Pengalaman layaknya remaja.
Di hari kepulangan Ji Ying ke Beijing, Xie Muzi meninggalkan pesan untuknya.
[Selamat jalan.]
Sudah menjelang akhir Oktober, ibu kota memasuki musim gugur dengan suhu yang merosot tajam. Saat turun dari pesawat, hembusan angin dingin yang menusuk menerpa wajah, menyusup hingga ke tulang sumsum.
Terlepas secara tiba-tiba dari kehangatan lembap Hong Kong, Ji Ying gemetar ringan. Hingga sebuah jas kesukaan yang masih menyimpan kehangatan suhu tubuh pria itu disampirkan dari belakang ke bahunya, Fu Jingshen menggenggam tangannya menuju mobil yang telah menunggu.
Setelah duduk di mobil, Ji Ying menunduk melihat telepon genggam.
Kembali ke ibu kota, membaca pesan yang dia kirim lagi, Ji Ying masih merasakan sensasi seperti kehidupan yang berbeda.
Segala kemewahan di Hong Kong seolah hanyalah mimpi singkat yang berlalu begitu cepat.
Hingga terdengar suara dingin dari atas kepala, merasakan arah pandangan pria itu menyapu layar ponselnya, Ji Ying segera mematikan layar.
Fu Jingshen melirik telepon genggamnya sendiri.
Dengan tempo lambat bertanya: "Kenapa dia tidak mengirimiku?"
Ji Ying: "……"
Mencoba mengalihkan topik: "Mungkin hanya iseng mengirim."
Beruntung sepersekian detik kemudian, pesan Yu Wanqing muncul otomatis mengakhiri percakapan.
Yu Wanqing menanyakan kapan dia akan pulang mengunjungi.
Ji Ying teringat harus menemani Fu Jingshen ke rumah tua keluarga Fu dulu, maka menunda janji itu keesokan hari.
Malam hari, Rumah Fu.
“Rumah Fu selalu sepi dan kosong. Kakek Fu duduk di depan ruang tamu, melihat Ji Ying yang sudah lama tidak bertemu, wajahnya langsung merekah dalam senyuman.”
“Ji Ying tahu pasti ada hal yang perlu dibicarakan antara Fu Jingshen dan Pak Fu. Dengan tenang ia mengikuti Tante ke dapur untuk membantu mengambil buah-buahan.”
“Pandangan Fu Jingshen berpindah dari sosoknya yang menjauh. Ia menunduk menuangkan teh.”
“Pak Fu menerima cangkir teh, meniupnya perlahan. Dengan dengusan dingin ia berkata: "Kembalimu kali ini membuat si anak durhaka itu senang sampai mati."”
“Selama Fu Jingshen berada di Hong Kong, urusan grup diserahkan langsung kepada Fu Yuan. Fu Yuan yang sudah bersenang-senang setengah abad, tiba-tiba harus mengelola usaha sebesar ini, setiap hari mencari cara untuk mengeluh pada Kakek Fu.”
“Kakek Fu menggelengkan kepala. Di masa mudanya ia gagal mendidik Fu Yuan dengan baik, hingga menghasilkan seorang playboy.”
“Fu Jingshen menundukkan pandangan, ekspresinya dingin dan acuh tak acuh.”
“"Awalnya... mungkin tidak akan secepat ini."”
“Kakek Fu diam, sudut bibirnya perlahan merata, ekspresinya menjadi tajam. Meski berada jauh di ibu kota, kabar angin dari Hong Kong tentu tak bisa disembunyikan darinya.”
“Beberapa hari sebelumnya, Ji Tianze telah meneleponnya, berniat memberikan pelajaran kecil pada Xie Ling.”
“Tapi Xie Ling toh dulu pernah menjadi menantunya. Karena kedua keluarga sudah menjalin hubungan pernikahan, masalah ini tidak boleh diselesaikan secara memalukan. Maka Ji Tianze menggunakan pendekatan sopan sebelum tindakan tegas, memberitahukan hal ini terlebih dahulu padanya.”
“Xie Ling,” Kakek Fu menyesap tehnya, menghela napas, “Perkataanku, tak pernah ia hiraukan.”
“Xie Ling di masa mudanya tenang dan rendah hati, hanya bola mata hitam pekatnya yang memancarkan ketajaman tak sesuai dengan kesan dirinya - sesuatu yang tak disukainya.”
“Saat wanita itu menyodorkan lembar tes kehamilan di hadapannya, Kakek Fu sempat mempertimbangkan kemungkinan menggugurkan kandungan.”
“Ambang pintu keluarga Xie cabang kedua di Hong Kong, mana pantas disandingkan dengan keluarga Fu.”
“Dia memiliki ribuan cara untuk menggagalkan pertunangan ini.”
Fu Yuan mengetahui hasilnya dengan santai berkata: "Bukankah Ayah selalu ingin seorang cucu? Ini jawabannya."
Saat itu, Nyonya telah meninggal beberapa tahun, anak perempuan Fu Pei akan segera dinikahkan jauh, sementara anak laki-lakinya adalah playboy urakan.
Pak Fu menatap lembar tes itu lama sekali. Demi anak yang belum lahir ini, hatinya melembut. Akhirnya, dia menyetujui pernikahan Fu Yuan dan Xie Ling yang memang sudah ditakdirkan tak bertanggung jawab.
Cucunya akan diajari langsung olehnya. Jaminan rumah terbaik dan gadis pilihan terbaik pun akan disiapkan.
Setelah menikah, ambisi Xie Ling yang tak tertahan mulai terkuak. Pak Fu menyaksikan sendiri bagaimana dia mengabaikan etika, menggunakan segala taktik untuk mengeruk keuntungan. Teguran halus maupun terbuka telah diberikan berkali-kali.
Awalnya Xie Ling masih mau menahan diri. Tapi setelah kembali ke Hong Kong, pengaruh Pak Fu tak mampu menjangkaunya lagi.
"Tapi tak disangka, di arena penuh nama dan keuntungan seperti Keluarga Xie, Xie Ling yang tadinya masih punya hati nurani, akhirnya berubah menjadi oportunis seperti ini, bahkan kemanusiaan terakhirnya hampir hilang."
Kakek Fu menghela napas panjang, mata yang biasanya jernih kini tampak lelah, dia menatap cucunya yang tenang dan dingin.
Teringat saat Fu Jingshen kecil pernah bertanya padanya, mengapa tak pernah melihat Ayah Ibu, apakah ada yang kurang dari dirinya.
Perlahan, dia pun berhenti bertanya, menjadi semakin pendiam.
Sejak kecil, Kakek Fu sangat ketat dalam mengasuh Jingshen. Dia mewarisi kecerdasan Fu Yuan dan Xie Ling, segala hal bisa dikerjakannya dengan sempurna, menjadi kebanggaan terbesar. Tapi pada akhirnya, Kakek Fu tak berpengalaman mengasuh anak, Jingshen tak pernah curhat padanya.
"Hal-hal masa lalu," jari jenjang Fu Jingshen saling merangkai, suaranya rendah, "sudah semua kuketahui."
Gedebuk! Cangkir teh di tangan Kakek Fu menghantam meja, raut wajahnya terlihat mengerikan: "Xie Ling bicara apa padamu?"
Fu Jingshen menundukkan pandangan, menggelengkan kepala nyaris tak terlihat.
Menatap orang tua itu, berkata dengan jujur: "Kakek, terima kasih."
Kakek Fu menghela napas panjang, ribuan emosi membanjiri hati, tiba-tiba tak tahu bagaimana menghadapi cucu ini.
Semua orang telah merugikannya.
"Semua konsekuensi saat ini adalah buah dari perbuatan Xie Ling." Suara Kakek Fu berat: "Kau tak perlu terbebani secara psikologis. Terhadapnya, kau sudah melakukan segalanya."
"Lagipula, Xie Ling kali ini telah membuat keluarga Ji kesal."
"Meski Tianze tak berkata apa-apa, dalam hati pasti jijik. Bagaimanapun, tindakan Xie Ling ini jelas-jelas mempermalukan keluarga Ji. Hukuman ringan dari mereka pun sudah seharusnya."
Fu Jingshen membalas dengan "ya" yang tak mengejutkan.
Nasib Xie Ling ke depan tak lagi terkait dengannya. Tidak proaktif menyerang sudah merupakan bentuk menjaga harga diri terakhir.
Ji Ying di dapur telah mencuci anggur tiga kali. Baru keluar setelah suara percakapan samar dari ruang tamu benar-benar hilang.
“Setelah makan malam, atas undangan Kakek Fu, Ji Ying menginap semalam di rumah tua bersama Fu Jingshen. Meski sering mengunjungi Rumah Fu setelah pernikahan, ini pertama kalinya mereka bermalam di sini.”
“Rumah tua yang luas ini terasa sangat sepi, bahkan langkah pelayan pun terdengar samar-samar.”
“Sudah berapa lama kamu tinggal di sini?”
“Usai makan malam, Ji Ying menemani Fu Jingshen berjalan-jalan di halaman belakang. Nuansa musim gugur semakin terasa, pohon sakura yang dulu rimbun kini tampak meranggas. Dedaunan berdesir ditiup angin dingin.”
“Sampai usia dewasa.” Jawab Fu Jingshen: “Tahun itu, Kakek memberiku vila di lereng gunung. Saat kuliah, aku pun tinggal di asrama kampus.”
“Langkah Ji Ying terhenti. Butuh waktu lama baginya untuk mencerna makna vila lereng gunung itu——”
“Bukankah itu kamar pengantin mereka yang sebenarnya?”
“Tempat pertama Fu Jingshen membawanya kembali juga ke sana.”
“Kamar pengantin sudah disiapkan sejak dewasa?” Mata indah Ji Ying menunjukkan raut keterkejutan.
“Saat itu umurnya berapa? Masih SD?”
Fu Jingshen meliriknya dengan bercanda, jari-jari jenjangnya terkait erat dengan jemarinya.
“Bukankah ini sengaja disimpan untuk menikahimu.”
Ji Ying mendengus pelan dari hidung.
Dia sama sekali tak percaya pada omong kosong semacam itu.
Sejujurnya, pria ini hanya tertarik pada pesona fisiknya. Kalau tidak, mana mungkin selama bertahun-tahun bahkan tak sekadar menemuinya sekali pun.
“Aku tak percaya.”
Fu Jingshen menghentikan langkah, menoleh dengan sorot mata berkilauan sembari membungkuk mendekat.
“Sejak kecil, Sakura sudah tahu akan menikahiku?”
Ji Ying melirik ke arahnya.
Sejak mulai paham urusan dunia, bayangan samar itu memang sudah ada. Tapi keluarga tak pernah membicarakannya, tentu dia pun tak akan terus-terusan memikirkannya.
Dengan jujur diakuinya: “Aku mengenalmu, tapi tak pernah merasa pasti akan menikahimu.”
Fu Jingshen mengangkat alis, namun tak tersinggung, dengan tenang menyimak kelanjutan perkataannya.
Ji Ying mengangkat bulu mata lentiknya, melayangkan pandangan ke arahnya.
Bergumam pelan: "Seandainya bertemu yang kusukai, tentu aku akan…"
Memperhatikan bola mata hitam Fu Jingshen yang mulai menyipit, suaranya menghilang diselimuti rasa bersalah.
Apaan sih… menyuruhku mengakui sendiri ketidakmampuan main fair.
Diam selama dua detik, Ji Ying mengangkat pandangan, bola mata hitam legamnya memantulkan wajah tampannya.
Dengan wajah kemerahan, ia bertanya dengan suara tertahan: "Lalu kamu, selama ini selalu yakin akan menikahiku?"
Fu Jingshen menatap sorot mata yang menghindar itu, langsung menjawab: "Ya."
Ji Ying tertegun.
Yakin akan menikahinya, tapi sampai usia 27 tahun tak memberi sepatah kata pun?
Begitukah caranya dia ‘menikahi’…
Bibir merekah Fu Jingshen membentuk senyuman, tetap diam sambil tersenyum.
Tentu saja dia tak akan mengatakan kebenaran.
Terlahir dari keluarga seperti ini, mana mungkin dia menaruh harapan pada pernikahan.
Tapi mengingat pertunangan ini ditetapkan Lao Ye, pasti akan ditepati. Entah ada cinta setelah menikah atau tidak, dia akan menunaikan tanggung jawab yang seharusnya.
Ji Ying tak tahu apa yang dipikirkannya, tapi bertatapan dengan mata dalam sang pria. Berbeda sama sekali dengan sikap menjaga jarak ribuan li saat pertama kali bertemu.
Ini adalah bentuk pemanjakan dan kelembutan yang nyata.
Ujung hati serasa diiris permen, bulu mata panjang Ji Ying bergetar halus, sudut bibirnya mengembang dengan senyuman manis.
Saat mengobrol, mereka tiba di kolam ikan koi. Ikan-ikan gemuk hasil pemberian makan Lao Ye segera mengibaskan ekor dan berenang menjauh saat merasakan kehadiran manusia.
Bagi Ji Ying yang berusia lima tahun, kolam setinggi pinggang orang dewasa itu kini hanya terlihat seperti genangan kecil.
"Bicara soal itu," Ji Ying menaburkan segenggam pakan ikan, berkata: "Aku harus berterima kasih pada upaya penyelamatan Kakak ketiga dulu."
Insiden tenggelam itu menjadi mimpi buruk yang terus menghantui Ji Ying selama bertahun-tahun kemudian.
Fu Jingshen mengamati ikan mas merah yang berebut makanan, jarinya menggenggam lembut pipi putih Ji Ying. Suara tawa hangat menggelinding dari tenggorokannya.
"Aku menyelamatkan istriku sendiri. Untuk apa kau berterima kasih?"
Tidak jauh dari sana, Kakek Fu berdiri di ambang jendela lantai dua, memandangi dua sosok di halaman yang bahkan bayangan mereka saling bertumpukan. Ia menghela napas panjang, sudut bibirnya melengkung penuh kepuasan.
Malam itu, Ji Ying menginap semalam di kamar tidur yang dulunya ditempati Fu Jingshen.
Sangat berbeda dengan dekorasi rumah, kamar tempat pria ini tinggal semasa remaja dipenuhi rak buku yang berjejal dengan buku-buku yang tersusun rapat. Seluruh ruangan didominasi nuansa hitam-putih-abu.
Selain itu, kamar ini juga menyimpan bola basket edisi terbatas, skateboard, sepatu olahraga langka, dan berbagai model koleksi. Semua benda ini tetap terpelihara hingga kini.
Suasana yang sarat kesan remaja ini membuat Ji Ying seolah terhisap ke dalam dimensi lain.
"Aku belum pernah melihat penampilanmu di masa muda." Jari Ji Ying mencolek model di rak buku, tanpa sadar melontarkan kalimat itu.
Fu Jingshen langsung menoleh tajam ke arahnya, bola mata hitamnya menyipit saat mengungkap poin penting: "Masa muda?"
Gerakan Ji Ying terhenti sejenak, degup jantungnya berhenti sejenak.
“Maksudku.” Ia berkata dengan gagap: “Eh, masa remaja.”
Tak disangka pola pikir Fu Jingshen yang tak terduga, balik bertanya dengan ekspresi datar.
“Jadi Nyonya Fu menyukai anak muda?”
Ji Ying: “……”
Perempuan itu merasa pria ini sedang mengada-ada, menguap kecil lalu dengan tenang mengalihkan topik, “Aku mau mandi dulu.”
Tak disangka, belum sempat melangkah, tubuhnya sudah ditarik dari belakang dan didudukkan dalam dekapan.
Aura pria itu yang ringan menyapu tepi telinganya, “Di lantai dua lemari batu depan, ada seragam SMA-ku dulu.”
Sorot mata indah Ji Ying melebar, belum memahami maksud tersembunyi ini.
Detik berikutnya, Fu Jingshen berkata: “Bukankah Nyonya Fu ingin melihat penampilan mudaku?”
Ia sengaja menekankan kata “muda”.
Dada Ji Ying berdebar kencang mendengarnya.
“Akan kukenakan untukmu.”
Ji Ying: “……!”
Apa dia mabuk?
Hanya saja kalimat berikutnya pria itu membuatnya membeku di tempat, pangkal telinga kepanasan hingga kemerahan.
"Berharap di ranjang, bisa memberikan Nyonya Fu pengalaman layaknya remaja."
Catatan Penulis:
Seharusnya ada Tambahan, tapi mungkin agak larut, harta karun bisa beristirahat dulu~
