa menyaingi kakak pertama Tianfeng kita?"
"Ling Xuan ini, dari dulu aku sudah tidak suka. Tampaknya baik, tapi sebenarnya perutnya penuh akal busuk! Harusnya berterima kasih pada kakak ketigamu yang sudah menyingkirkan duri dalam dagingku. Dengan sumber daya kakakmu yang bertambah, bukankah aku bisa duduk santai menghitung uang?"
Ji Ying duduk di sampingnya, sesekali melirik manekin pakaian di dalam toko. Mendengar ucapan itu, ia tersenyum kecut: "Pantas saja kakak kedua bilang belakangan ini dia sibuk sampai tidak punya waktu tidur."
"Eh, berhenti sebentar. Aku mau lihat." Wen Yue mencondongkan dagunya ke arah manekin pakaian wanita, mengamati koleksi musim gugur terbaru yang dikenakannya. Ia memberi kode pada pelayan toko: "Bungkus yang ini."
Pelayan toko langsung menanggapi dengan sigap.
Ji Ying sudah terbiasa dengan kebiasaan boros Wen Yue. Matanya menyapu seluruh ruangan, tapi tak ada yang menarik perhatiannya.
Pandangannya terhenti pada jas hujan panjang yang terpasang di manekin pakaian pria.
Tiba-tiba ia bersuara: "Yang itu, tolong dibungkus."
Pelayan toko buru-buru mengiyakan.
Wen Yue menoleh, mendelik sambil mendesiskan lidah: "Wah, sudah menikah memang beda ya."
"Beli baju pun untuk suami."
Pangkal telinga Ji Ying memerah. "Bukan... cuma... cocok saja untuk kakak ketiga."
Saat tiba di konter untuk membayar bersama Wen Yue, Ji Ying menundukkan pandangan ke beberapa kartu di dalam tasnya, berhenti sejenak selama beberapa detik.
Dia memiliki banyak kartu tambahan.
Dari ayah, kakak tertua, kakak kedua, termasuk yang diberikan Fu Jingshen saat pernikahan.
Bola mata Ji Ying bergerak halus, tertuju pada pipi cerah Wen Yue, hatinya berdesir halus. Saat kasir mengingatkan untuk menggesek kartu, Ji Ying mendahului Wen Yue dengan mengulurkan kartu tambahan Ji Chen menggunakan ujung jari putihnya yang halus, "Bayar."
Setelah berkata demikian, dia mengedipkan mata ramah ke arah Wen Yue.
"Kartuku, silakan digunakan semaumu."
Wen Yue: "Beneran?" Dia mengangkat alis dengan sinis: "Kalau begitu aku tidak sungkan."
Senyum Ji Ying tetap polos, jemarinya menepuk-nepuk bahu Wen Yue dengan lembut.
"Tidak apa, semuanya untukmu."
Sepanjang siang, Wen Yue mengajak Ji Ying menyapu bersih hampir seluruh area medan bisnis.
Grup Perusahaan Ji.
Ji Chen keluar dari ruang rapat, sambil berjalan menundukkan pandangan membolak-balik telepon genggam, sekretaris mengikuti dari belakang melapor pekerjaannya.
Tiba-tiba, langkahnya berhenti sejenak, pandangan terpaku pada informasi overdraft kartu bank yang dikirim bank.
Ini benar-benar jarang terjadi.
Sejak gadis kecil itu menikah, kapan lagi dia menggunakan uang yang Dia berikan?
Sudut bibir Ji Chen sedikit melengkung, memutar nomor, menelepon balik Ji Ying.
Saat menerima telepon, Ji Ying sedang menemani Wen Yue beristirahat di ruang kopi. Di samping Wen Yue hanya ada tas belanja sporadis, terlalu banyak yang tidak bisa dibawa, toko akan mengirimkannya ke rumah.
Saat telepon berbunyi, Ji Ying melirik nama penelpon, diam-diam mengamati Wen Yue, tanpa ekspresi menutup receiver dengan tangan lalu menyambungkannya.
Suara lembut jernih Ji Chen terdengar: "Yingying, uangnya tidak cukup?"
Ji Ying batuk kecil: "Sedikit..."
"Aku akan menyuruh sekretaris mentransfer uang."
Ji Ying: "Jangan sekretaris, aku mau Kamu sendiri yang datang membantuku."
Ji Chen terkejut sejenak, lalu tersenyum kecut.
Dia melirik jam, tak bertanya mengapa, ujung jari menyentuh lembut meja, "Kirim lokasimu."
"Ya, aku tunggu."
Memandangi Ji Ying menutup telepon, Wen Yue menopang dagu sambil menatapnya: "Tunggu siapa? Siapa yang akan datang?"
Ji Ying menunduk mengaduk kopi, bibirnya sedikit melengkung: "Orang yang akan membayar hutang."
Wen Yue terkejut: "Jangan-jangan kamu memanggil Fu Jingshen ke sini?"
Ji Ying memandanginya, melengkungkan bibir, tidak memberikan tanggapan.
Wen Yue menarik napas dalam, marah: "Bagus, Ji Yingying! Dasar perempuan mata keranjang! Pertemuan sahabat kok bisa membiarkan pria ikut campur!"
Ji Ying diam seribu bahasa, memilih bermalas-malasan sambil menerima cercaan.
Saat masuk kembali ke toko pakaian, Wen Yue masih mengancam di telinga Ji Ying: "Ji Yingying, kamu sendiri yang menyuruhku belanja semaunya! Jangan sampai menyesal nanti! Awas kubocorkan kartu kakak ketigamu!"
Ji Ying melirik ke arahnya, tersenyum tenang bagai angin sepoi-sepoi: "Aku tunggu."
Kalimat itu langsung memicu semangat Wen Yue. Dengan dada membusung, dia melangkah mantap masuk ke dalam toko. Begitu masuk, pandangannya langsung tersedot pada gaun merah tanpa lengan yang dipajang di maneken tengah toko.
Ji Ying menaikkan bulu matanya, tak bisa berpaling sejenak. Rok itu pasti akan sangat cantik jika dikenakan Wen Yue.
Tepat seperti dugaan, detik berikutnya Wen Yue memberi isyarat pada pramuniaga: "Rok ini, aku ingin mencoba." Bersamaan, suara lain terdengar dari belakang: "Rok ini, aku mau ini."
Wen Yue menoleh ke belakang, tatapannya langsung larut saat melihat wajah pendatang.
"A Yan, bukankah ini Yueyue?" Lan Xin tersenyum lembut sambil menggandeng Wen Yan yang baru masuk. "Kebetulan sekali." Matanya beralih ke Ji Ying, sudut bibirnya meregang: "Yingying juga ikut ya."
Ji Ying dan Lan Xin tidak akrab. Lan Xin adalah tunangan Wen Yan, sedangkan Wen Yan adalah kakak tiri seayah berbeda ibu Wen Yue. Hubungan mereka berdua sangat buruk.
Ayah Wen Yue, Wen Hai, menikah dengan ibu Wen Yan melalui pernikahan aliansi bisnis. Namun tak lama setelah melahirkan Wen Yan, ibunya yang lemah fisik meninggal. Tak berapa lama, Wen Hai berkenalan dengan ratu film Su Ni, yang kemudian menikah diam-diam dan melahirkan Wen Yue.
Wen Hai sangat menyayangi anak perempuan ini, menganggap Wen Yue sebagai mutiara di telapak tangan.
Tapi Wen Yan sangat membenci Su Ni dan anaknya. Hubungannya dengan Wen Yue selalu dalam kesulitan besar. Wen Yan memiliki dukungan kuat dari keluarga nenek pihak ibu yang bersama-sama mengucilkan Su Ni yang tak punya pengaruh. Meski kini Wen Hai masih menguasai sebagian besar industri keluarga Wen, di masa depan Wen Yan hampir pasti akan menjadi penerus.
Wen Yan memang mirip ibunya, wajah yang teduh dan postur tubuh tidak terlalu tinggi. Dibandingkan dengan Wen Yue yang cantik memesona, mereka sama sekali tidak terlihat seperti saudara kandung. Ia mengamati Wen Yue dari ujung kepala hingga ujung kaki, sudut bibirnya mengangkat dengan ekspresi meremehkan: "Kecuali menghamburkan uang, hal berarti apa lagi yang bisa kau lakukan?"
Wen Yue melipat lengan dengan dengus dingin: "Aku juga bisa memberi dupa di nisanmu."
Begitu kata-kata itu meluncur, ekspresi Wen Yan langsung berubah. Saat ia hendak meledak, Lan Xin menggoyang-goyangkan lengannya sambil menunjuk gaun merah di tubuh maneken: "A Yan, aku ingin baju ini~"
Wen Yan tak acuh: "Beli saja." Ia mencondongkan dagu ke arah pramuniaga: "Apa masih belum cepat kau ambilkan?"
Wen Yue mengerutkan alis dan mata yang dingin seperti es: "Ini pilihanku pertama kali."
Wen Yan mendengus pendek: "Kau anak seorang aktris, dengan apa mau melawanku? Setelah Ayah tua nanti, kau ini apa?" Ia menoleh ke pramuniaga yang canggung berdiri di samping: "Kau berikan untuk dia, atau untukku?"
Pramuniaga itu mengenal Wen Yan, Tuan Muda Keluarga Wen yang sering menghamburkan ribuan tael di toko untuk menghibur perempuan. Sementara yang satunya... Setelah lama bergaul di dunia barang mewah, mana mungkin pramuniaga tidak tahu ini adalah anak perempuan kecil yang dilahirkan oleh aktris terkenal Keluarga Wen.
Kedua pihak tak bisa disepelekan... Tapi dibandingkan, yang lebih tak boleh disinggung perasaan tetap Tuan Muda Wen.
Saat pramuniaga hampir menentukan pilihan, Wen Yue yang selama ini menahan api kemarahan menarik lengan Ji Ying yang ingin membelanya, "Tunggu di belakang." Ia melangkah maju dengan langkah lebar, hak sepatu tipisnya menghantam betis Wen Yan dengan keras, wajah kecilnya yang cantik mengeras: "Kalau begitu biar kuperlihatkan, siapa sebenarnya 'ayah' hari ini!"
Wen Yan tak sempat menghindar, menjerit kesakitan. Wajahnya yang teduh berkerut marah, tangannya terayun tinggi membawa angin kencang, telapak tangan siap mencakar wajah cantik Wen Yue.
Wen Yue mencoba melepaskan diri dari genggaman Lan Xin, namun tidak berhasil. Alisnya berkerut rapat, dan dia terpaksa bersiap menerima tamparan itu dengan pasrah. Matanya terpejam.
Rasa sakit yang diantisipasi tak kunjung datang. Wen Yue membuka kelopak matanya perlahan.
Ekspresi Wen Yan berubah menyeringai kesakitan. Pergelangan tangannya terjepit erat oleh jari-jari tegas yang menggenggamnya, dipelintir hingga membentuk sudut yang tidak wajar.
Tanpa disadari, Ji Chen telah muncul di belakang Wen Yan. Sorot mata lembutnya yang biasanya dipenuhi senyum, kini tertutup kabut kegelapan dan amarah yang mengerikan.
"Tuan Wen," bisik Ji Chen masih lembut, namun membuat Wen Yan mengerang kesakitan: "Tidak pantas menggunakan kekerasan."
：
：，~
